Oleh karena langit masih menyisakan rintik-rintik gerimis, meski sudah lelah bermain karambol sejak sore tadi, forum di warung Yu Marmi urung bubar. Di ujung amben galar, Pardi dan Kanapi cekikikan setelah bergantian menatap layar hape Solikin.
“Cantik juga, ya. Kenapa ndak jadi pramugari aja, biar lebih terhormat gitu.” Seloroh Pardi.
“Kalau dari tinggi badannya sih menurutku lebih cocok jadi foto model ini, Di.” Kanapi menimpali.
Mendengar itu Solikin dengan cepat merebut kembali gawainya, “Sampean berdua ini lho, Mas, kok malah mengomentari fisik orangnya lho. Mbok ya lebih empatik gitu. Mbak ini tuh korban keadaan, persis seperti kita-kita ini.” protes Solikin dengan mulut mecucu.
“Ooo aku ya ndak terima kalau mbak itu dibilang korban. Sama-sama terdesak mungkin iya, Kin, tapi menurutku dia tetap pelaku. Bukan korban!” Tandas Pardi.
“Apa seh? Siapa yang kalian perdebatkan itu?” Dengan membawa serenteng kacang asin dari dalam warung Cak Narto menyela keriuhan.
Solikin mengulurkan gawainya kepada Cak Narto, memperlihatkan sebuah berita tentang penangkapan dan penetapan tersangka seorang selebgram berinisial RR alias Kuda Poni oleh Polresta Denpasar dalam kasus pornografi dan UU ITE. Mbak selebgram itu terancam pidana penjara paling lama 12 tahun karena diduga menyiarkan konten seks secara langsung (live) di aplikasi streaming Mango dan BIGO.
“Weleeeh… lama-lama penjara tambah sesak, Ndes, kalau gini ceritanya.” Cak Narto menggeleng.
“Hayo, Cak, mbak itu korban apa pelaku, menurut Sampean?” Goda Kanapi.
“Perdebatannya mbok yang mutu gitu, Ndes. Mau dilihat sebagai pelaku atau korban, kalau menurutku yang perlu diperdebatkan, ya pemenjaraan untuk kasus-kasus semacam ini. Sebab, menurutku dari apa yang dilakukan mbak itu, tidak ada pihak yang dirugikan. Apa tadi, Kin, pasal pornografi ya?” Cak Narto meminta konfirmasi. Solikin mengangguk.
“Lho lho lho… kalau ndak ada yang dirugikan lantas kenapa ada undang-undang yang mengatur itu, Cak. Kalau ditanya siapa yang rugi, jelas remaja dan anak-anak, Cak. Mereka lah korban yang nyata dari perbuatan mbak itu menyiarkan langsung prosesi begituannya.” Ujar Pardi mantap dengan menjepitkan jempolnya di antara telunjuk dan jari tengah.
“Belum lagi para suami yang diam-diam ikut nonton begituan, Cak. Perbuatan mbak itu, sedikit banyak, jelas mengkhawatirkan bagi kaum istri, dong!” Imbuhnya.
“Iya lho, Cak, bener itu kata Mas Pardi…” timpal Solikin, “…dalam konsideran Undang-Undang Pornografi memang disebutkan bahwa pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi, seperti yang sudah dilakukan mbak Kuda Poni itu, dapat mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia, Cak.”
“Terus, apalagi bunyi konsiderannya, Kin?” Ujar Cak Narto diiringi gemelatak bunyi kacang asin yang beradu dengan gerahamnya. Buru-buru Solikin sekrol-sekrol hapenya, mencari lembar undang-undang itu.
“…bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Eee…”
“Setop sampek situ saja, Kin, ndak usah macam orang deklamasi gitu. Ujung-ujungnya hal-hal normatif sok iye, kan?” Mulut Solikin langsung terkatup disela oleh Cak Narto.
“Sekarang gini, Di.” Cak Narto menghadap ke arah Pardi dan mulai beretorika, “Kalau yang dianggap rugi adalah remaja dan anak-anak, karena dikhawatirkan terpapar segala negativisme konten si Mbak itu, bukankah harusnya kendali asupan informasi bagi mereka ini, remaja dan anak-anak itu, ada pada orang tua mereka? Jangan bisanya cuma nuding pihak lain dong, sedangkan sebenarnya itu tanggung jawab mereka kok, para orang tua itu.”
“Kalau yang dikhawatirkan para istri adalah suami-suami yang menikmati konten semacam itu, aku pikir juga tidak ada yang dirugikan di sana. Para suami itu kan manusia dewasa yang punya kemerdekaan untuk menentukan apa yang mereka tonton. Lantas kenapa mbak itu diancam hukuman penjara?” Dua alis Cak Narto naik turun mengakhiri kalimat.
“Ya karena undang-undangnya melarang perbuatan itu, Cak, sebab ya itu tadi, dianggap bisa mengancam moralitas bangsa. Juga menabrak nilai-nilai akhlak mulia dan kepribadian luruh bangsa. Gimana sih Sampean ini?” gerutu Kanapi.
“Biyuuuh, moralitas kok diurusi negara, apalagi dengan ancaman pidana dan hukuman penjara. Ora mashok buat aku.” Cak Narto merobek sebungkus lagi kacang asin di depannya dan dengan cepat melemparkan beberapa butir ke mulutnya, “Lha memangnya orang-orang di atas sono tuh, bapak ibu yang terhormat para pejabat dan anggota dewan itu, moralitasnya seluhur apa seh…”
“Wong duit bansos aja dikorupsi. Terus begitu disidangkan, vonisnya setara dengan ancaman bagi mbak Kuda Poni itu, 12 tahun kurungan. Kalau keabsurdan semacam itu dipertontonkan, menurut kalian, mana yang lebih mengancam moralitas bangsa? Siapa yang lebih bermoral, koruptor dana bansos atau mbak itu?” Cak Narto terkekeh.
“Dua-duanya nggak bermoral lah, Cak…” timpal Solikin, “…dan membandingkan dua hal negatif tidak lantas menjadikan salah satunya menjadi positif, Cak.”
“Iya aku tahu, Kin. Tapi gini, maksudku, kalau disandingkan, dua kasus itu secara luas dampaknya jauh berbeda, dong. Korupsi bansos korona itu jelas berefek langsung ke kehidupan masyarakat, to? Lha kalau dampak negatif perbuatan mbak itu kan masih meraba-raba dan memantik perdebatan. Karena moralitas itu ranah yang susah dikalkulasi, Kin, tergantung tempat, zaman dan konsensus komunal.”
“Lagian, Kin…” belum selesai rupanya kalimat Cak Narto, “…apa yang dilakukan oleh Mbak itu kan gambaran nyata perjuangan rakyat saat ini, di tengah cengkeraman pandemi yang kita semua nggak tahu kapan berakhir ini.”
“Maksudnya, Cak?”
“Lha kalau kamu enak, Pi, masih ada bengkel untuk menjual jasamu, meski sepi di masa pandemi, tapi kan masih bisa untuk menyambung nyawa. Pardi juga haha-hihi, soalnya semakin banyak pesanan baliho dari politisi, dapurnya tetap ngebul. Lha si Mbak Kuda Poni, yang badannya merupakan aset dalam profesinya sebagai gadis pemandu karaoke sebelum pandemi, bisa apa dia? Sudah bagus dia ndak ngerusak rumah tangga orang. Hehehe.” Cak Narto kembali tergelak. Serpihan kacang asin bermuncratan dari mulutnya.
“Itu mah dia yang nggak kreatif, Cak. Kan masih banyak kesempatan lain bagi orang-orang yang ubet dan ulet. Ya nggak Ndes?” Ujar Kanapi tidak terima.
“Justru dengan streaming itu bentuk ejawantah kreatifitas yang sesungguhnya, Pi.” Semua yang ada di sana tergelak. Hening tiba-tiba menyela. Cak Narto melamun memandangi langit malam yang mulai cerah.
“Terus menurut Sampean apa yang bisa dilakukan Mbak Kuda Poni itu, Cak?” Solikin membuyarkan lamunan. Cak Narto berdiri, membebatkan sarungnya melilit pinggang.
“Harusnya, Kin, mbak itu protes saja pakai poster waktu ada kunjungan presiden. Nanti kan ditangkap sama aparat tuh. Lha siapa tahu habis itu diangkat jadi duta antipornografi…” Tiba-tiba ia sudah meringkasi rokok, korek, dan beberapa bungkus kacang asin yang tersisa, “…atau biar saja dihujat netijen, nanti kan dia bisa mengajukan pledoi dan siapa tahu hujatan itu bisa dijadikan alasan yang meringankan vonisnya. Hahaha.”
Cak Narto menghilang dari pandangan mereka. Dari dalam warung terdengar gerutu, “Oalaahhh…ancen penak sing maido. Dari kemaren ban-bon terus. Ngoreksi pemerintah macam betul, giliran mbayar suka diutang. Mas Pi, kopi, gorengan, rokok sama kacang Cak Narto ikut siapa ini?” teriak Yu Marmi mengacungkan robekan kertas pembungkus rokok yang ia gunakan sebagai catatan bon para pelanggan.
***
Setelah Pardi mengulurkan sejumlah uang, forum itu membubarkan diri. Langit desa cerah, gemintang mengintip, sapi-sapi dan hewan ternak bertasbih lirih. Dari radio di sudut warung, bait-bait serak Iwan Fals menyeruak.
“…Masalah moral, masalah akhlak
Biar kami cari sendiri
Urus saja moralmu, urus saja akhlakmu
Peraturan yang sehat yang kami mau
Tegakkan hukum setegak-tegaknya
Adil dan tegas tak pandang bulu
Pasti kuangkat engkau
Menjadi manusia setengah dewa…”