Panduan Bertahan Hidup Warga Lokal Jogja agar Tetap Waras dari Invasi 7 Juta Wisatawan

Panduan Bertahan Hidup Warga Lokal Jogja agar Tetap Waras dari Invasi 7 Juta Wisatawan

Panduan Bertahan Hidup Warga Lokal Jogja agar Tetap Waras dari Invasi 7 Juta Wisatawan (unsplash.com)

Ada kabar yang bikin dada sedikit membusung sekaligus bikin dahi mengernyit: estimasi wisatawan yang masuk ke Jogja di penghujung tahun 2025 ini mencapai 7 juta orang! Kabarnya, angka ini mengalahkan Bali. Sebuah prestasi? Secara ekonomi mungkin iya. Ini bukti kalau Jogja masih jadi primadona, destinasi favorit yang “ngangenin” buat semua orang dari Sabang sampai Merauke.

Akan tetapi bagi kita, warga lokal yang setiap hari bergelut dengan aspal Jogja, kabar ini adalah alarm tanda bahaya. 7 juta orang itu bukan jumlah yang sedikit, Bos. Bayangkan 7 juta orang itu tumplek bleg di jalanan yang lebarnya segitu-gitu saja. Hasilnya? Chaos. Macet total di mana-mana, parkir yang tiba-tiba “nuthuk” (harganya mendadak naik level langit ke-tujuh), dan antrean makan yang panjangnya mengalahkan antrean bantuan sosial.

Buat kamu warga lokal yang pengin tetep waras dan nggak mau emosi jiwa gara-gara klakson bus pariwisata, berikut 5 aktivitas alternatif yang bisa kamu lakukan biar tetap bahagia:

#1 Warga lokal Jogja bisa memasak menu yang butuh kesabaran tingkat tinggi di rumah

Mumpung kamu tahu keluar rumah adalah jalan menuju emosi jiwa, jadikan dapur rumah sebagai area pelarian. Lupakan mie instan. Cobalah masak menu yang durasinya mengalahkan durasi macet di Jalan Kaliurang. Contohnya gudeg buatan sendiri yang nangkanya harus diaduk berjam-jam, atau bikin jajan kayak cilor 1000 tusuk.

Aktivitas ini bukan cuma soal kenyang, tapi soal “membunuh waktu”. Proses membuat makanan yang lama, bakal bikin kamu nggak peduli kalau di luar sana wisatawan lagi rebutan parkir seharga tiket bioskop. Begitu masakan jadi, kamu bakal merasa menang banyak: makan enak, perut kenyang, dan yang paling penting nggak perlu antre dua jam cuma buat seporsi sate yang dagingnya seuprit.

#2 “Barter Buku” dengan tetangga

Kalau biasanya kamu beli buku di mall, lupakan dulu. Saatnya ketuk pintu tetangga atau kirim pesan ke grup WA warga. Cari siapa yang punya koleksi buku menarik, lalu lakukan sistem barter.

Membaca buku fisik di teras rumah sambil dengerin suara sirine polisi yang ngawal bus pariwisata di kejauhan itu sensasinya priceless. Ada kepuasan batin saat kamu bisa tenggelam dalam narasi novel, sementara jutaan orang di jalanan Jogja sana tenggelam dalam asap knalpot. Ini adalah cara paling intelektual untuk membatasi mobilitas tanpa bikin otak jadi tumpul.

#3 Ekspedisi kuliner Jogja sambil jalan kaki

Coba tantang dirimu sendiri: keluar rumah, tapi dilarang pakai mesin. Jalan kaki atau naik sepeda bututmu. Cari warung yang selama ini kamu abaikan karena bentuknya cuma teras rumah atau warung kayu yang nggak ada estetik-estetiknya sama sekali.

Biasanya, di warung-warung “siluman” kayak gini, kamu bakal menemukan soto ayam yang kuahnya bening segar atau lotek yang kacangnya diulek pakai perasaan, dengan harga yang masih masuk akal (nggak pakai pajak turis). Ini adalah cara kamu mendukung ekonomi tetangga sendiri sekaligus menyelamatkan tulang ekor dari penderitaan macet-macetan di jalanan Jogja.

#4 Wayahe digital detox, hidupkan radio lagi

Melihat Instagram Story orang lain yang lagi pamer foto di Tugu Jogja atau pantai itu cuma bakal bikin kamu makin stres. Matikan notifikasi. Saatnya Digital Detox. Kalau punya radio tua, nyalakan.

Tanpa gangguan media sosial, kamu bakal sadar kalau Jogja itu sebenernya masih tenang, asalkan kamu nggak ikut-ikutan nyemplung ke pusaran arus wisatawan. Gunakan waktu ini buat beresin koleksi kaset, bersihin kamera analog, atau sekadar bengong produktif di halaman belakang rumahmu.

#5 Night walking di gang-gang sempit Jogja

Kalau malam dan jalanan utama Jogja sudah jadi parkiran raksasa, cobalah keluar buat jalan kaki masuk ke gang-gang kecil di kampungmu. Amati detail arsitektur rumah tua yang biasanya kamu lewati sekelebat saat naik motor.

Ajak ngobrol bapak-bapak yang lagi jaga pos ronda. Biasanya, dari obrolan nggak jelas ini, kamu bakal dapet sejarah-sejarah kampung yang nggak bakal ada di Google Maps. Jogja itu indah karena ceritanya, bukan cuma karena lampu-lampunya. Menemukan “sudut pandang” baru di kampung sendiri bakal bikin kamu merasa tetep update sama Jogja tanpa harus berdesakan sama 7 juta manusia lainnya.

Pada akhirnya, biarlah 7 juta orang itu menikmati Jogja dengan cara mereka yang melelahkan. Kita, sebagai warga lokal yang cerdas, punya cara sendiri buat tetep bahagia. Jogja tetap istimewa, tapi ya itu tadi, tetep lebih enak dinikmati pas mereka semua udah pada pulang.

Tetap waras ya, Lur! Sabar sedikit, sebentar lagi Januari, aspal bakal jadi milik kita lagi.

Penulis: Ajie Prasetya
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Harga Nuthuk di Jogja Saat Liburan Bukan Hanya Milik Wisatawan, Warga Lokal pun Kena Getahnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version