Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Kampus Pendidikan

Para Tokoh Terkenal Saja Ada yang Tidak Kawin, Kenapa Kita Harus?

Iqbal AR oleh Iqbal AR
3 Agustus 2019
A A
tidak kawin

tidak kawin

Share on FacebookShare on Twitter

Beberapa hari yang lalu, seorang teman tiba-tiba menghampiri saya di teras kantin. Dia langsung duduk di depan saya, mengambil sebatang rokok milik saya, menyalakannya, dan menghembuskannya dengan panjang. Kalau saya lihat dari raut mukanya, dia terlihat sedang mangkel tingkat tinggi.

Belum juga saya bertanya kenapa, dia sudah memulai sambatannya dengan umpatan. “Assuu! Ancene dosen kuwi. Aku niat e kuliah ben oleh ilmu, lha kok seng dibahas mung rabi wae.”

FYI, teman saya ini dari Kediri. Sudah tinggal di Malang selama tiga tahun, tapi logat kulonannya masih kental, dan masih belum bisa ngomong dengan logat malangan.

Oke. Kembali lagi ke permasalahan utama. Saya tahu dosen yang dimaksud. Dosen itu juga pernah mengajar di kelas saya. Memang beliau banyak membahas masalah pernikahan dan tetek bengeknya. Dosen itu juga sering menyuruh mahasiswa-mahasiswa agar segera menikah selepas kuliah. Tapi saya ndak semarah teman saya yang satu ini. Saya lebih milih untuk tidur di kelas ketika dosen itu mulai bahas-bahas masalah pernikahan.

Lha coba bayangkan, dari tiga jam pembahasan mengenai kaidah-kaidah puisi, hampir 60 persennya membahas tentang pernikahan. Sopo sing ora sepaneng coba? Mending turu lah. Kalau kuliahnya tentang kaidah-kaidah ijab kabul dan pernikahan sih oke oke saja. Lha ini, kuliahnya apa, bahasannya apa.

Ternyata bukan saya saja yang mengalami hal serupa. Akhirnya teman saya yang satu ini juga jadi “korbannya”. Tapi saya memilih untuk tidak meneruskan rasan-rasan ini. “Ngomong lainnya aja. Kamu kalo terus-terusan marah, bisa-bisa habis rokokku ini.” Mendengar itu, teman saya memindahkan tatapan kecutnya ke arah saya, sembari mengumpat, “Ooo asuu!!”.

Gara-gara teman saya itu, saya jadi mikir agak keras, emangnya harus ya kita itu cepet-cepet nikah? Dilihat dari segi usia juga masih awal 20-an. Memangnya ndak mau ngapain dulu gitu? Kok mau-maunya cepet-cepet punya tanggungan besar? Emangnya punya modal cukup untuk menikah? Atau sudah kebal dengan omongan tetangga kalo nikahanmu nanti biasa-biasa aja? Atau rawonmu sudah cukup untuk memuaskan mulut-mulut mereka? Kalau saya sih nanti dulu!

Gara-gara itu juga, saya ingat pernah membaca artikel tentang para ilmuwan dan filsuf besar yang memilih melajang sampai mati—bahkan menolak pernikahan. Bukannya ndak suka lawan jenis atau gimana, tapi mereka lebih memilih meneruskan dan “mengampanyekan” perjuangannya daripada mengurusi pacaran, bahkan nikahan.

Baca Juga:

Menghitung Penghasilan Minimal Setelah Menikah Versi 2025, Punya Gaji 7 Juta Baru Bisa Hidup Nyaman!

Sisi Gelap Pernikahan di Desa, Sudah Gadaikan Sawah Demi Biaya Hajatan, Masih Aja Jadi Omongan Tetangga

Adalah Pak Newton, penggagas teori gravitasi. Beliau ini melajang sampai mati—meski ada tuduhan kalau Pak Newton ini aseksual. Padahal untuk orang sepintar Pak Newton, setidaknya adalah pasti, satu atau dua perempuan yang jatuh hati padanya. Tapi Pak Newton malah memilih untuk duduk-duduk di bawah pohon.

Bayangkan saja jika Pak Newton punya pacar waktu itu. Mana mungkin beliau siang-siang duduk di bawah pohon, terus ngelamun ngalor ngidul, kejatuhan buah apel pula. Ya ndak mungkin. Kalo punya pacar, pasti Pak Newton siang itu sedang berduaan di warung, makan bakso, semangkuk berdua, sambil minum es teh manis sama pacarnya. Dan yang pasti kalau Pak Newton punya pacar, ya ndak mungkin ada teori gravitasi. Walau sebenarnya mungkin saja sih, kalau ada temannya Pak Newton yang ndak punya pacar, terus siang-siang duduk di bawah pohon dan kejatuhan buah.

Ada lagi, Pak Tesla. Bekas asisten di laboratoriumnya Pak Thomas Edison ini juga memilih mengembangkan penemuannya di bidang “setrum-setrum” itu dan memilih untuk melajang sampai mati. Bayangkan juga kalau Pak Tesla punya pacar, apalagi jadi bucin. Bagaimana nasib setrum-setrum itu sekarang? Ndak akan ada itu yang namanya Tesla Tower, yang bikin Amerika dan kawan-kawannya “menyembunyikan” penemuannya sampai saat ini. Ya meskipun Pak Tesla dianggap misoginis karena katanya benci sama perempuan, tapi penemuan Pak Tesla mungkin ndak akan viral saat itu kalau Pak Tesla punya pacar.

Ada juga Pak Voltaire. Beliau ini penulis cum filsuf idola mahasiswa-mahasiswa satire yang juga melajang seumur hidup. Pak Voltaire malah memilih untuk berjuang menentang ketidakadilan gereja dan mengajarkan cara menulis satire-satire fantastis. Ya meskipun Pak Voltaire punya hubungan gelap dengan keponakannya, tapi Pak Voltaire tidak kawin sampai mati. Bayangkan kalau Pak Voltaire lebih memilih menikah dan jadi bucin juga. Tulisan-tulisan satire beliau mungkin tidak sedahsyat sekarang. Pak Voltaire juga mugkin akan nulis cinta-cintaan saja.

Mungkin nama Pak Newton, Pak Tesla, dan Pak Voltaire terdengan keminggris bagi kita. Baiklah. Kita ambil saja contoh di Indonesia. Ada nama Pak Tan Malaka. Beliau ini juga melajang hingga peluru menembus tubuhnya dan mengakhiri hidupnya. Kalau menurut Ibu SK Trimurti, Pak Tan ini melajang karena beliau takut perkawinan akan membelokkan perjuangan.

Meskipun pada masa mudanya pernah suka pada beberapa perempuan, tapi Pak Tan justru memilih sibuk memperjuangkan kemerdekaan republik ini sebagai seorang revolusioner, ketimbang memperjuangkan cintanya entah kepada siapa. Hehehehe. Tentu berbeda dengan sekarang, yang mana mahasiswa-mahasiswa sibuk cari pacar untuk ditulis namanya di lembar ucapan terima kasih dalam skripsinya.

Bayangkan lagi jika Pak Tan itu lebih memilih untuk pacaran ketimbang berjuang untuk Republik ini. Ndak akan ada buku sakral macam Madilog dan Aksi Massa—yang akhirnya terjerembab di tumpukan buku-buku saya paling bawah. Kalau Pak Tan memilih pacaran, ndak akan ada pemikiran dan pergerakan revolusioner, yang membuat Jenderal Soedirman agak galau waktu itu. Ndak bakal juga tentara-tentara itu blusukan cari Pak Tan sampai ke hutan di Kediri. Dan kalau Pak Tan memilih pacaran, beliau juga ndak mungkin mati ditembak sih.

Oke. Cukup dulu kisah-kisah itu. Kembali ke teman saya tadi. Saya mencoba menghibur teman saya dengan kisah hidup para pemikir di atas, tentu versi singkatnya saja. Saya juga bilang, kalau dosenmu itu bahas masalah nikah lagi, kamu sanggah saja. Lha wong kamu punya hak bicara kok. Kalau ndak gitu kamu tidur saja.

“Terus kalo dosennya tanya, mau jadi apa kalau ndak menikah, iki piye?” tanya teman saya.

Saya suruh dia jawab begini, “saya mau jadi pemikir yang revolusioner, Pak. Saya takut dengan menikah akan membelokkan perjuangan saya, jadi saya memilih tidak kawin. Pak Voltaire pernah bilang, ‘jika saya kawin, saya akan menyesal; kalau tidak kawin, juga menyesal.’ Mereka-mereka itu sukses justru karena tidak kawin.”

“Dasar wong edan! Kalau aku ndak lulus mata kuliah ini gimana? Kamu yang mau tanggung jawab?” teman saya masih marah-marah, lalu beranjak pergi dan mengambil rokok saya sebatang lagi.

“Ya tinggal mengulang tahun depan apa susahnya?” jawab saya setengah berteriak.

Teman saya ngacir, pergi entah kemana lagi. Saya tidak mau mencegahnya pergi. Bahkan menyanyakan dia mau kemana pun tidak. Saat itu juga, saya baru sadar kalau rokok saya yang tinggal sebatang raib diambilnya.

“Assuu!!!” umpat saya dalam hati.

Terakhir diperbarui pada 9 Februari 2022 oleh

Tags: filsufGenerasi MudailmuwanKapan NikahmenikahPernikahantidak kawin
Iqbal AR

Iqbal AR

Penulis lepas lulusan Sastra Indonesia UM. Menulis apa saja, dan masih tinggal di Kota Batu.

ArtikelTerkait

pesan dari mantan

Pesan (dari) Mantan

7 Juni 2019
Memang Apa Salahnya Jokowi Hadir di Pernikahan Atta dan Aurel_ terminal mojok

Memang Apa Salahnya Jokowi Hadir di Pernikahan Atta dan Aurel?

6 April 2021
life as divorcee perceraian mojok

Life as Divorcee, Bacaan Wajib Bagi Orang-orang yang Hendak Menikah

19 Agustus 2021
Quarter Life Crisis

Quarter Life Crisis yang Kadang Membuat Hati Meringis Sampai Dengan Menangis

3 Juli 2019
Pantangan Menikah Ngalor Ngulon bagi Masyarakat Jawa

Pantangan Menikah Ngalor Ngulon bagi Masyarakat Jawa

22 April 2020
kondangan saweran pernikahan dinda hauw MOJOK.CO

Saweran, Tradisi Pernikahan Sunda yang Sebaiknya Dihilangkan

5 Februari 2021
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

Kuliah Bukan Perlombaan Lulus Tepat Waktu, Universitas Terbuka (UT) Justru Mengajarkan Saya Lulus Tepat Tujuan

Kuliah Bukan Perlombaan Lulus Tepat Waktu, Universitas Terbuka (UT) Justru Mengajarkan Saya Lulus Tepat Tujuan

24 Desember 2025
Panduan Bertahan Hidup Warga Lokal Jogja agar Tetap Waras dari Invasi 7 Juta Wisatawan

Panduan Bertahan Hidup Warga Lokal Jogja agar Tetap Waras dari Invasi 7 Juta Wisatawan

27 Desember 2025
Menjajal Becak Listrik Solo: Cocok untuk Liburan, tapi Layanan QRIS-nya Belum Merata Mojok.co

Menjajal Becak Listrik Solo: Cocok untuk Liburan, Sayang Layanan QRIS-nya Belum Merata 

24 Desember 2025
Daihatsu Gran Max, Si "Alphard Jawa" yang Nggak Ganteng, tapi Paling Bisa Diandalkan Mojok.co

Daihatsu Gran Max, Si “Alphard Jawa” yang Nggak Ganteng, tapi Paling Bisa Diandalkan

25 Desember 2025
Garut Bukan Cuma Dodol, tapi Juga Tempat Pelarian Hati dan Ruang Terbaik untuk Menyendiri

Garut Itu Luas, Malu Sama Julukan Swiss Van Java kalau Hotel Cuma Numpuk di Cipanas

23 Desember 2025
Harga Nuthuk di Jogja Saat Liburan Bukan Hanya Milik Wisatawan, Warga Lokal pun Kena Getahnya

Harga Nuthuk di Jogja Saat Liburan Bukan Hanya Milik Wisatawan, Warga Lokal pun Kena Getahnya

21 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=SiVxBil0vOI

Liputan dan Esai

  • Kala Sang Garuda Diburu, Dimasukkan Paralon, Dijual Demi Investasi dan Klenik
  • Pemuja Hujan di Bulan Desember Penuh Omong Kosong, Mereka Musuh Utama Pengguna Beat dan Honda Vario
  • Gereja Hati Kudus, Saksi Bisu 38 Orang Napi di Lapas Wirogunan Jogja Terima Remisi Saat Natal
  • Drama QRIS: Bayar Uang Tunai Masih Sah tapi Ditolak, Bisa bikin Kesenjangan Sosial hingga Sanksi Pidana ke Pelaku Usaha
  • Libur Nataru: Ragam Spot Wisata di Semarang Beri Daya Tarik Event Seni-Budaya
  • Rp9,9 Triliun “Dana Kreatif” UGM: Antara Ambisi Korporasi dan Jaring Pengaman Mahasiswa

Konten Promosi



Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.