Sebelum pandemi, ketika hendak berangkat kuliah, saya eneg pengin muntah ketika berpapasan dengan muda-mudi yang sedang pacaran di atas motornya. Lajunya pelan, kadang nengah-nengah, dan lupa melihat suasana. Jalanan yang saya lalui itu Jalan Pleret yang setara trek-trekan karena tronjal-tronjol. Sudah berangkat kuliah hampir telat, jalannya sempit, ramai, jalanan berlubang, ada orang pacaran pula, kombinasi yang bajingan tenan.
Pernah suatu ketika saya klakson agar sedikit minggir, jangan nengah-nengah. Bagai pahlawan yang ingin terlihat hebat di depan pacarnya, si laki-laki berteriak kepada saya, “Maburo!” yang artinya ‘terbang saja!’ Saya justru nggak tersinggung, tetapi kemekelen setengah mati. Ha edan po terbang, nyangkut hotel-hotel di Jogja, baliho sampah visual, dan kabel-kabel yang njelimet malah repot.
Walau kurang suka dengan konsep karma, namun akhirnya saya kena batunya. Beberapa waktu ini, ketika membonceng pacar, seakan rasa bersalah saya karena misuhi orang pacaran beberapa waktu lalu menumpuk dengan hebatnya. Biasanya memacu motor rata-rata 60km/jam, ndilalah ketika bersama pacar kok ya bisa-bisanya lho jadi 30 km/jam.
Setidaknya saya menemukan beberapa alasan mengapa orang pacaran yang berboncengan laju motornya pelan dan itu rasional untuk dijelaskan. Pertama, membawa nyawa anak orang. Ini yang terlintas di pikiran saya yang sangat jarang saya gunakan. Mau pacar, teman, atau sanak saudara, ketika ngeboncengin, jelas nyawa tanggungannya. Apalagi pacar, ketika dipasrahi orangtuanya dan itu adalah pegangan kepercayaan.
Menjemput dengan hormat, itu berarti kudu mengantar dengan tak kalah hormat pula. Memacu motor dengan pelan, nggak kesusu, adalah pilihan mutlak. Tapi, ya itu tadi, kalau pelan-pelan harus sesuai protokolnya. Emangnya cuma negara aja yang bisa umuk dengan “protokol kesehatan”, pelan-pelan pun ada “protokol keselamatan”, yakni memacu motor di pinggir jalan, jangan ke tengah-tengah.
Kedua, menikmati suasana. Jogja yang biasa saja, kalau dilewati bersama orang yang spesial kok ya bisa-bisanya jadi menyenangkan. Ternyata yang istimewa bukan Jogja, melainkan dengan siapa kita menghabiskan waktu di tempat ini. Dan membelah Jogja dengan motor, itu sungguh menyenangkan. Apalagi ketika melewati tempat-tempat khusuk di Jogja semisal Sarkem.
Kami bisa pula melihat melihat perbedaan total antara pusat Jogja dengan bagian suburban. Di pusat kota adalah hiruk pikuk wisatawan, di suburban adalah kawasan yang mencekam. Lha gimana, Dab, pas melewati daerah sepi dengan kecepatan pelan, apa nggak takut kena klitih? Apa nggak takut tiba-tiba ada yang mengacungkan celurit? Blas lagunya Adhitia Sofyan nggak related.
Ketiga, ngobrol. Coba bayangkan semisal Dilan memacu motornya dengan ngebut. Yang ada bukannya hal romantis, tetapi nggatheli. “Dilan, cita-cita kamu apa?” tanya Milea. Dilan yang pating semribit karena ngebut pasti nimpali begini, “HA?” Hal ini mempertegas kata-kata Brouwer bahwa bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum. Alasannya tersenyum karena melihat Dilan budek pas Milea ngajak omong. Orang pacaran model apa yang begini?
Keempat, mendiskusikan masa depan. Jebul naik motor pelan-pelan itu produktif juga. Saya dan pacar bisa sampai dalam tahap membicarakan masa depan. Bukan masalah memberi nama anak atau nikah tahun berapa, melainkan bisa nggak beli rumah di bumi Jogja yang lahir ketika penuh ketimpangan. Ketika ada pangeran umuk rumahnya yang bak istana, kami sebagai rakyat jelata ya hanya bisa begini, prengas-prenges sembari menyapa tabir masa depan yang abu-abu.
Kelima, nggak ada tujuan penting. Kebanyakan orang pacaran itu pengin menghabiskan waktu bersama. Nggak ada momen kejar-kejaran dengan waktu seperti telat berangkat kuliah atau kerja. Alasan inilah yang banyak dipilih muda-mudi pacaran untuk memilih jalan terjal bernama berlama-lama di atas kendaraan bermotor.
Apalagi malam minggu, waktu yang biasanya dihabiskan untuk duduk bersama, ngobrol nggak tahu arahnya ke mana. Pun selama di motor pada perjalanan pulang, banyak kata-kata di kepala dan tiba-tiba saja motor jadi berjalan amat pelan. Memang bukan pilihan, tetapi itulah kenyataan.
Kelima, menghabiskan waktu selama mungkin di atas motor. Menghentikan waktu mungkin memang nggak bisa, namun mengulur waktu bukan hal yang nggak mungkin dilakukan. Karena kebanyakan orang pacaran katanya sih bisa membuat bahagia. Dan berlama-lama di atas motor, menghimpun beberapa alasan di atas, dan ngguya-ngguyu nggak tahu juntrungannya ke mana adalah pilihan yang nggak bisa diganggu gugat.
BACA JUGA 4 Tipe Pemuda Kasmaran yang Boncengan sambil Yang-yangan dan tulisan Gusti Aditya lainnya.