Pak Luhut, Beternak dan Berkebun itu Tidak Semudah Omongan Bapak

Pak Luhut, Beternak dan Berkebun itu Tidak Semudah Omongan Bapak

Pak Luhut, Beternak dan Berkebun itu Tidak Semudah Omongan Bapak (Pixabay.com)

Beternak dan berkebun itu nggak mudah lho, Pak Luhut. Tenan iki.

Ketika masih kecil, saya kebayang hidup seperti dalam Harvest Moon. Tinggal gosok-gosok dan memberi pakan sapi, bisa dapat susu. Tinggal mengibaskan sabit sekali, sepetak rumput liar terpotong. Tinggal mengacungkan bulu warna biru, bisa nikah. Apalagi bisa memakai gameshark dan langsung kaya raya.

Sayang sekali, hidup lebih bajingan dari sebuah gim. Beternak dan berkebun tidak pernah mudah.

Maka saya langsung senewen dengan imbauan Luhut Binsar Panjaitan. Perdana Menteri Menko Marves ini mengajak masyarakat untuk mulai berkebun dan beternak. Menurut blio, cabai merah, bawang merah, cabai rawit, telur ayam, daging ras, dan tomat bisa dikembangkan di rumah masing-masing.

Ajakan ini sebenarnya baik. Krisis pangan bisa diatasi dengan kemandirian tiap rumah tangga. Saya juga sepakat bahwa kemampuan berkebun dan bertani harus dimiliki tiap orang. Ini bisa menjadi solusi ketika tiba-tiba Perang Dunia III meletus. Pangan tidak akan langka ketika setiap orang bisa menghasilkan sendiri.

Teorinya sih begitu. Tapi, sekali lagi, hidup lebih bajingan dari sebuah teori.

Jika berkebun dan beternak itu mudah, saya pikir setiap rumah akan melakukannya. Tapi untuk melakukan itu semua, ada yang harus dibayar. Waktu, tenaga, dan uang harus kita sisihkan untuk berkebun dan beternak. Ada ilmu yang harus dimiliki. Ada trial and error yang harus dilakukan.

Bicara beternak dulu saja saya sudah merinding. Ternak itu harus dipantau 24/7. Sekali lengah, ternak bisa mati dan tidak produktif. Jangankan mengurus ternak untuk pangan, mengurus seekor kucing peliharaan saja tidak mudah lho Pak Luhut. Coba tanya ke Pak Prabowo.

Untuk mencukupi kebutuhan pangan paling dasar, kita tidak bisa memelihara satu-dua ekor ternak saja. Ketika kita memelihara banyak ternak, nanti pencemaran jadi masalah baru. Pak Luhut pasti tahu alasan kenapa peternakan ayam selalu ada di tengah sawah atau pinggir pantai. Agar tidak mengganggu masyarakat, Pak.

Berkebun juga butuh effort tersendiri. Apalagi untuk tanaman produktif. Mereka butuh perawatan dan pengawasan ekstra daripada sekadar anggrek atau janda bolong. Salah rawat sedikit, pohon tomat tidak akan berbuah. Belum lagi ada ilmu sendiri yang harus dipelajari dan diterapkan.

Dan terlepas dari effort, di mana kami harus berkebun dan beternak? Mungkin masih mungkin bagi masyarakat rural. Dan ini sudah dijalankan sebagai tradisi. Lha untuk warga urban, di mana kami melakukan? Tanah sepetak saja kadang belum punya.

Mungkin Pak Luhut dan Anda semua akan menyebut hidroponik. Benar, ini bisa jadi solusi warga perkotaan. Tapi bagaimana pengadaan unit hidroponik ini? Tetap ada biaya dan waktu yang harus dikeluarkan. Tidak semua orang punya itu, Pak. Dan hidroponik juga terbatas untuk tanaman ramah air.

Perkara waktu, ini juga kemewahan yang tidak dimiliki setiap orang. Bayangkan seorang pekerja yang bekerja selama 5 hari, dari pukul 9 pagi sampai 6 sore. Pulang-pulang, mereka tentu sudah cukup lelah dan butuh hiburan. Ketika tiba-tiba melihat kebun mereka sudah diperkosa ulat hijau. Yo emosi, Pak.

Terakhir adalah biaya. Alasan mengapa peternakan dan pertanian dilakukan dalam skala besar agar biaya bisa dimaksimalkan. Lha kalau ternak kecil-kecilan, setiap hari harus beli pakan. Nanti 40 hari baru bisa disembelih. Selama 40 hari, uang pakan selalu keluar lho. Kecuali gaji mencukupi dan ada anggaran khusus, biaya tetap jadi masalah besar.

Saya ngomong seperti ini bukan tanpa mencoba ya, Pak Luhut. Kebun depan rumah saya juga ditanami tanaman produktif. Meskipun saya WFH, tetap saja keteteran merawat kebun. Dan yang diproduksikan juga tidak benar-benar berdampak di anggaran belanja.

Saya juga pernah beternak kecil-kecilan. Beternak ayam, bebek, angsa, dan itik. Bahkan dengan ilmu yang saya peroleh selama kuliah di Fakultas Peternakan, ini tetap tidak mudah, Pak Luhut. Setiap malam saya harus mengawasi garangan. Paginya bersih-bersih kandang dan memberi pakan sebelum kerja. Sorenya misuh-misuh ketika ada tikus membobol kandang saya.

Tidak semua orang punya privilese untuk membuat kebun dan kandang mini di rumah. Orang itu harus punya lahan yang cukup. Mereka juga punya waktu luang dan kegiatan yang tidak terlalu menguras waktu serta tenaga. Sisanya, mereka punya anggaran khusus untuk beli pakan, pupuk, obat, dan kebutuhan lain.

Dan terakhir, tidak semua orang punya akses untuk pengetahuan tentang peternakan dan pertanian. Bahkan masyarakat rural yang menggantungkan hidup dari ini saja belum tentu punya akses. Tanpa pengetahuan yang cukup, kebun dan ternak di rumah akan menjadi sumber masalah dan pemicu stress baru

Tapi, bukan berarti saya meremehkan ajakan Pak Luhut. Ajakan ini baik, dan patut dihargai. Tapi untuk dijalankan, saya pikir berat juga. Jangan sampai ajakan ini untuk menjawab krisis harga pangan yang sebentar lagi terjadi. Kalau ajakan ini memang solusi yang ditawarkan pemerintah, wah yo remook!

Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Luhut Binsar Panjaitan adalah Mimpi Tertinggi Seorang Batak di Indonesia

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version