Hari ini kita melihat polisi sebagai sebuah kewajaran. Seolah-olah sistem pengamanan sipil ini sudah ada sejak peradaban terbentuk. Kita juga memandang segala peristiwa buruk yang melibatkan kepolisian adalah sebuah kewajaran. Namun, ide adanya polisi juga tidak mulus. Bahkan rakyat salah satu negara superpower (baca: arogannya minta ampun) pernah menolak kehadiran polisi. Negara itu adalah Inggris.
Ini menarik menurut saya. Sebagai negara pengimpor (baca: pemaksa) kebudayaan dan sistem kepemerintahan, polisi di Inggris telat hadir. Bahkan sudah didahului negara lain di Eropa. Namun, alasan polisi Inggris telat hadir ini patut diingat. Agar kita bisa memahami alasan mengapa polisi dibutuhkan masyarakat.
Sebelum lahirnya polisi, sistem keamanan sipil di Inggris masih menerapkan model abad klasik. Model ini melibatkan kelompok masyarakat yang berkenan terlibat sebagai penjaga keamanan. Mungkin bisa disamakan dengan sistem siskamling yang sudah mati di banyak kampung.
Untuk menggenjot keamanan, parlemen Inggris menerbitkan bounty untuk setiap pelaku kejahatan yang tertangkap. Ini memunculkan thief-takers alias penangkap maling. Mereka bekerja secara independen, dari menangkap pelaku sampai mengembalikan barang curian. Maka banyak orang menjadikan thief-takers ini sebagai profesi. Selain mendapat bounty dari pemerintah, mereka mendapat uang tambahan dari korban yang ingin mendapatkan barang yang dicuri.
Sistem thief-takers ini penuh dengan korupsi. Salah satu thief-takers korup paling kondang adalah Jonathan Wild. Ia adalah thief-takers senior sekaligus dalang dari berbagai kejahatan terutama pencurian. Ia menjadikan posisi thief-takers menjadi alat untuk memukul gangster pencuri rival. Singkat cerita, sindikat Jonathan Wild terbongkar. Ia dihukum gantung saat koma akibat racun yang ia minum di penjara.
Kita bisa membayangkan bagaimana ruwetnya sistem pengamanan sipil ini. Tapi, mengapa rakyat Inggris tidak menuntut sistem polisi yang lebih terstruktur? Penolakan terhadap polisi ini diakibatkan sistem polisi di Prancis. Pasca revolusi, polisi Prancis menjadi perpanjangan tangan militer dan negara. Polisi hadir bukan sebagai kekuatan keamanan sipil, tapi sering menjadi alat pukul negara terutama musuh politik.
Sentimen terhadap polisi ini juga diperkuat dengan penolakan terhadap sistem surveillance. Mayoritas rakyat Inggris tidak ingin hajat pribadi mereka ada dalam pengawasan pemerintah. Maka sistem thief-takers dan keamanan seperti watchmen dan magistree masih dipelihara.
Salah satu model polisi yang muncul (dan dinilai berhasil) adalah Bow Street Runners. Kelompok keamanan sipil ini didirikan pada tahun 1749 oleh Sir Henry Fielding. Blio mengawali karir sebagai novelis dan pengacara. Banyak karya Sir Henry Fielding yang terinspirasi oleh kejahatan Jonathan Wilde.
Bow Street Runners sendiri tidak hanya berhenti sebagai thief-takers seperti era Jonathan Wild. Kelompok ini juga melakukan penyidikan sebelum diserahkan ke pengadilan. Meskipun agensi swasta, namun Bow Street Runners sudah melakukan peran polisi modern. Reorganisasi ini dilakukan Sir John Fielding, saudara Sir Henry Fielding yang dikenal sebagai “Si Buta dari Bow Street.” Sedikit trivia, Sir John Fielding bisa mengenali 3000 pelaku kriminal hanya dari suara saja.
Kelemahan Bow Street Runners ada pada kekuatan dan wewenang. Sebagai badan swasta, mereka mendapat pendanaan hanya dari bounty. Maka bisa dimaklumi jika Bow Street Runners tidak memiliki anggota yang cukup. Terutama ketika dihadapkan pada kerusuhan sipil.
Beberapa kali kerusuhan di Inggris diselesaikan oleh militer. Dan bisa ditebak, banyak orang tewas dalam kerusuhan jika ditangani oleh militer. Salah satunya adalah Kerusuhan Gordon pada 1780. Kerusuhan yang lebih dikenal sebagai “King Mob Movement” ini mengakibatkan 200-300 orang tewas. Semua diakibatkan oleh tindakan represif oleh militer Inggris.
Kerusuhan Gordon ini menjadi sorotan parlemen. Mereka menyayangkan model penanganan militer terhadap kerusuhan sipil. Bisa dipahami, karena militer dilatih untuk berperang. Membunuh adalah solusi yang dipelajari mereka saat pendidikan. Tentu relevan ketika dihadapkan pada kekuatan militer musuh, tapi bukan untuk melawan rakyat sipil.
Usulan untuk membentuk instansi kepolisian dengan model polisi Prancis pun lahir. Namun pada akhirnya, Bow Street Runners dilebur dalam instansi kepolisian baru ini. Penggunaan pentungan diprioritaskan daripada pedang selayaknya militer. Bahkan ada pembatasan penggunaan senjata api. Pada akhirnya, kepolisian Inggris lahir sebagai kekuatan keamanan sipil yang terpisah dari militer.
Sejarah lahirnya polisi di Inggris ini menarik. Polisi memang jangan sampai menjadi bagian dari angkatan militer. Ketakutan rakyat Inggris abad ke-18 sampai 19 ini bisa dimaklumi. Kekuatan militer tidak pernah tepat untuk menangani gesekan sipil. Kemunculan sistem thief-takers ini menjadi jawaban agar kejahatan sipil diselesaikan oleh masyarakat sipil juga.
Seperti Kerusuhan Gordon, metode militer jelas bukan solusi masalah sipil. Korban yang berguguran diakibatkan penanganan yang sama seperti menangani tentara musuh. Maka polisi Inggris hadir bukan sebagai perpanjangan tangan militer, tapi sebagai kekuatan dan perlindungan warga sipil dari tindak kejahatan.
Penggunaan pentungan alih-alih pedang ini juga penting. Peran polisi adalah mengamankan, bukan membunuh. Pentungan ini menjadi simbolis dan praktis. Simbolis karena melambangkan kehadiran mereka yang (seharusnya) tidak membunuh rakyat. Praktis karena lebih mudah mengamankan pelaku kriminal daripada menggunakan pedang.
Masyarakat butuh polisi sebagai bagian dari mereka. Dan polisi harus hadir dari, oleh, dan bagi masyarakat sipil. Dan jangan sampai malah hadir sebagai kekuatan militer yang bergerak semau mereka karena mereka punya wewenang untuk itu.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Sikat Polisi Hedon di Medan, Kompol Hoegeng Iman Santoso Disantet