Produk kosmetik dan perawatan kecantikan yang tadinya hanya popular di kalangan perempuan, kini juga merambah pengguna laki-laki. Kita bisa dengan mudah mendapatkan berbagai produk “perawatan” khusus untuk laki-laki dengan varian yang beragam.
Jaman yang agak kemaren (belum begitu lama), lelaki yang melakukan perawatan dan menggunakan produk kosmetik disebut lelaki metroseksual. Jaman ini mungkin masih sama, hanya saja tidak seheboh jaman dulu, karena saat ini baik laki-laki maupun perempuan sepertinya memiliki kebutuhan yang sama untuk menjaga penampilan agar tetap menarik.
Tidak sekedar berpengaruh terhadap kecantikan (dan ketampanan) kosmetik juga berpengaruh terhadap kesehatan. Setidaknya, itulah yang bisa saya simpulkan berdasarkan pengalaman saya sendiri.
Apa buktinya kalau kosmetik berkaitan dengan kesehatan? Buktinya, setiap kosmetik yang beredar di Indonesia, harus mendapatkan ijin dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Dulu saya merasa aneh dengan hal itu, apa kaitannya coba? Emang kosmetik itu bisa dimakan apa?
Dengan penyelidikan yang tidak terlalu dalam, ternyata struktur organisasi BPOM ada bagian yang mengatur tentang kosmetik. Bagian itu adalah Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik. Hal ini membuat saya bisa menyimpulkan dengan sah dan meyakinkan bahwa kosmetik itu ada kaitannya dengan kesehatan.
Jadi langkah pertama sebelum Anda menggunakan kosmetik maupun produk perawatan lainya adalah memeriksa apakah produk itu terdaftar di BPOM atau tidak. Dengan demikian setidaknya kita bisa yakin produk tersebut aman untuk digunakan di negara kita Indonesia tercinta.
“Tapi sorry ni bray, gue pakenya kosmetik impor dari Korea, yang standarnya lebih ketat dibanding kosmetik lokal. Emang masih butuh BPOM?”
Eits, sabar bro, sist, itu kosmetiknya impor dari Korea Utara apa Korea Selatan? Harus dipastikan dulu biar nggak kaget. (Petanyaan ini nggak penting, jadi nggak usah dibahas.)
Berdasarkan pengalaman saya yang kadang-kadang jadi tukang listrik dan elektronik, produk luar belum tentu kompatibel kalau dipake di dalam negeri. Kadang ada yang colokannya nggak cocok lah, ampernya nggak cocok lah, voltasenya ketinggian lah, frekuensinya beda lah, dan banyak faktor lainnya. Apalagi kosmetik yang dipakai langsung oleh tubuh manusia.
Contoh paling gampang kita bisa memperhatikan obat panu, kadas, kurap, dan kutu air yang ada di pasaran. Pertanyaannya, memang ada obat begituan yang impor ya? (Karena pertanyaanya memang absurd, jadi, sekali lagi nggak usah dibahas.)
Penyakit kulit semacam ini di Indonesia yang merupakan daerah tropis, bisa dikatakan lebih ganas dibanding dengan negara subtropis seperti Eropa maupun Asia yang beriklim subtropis lainnya. Jadi mungkin saja kalau disana obatnya ampuh, dibawa ke sini buat ngobatin gatelnya aja nggak mempan, kira-kira begitu.
Untuk langkah selanjutnya, adalah dengan membaca aturan pakai atau label yang ada. Kosmetik yang sudah terdaftar seharusnya telah menggunakan bahasa nasional sehingga mudah untuk dipahami. Kalau nggak ada, dan nemunya cuma huruf kanji dan tulisan arab gundul, segera laporkan ke lembaga terkait, jangan nanya ke anak Sastra China apa Sastra Arab. Mau cantik (dan ganteng) kok repot bener ya?
Dalam membaca label, yang pertama dilihat adalah tanggal kadaluarsa. Hal itu menjamin kualitas produk yang anda gunakan. Tapi jangan salah ya, tanggal kadaluarsa hanya berlaku bagi produk yang masih segel atau belum dibuka. Sementara, setelah produk dibuka dan digunakan maka tanggal kadaluarsanya akan berubah.
Menurut pengalaman saya, disinilah biasanya pembeli dan penguna produk kurang teliti. Waktu itu, istri membeli lipstik yang katanya impor dari Swedia, dan yang lebih seru adalah, harganya lebih mahal dari knalpot ori motor Honda C-100 saya (mau sedih, tapi nggak jadi).
Iseng-iseng saya baca labelnya, dan ternyata untuk lipstik, lip gloss, lip balm dan produk lip lainya (tidak termasuk lip sync) ada tulisan tambahan kecil kalau produk sebaiknya maksimal digunakan setahun setelah dibuka pertama kali (meskipun tidak dipakai).
Jadi untuk rekan dan rekanita (jadul sekali gua) yang menggunakan produk lips tersebut harus waspada. Apalagi anda punya lipstik 5 buah padahal bibir yang pakai cuma itu-itu aja, harus pake lipstik tiap hari biar greget. Terus, kalau ada produk baru jadi bisa beli lagi deh.
Selain masalah tanggal kadaluarsa yang perlu diwaspadai oleh konsumen, lipstik dan produk untuk bibir lainya yang lagi diskon, juga perlu mendapatkan perhatian khusus dari para peminatnya. Terutama, bagi produk impor yang dijual melalui jaringan MLM.
Saya pernah ngecek produknya, dan ternyata tanggal kadaluarsanya 3 bulan lagi. Bayangkan, bagaimana cara menghabisakan lipstik dalam 3 bulan? Mungkin setiap pemakaian harus lapis sampai 3 kali biar lebih greng—emangnya lagi ngecat Vespa~
Tidak hanya aturan kadaluarsa yang perlu diperhatikan, aturan penggunaan produk lainya juga perlu dilihat lebih teliti lagi. Misalnya ada produk kecantikan yang tidak boleh digunakan ketika ada luka terbuka. Dan pengguna tidak sadar bahwa jerawat yang dipencet atau kepencet karena tidak sengaja juga merupakan salah satu bentuk dari luka terbuka yang tidak boleh terekspos oleh produk tertentu.
Dari semua aturan yang ada pada label, buat saya yang perlu diwaspadai justru aturan yang tidak ada labelnya, yaitu aturan pembelian. Berdasarkan pengalaman, perempuan (sebetulnya laki-laki juga sama saja) lebih tergiur pada bonus yang diberikan dibandingkan dengan kebutuhan.
Istri saya pernah beli parfum dapat bonus tas, dompet cantik, lip balm dan lain-lain (pokoknya yang paket gitu deh), ternyata setelah dibeli dan dihitung harga parfumnya ternyata mahal. Tidak hanya bisa buat beli service pack, bahkan harganya bisa buat beli karburator baru buat motor saya kala itu.
Jadi ternyata kosmetik tidak hanya berpengaruh terhadap kesehatan penggunanya saja, tapi juga bisa berpengaruh terhadap kesehatan finansial keluarga. Disini, kadang saya merasa harus prihatin, nelangsa, dan sedih, tetapi nggak jadi, karena waktu beli produk kosmetik, istri saya kelihatan bahagia.