Semua ini diawali dari pembicaraan Grup WhatsApp Penulis Terminal Mojok Jawa Barat yang sedang berdiskusi tentang tulisan kedaerahan untuk Terminal Mojok, tentang stigma orang Sunda yang dicap sebagai pemalas.
Saya pun beberapa kali mengalami stigma tersebut ketika berdiskusi mengenai pekerjaan dengan teman saya yang berasal dari Solo tentang bisnis baksonya. Selama puluhan tahun menjalankan bisnis bakso di Kota Bandung, kedua orang tuanya tidak pernah mempekerjakan orang Sunda meski usaha mereka berada di Kota Bandung, karena orang Sunda tidak dapat diandalkan, lelet, dan tidak disiplin.
Seketika saya bilang, “Saya orang Sunda tapi dapat diandalkan, tidak lelet, dan justru disiplin.”
Teman saya pun kemudian meminta maaf. Dia menyangka saya adalah orang Jawa lantaran nama saya Wisnu, yang biasa disematkan pada lelaki Jawa. Terlebih, saya memiliki gelar “Raden” sejak lahir yang menempel di seluruh dokumen kependudukan saya seperti akta kelahiran, KTP, SIM, hingga seluruh akun media sosial saya.
Dia pun berkata, “Kamu malah rajin seperti orang Jawa, tidak seperti orang Sunda yang saya kenal.”
Saya jadi berpikir, “Sejak kapan sifat seseorang dapat ditentukan dari gen, kesukuan, dan juga etnis?”
Akhirnya saya membuat hipotesa berikut ini berdasarkan sedikit ilmu psikologi yang saya dapatkan saat kuliah dan dari berbagai sumber bacaan, serta hasil diskusi dengan berbagai macam orang.
#1 Faktor alam
Pada umumnya, orang Sunda tinggal di pegunungan yang subur jauh sebelum masa kolonial Belanda. Lahan yang subur serta udara yang sejuk menjadikan orang Sunda cenderung malas karena hanya dengan rebahan saja hasil pertanian, perkebunan, atau peternakan mereka akan jadi dengan sendirinya. Udara yang sejuk tersebut juga membuat orang Sunda menjadi pribadi yang lemah lembut dari tutur bicara dan cenderung tidak memiliki ambisi dalam dunia bisnis dan dunia politik. Dengan kekayaan alam yang melimpah tersebut, mereka sudah sangat puas. “Ah, kieu ge cekap lah.” (Ah, segini juga sudah cukup)
Ini sangat berbeda dengan orang luar Sunda yang merantau di Tanah Sunda. Mereka mau tidak mau harus bekerja keras di Tanah Priangan karena merupakan pendatang. Mereka berambisi untuk menjadi wirausahawan dengan merangkak dari bawah, atau menduduki jabatan tertentu dari bawah karena mereka merupakan perantau.
Keadaan ini sangat kontras dengan orang Sunda yang para perantau ini lihat, sehingga mereka mengatakan orang Sunda pemalas. Dan ketika mereka kembali ke kampung halaman, mereka menceritakan cerita ini sehingga stigma ini begitu melekat kepada orang Sunda.
#2 Propaganda Belanda
Syed Hussein Alatas, seorang ilmuwan Malaysia yang lahir di Kota Bogor dalam The Myth of Lazy Native (1977) menjelaskan bahwa mitos kemalasan pribumi adalah propaganda dari pemerintah Kolonial Belanda. Para bumiputera saat itu menolak untuk disuruh bekerja dalam program tanam paksa Van Den Bosch. Untuk itu, pemerintah Kolonial Belanda menyebarkan propaganda bahwa bumiputera itu lamban, membosankan, dan kekanak-kanakan. Van Den Bosch bahkan menyamakan kecerdasan bumiputera dewasa setara dengan perkembangan intelektual anak-anak Belanda yang berumur 12-13 tahun.
Setelah itu, hektar tanah di Priangan dibuka jadi perkebunan. Pemerintah kolonial mengubah tanah Priangan menjadi perkebunan komersil untuk kebutuhan pasar Eropa. Para bumiputera dipaksa bekerja memenuhi target waktu dan target produksi sesuai dengan budaya kerja di Eropa saat itu. Sanksi hukum pun diberlakukan kepada bumiputera yang dianggap menghambat pekerjaan tersebut.
Citra malas dibuat oleh kolonial untuk membuat masyarakat Nusantara menyesuaikan diri dengan model kerja Eropa. Penyesuaian waktu serta segala hal yang berkaitan dengan agenda untuk mengadabkan para pribumi dalam sudut pandang kolonial bertujuan untuk pengerahan kerja paksa.
#3 Pengaruh cerita Kabayan
Yang terakhir adalah penokohan dari cerita rakyat Sunda bernama Kabayan. Kabayan sendiri adalah cerita rakyat Sunda turun temurun sejak zaman Kolonial Belanda yang populer. Kabayan dianggap sebagai tokoh ciptaan manusia Sunda yang hidup berpegang kepada pedoman cageur jeung bageur, yakni sehat lahir batin dan berbudi yang baik.
Kabayan digambarkan sebagai orang Sunda yang ramah dan sopan meskipun hidupnya malas dan miskin. Terlebih, dia tidak memiliki pekerjaan sama sekali alias pengangguran. Dalam banyak kisah pun Kabayan dikenal senang bercanda, sering melakukan hal-hal konyol, dan bisa dibilang sangat bodoh. Di balik itu semua, dia selalu bersikap jujur dan selalu tersenyum dalam kondisi apa pun.
Pengaruh cerita rakyat ini menjadi sebuah stigma turun temurun terhadap orang Sunda bahwa semua orang Sunda ini seperti Kabayan. Pemalas dan miskin, tidak memiliki ambisi apa pun, dan selalu merasa cukup dengan keadaan yang dimilikinya, padahal dia tidak memiliki apa-apa, termasuk pekerjaan tetap.
Nah, jadi itulah beberapa catatan bagaimana stigma orang Sunda yang pemalas itu berasal. Mulai dari kondisi geografi dan demografi Jawa Barat yang terdiri dari tanah pegunungan yang subur dan sejuk, propaganda Pemerintah Kolonial Belanda, hingga pengaruh cerita rakyat Kabayan yang telah turun temurun diceritakan pada masyarakat.
Kesimpulannya, sejak kapan sifat seseorang ditentukan oleh suku, agama, ras, ataupun etnis? Sifat seseorang dibentuk oleh pola asuh orang tua, lingkungan terdekat, tingkat pendidikan, dan keadaan ekonominya, bukan berdasarkan suku, agama, dan ras tertentu.
Sama seperti yang mengatakan bahwa kucing oren adalah kucing yang barbar, tidak tahu sopan santun, dan sangat egois, kan yang bersifat begitu bukan kucing oren, itu hanya oknum dari kucing oren saja. Kita tidak dapat menyimpulkan sifat suatu kelompok berdasarkan perbuatan sebagian kecil dari anggota kelompok tersebut, bukan?
Jadi, tidak semua orang Sunda itu pemalas ya, meskipun saya membuat tulisan ini sambil rebahan dan berleha-leha. Catat! Itu Pitnah!
BACA JUGA Penggunaan Kata ‘Aing’ dalam Bahasa Sunda untuk Pemula dan tulisan Raden Muhammad Wisnu lainnya.