Pada akhirnya saya harus menulis perkara orang cadel. Tapi bukan untuk melucu, namun untuk marah. Ketika kepedulian pada isu perundungan dan kesetaraan makin santer, orang cadel masih jadi sasaran empuk hujatan dan hinaan. Seolah orang cadel adalah manusia aneh yang tidak pantas dihormati.
Wahai saudaraku sesama pembenci huruf R, L, T, S, dan sebagainya! Sudah waktunya kita untuk bebas bicara tanpa ditertawakan. Sudah waktunya kita bebas bersuara tanpa dicibir dan dihina. Dari Widji Thukul sampai kamu yang dirundung di belakang sekolah, lidahmu bukanlah hal yang hina!
Daftar Isi
Mau podcast saja dilarang?!
Kemarahan ini biasa saya pendam sendiri. Namun kali ini meledak gara-gara Neo Historia Indonesia. Melalui akun Twitter mereka, mereka menyayangkan rundungan terhadap Hanafi Wibowo sang founder. Rundungan itu tertuju pada konten podcast blio bersama Ruang 28. Karena cadel, banyak orang yang menghujat Mas Hanafi dengan komen tolol ala “rrrrrr rrrrr rrrr.”
Ave Neohistorian!
Kami mengungkapkan rasa prihatin, kecewa, dan rasa sedih kami terhadap komentar-komentar yang menyerang fisik dan keterbatasan salah satu co-founder kami yakni @HansWibowo15
Cadel atau Rhotaisme adalah sebuah fenomena di mana seseorang atau penutur sebuah… pic.twitter.com/kIaKlfgI1Q
— Neo Historia Indonesia (@neohistoria_id) November 28, 2023
Tapi yang paling bajingan adalah komentar yang memandang Mas Hanafi tidak kompeten hanya karena cadel. Ini sudah kelewatan, seseorang dianggap tidak kompeten hanya karena kesulitan melafalkan huruf R? Yang benar saja.
Justru saya heran, kok pede bilang Mas Hanafi tidak kompeten karena cadel. Justru hal itu malah memperlihatkan kalau situ yang goblok, kan?
Beberapa orang menilai hujatan kepada Mas Hanafi karena sudut pandang blio tentang penjajahan Israel atas Palestina. Tapi terlepas dari sumber masalahnya, hujatan perkara cadel sudah tidak lucu dan tidak manusiawi lagi. Apalagi sampai meragukan kemampuan seseorang perkara keilmuan hanya karena cadel.
Tentu postingan Neo Historia Indonesia melahirkan perdebatan baru. Banyak yang berteori tentang penyebab cadel. Banyak pula yang menawarkan solusi “menyembuhkan” cadel. Sebenarnya kedua komentar itu tidak penting. Karena masalah utamanya bukan penyebab dan “obat” cadel.
Bukan perkara sambal
Kenapa orang bisa cadel? Jawaban paling mudah sih, ya terserah Tuhan. Tapi orang akan menunjuk sambal sebagai jawaban. Cadel selalu identik dengan tidak doyan sambal. Benarkah?
Sudah pasti jawabannya tidak. Cadel bisa diakibatkan oleh kebiasaan maupun ketidaksempurnaan lidah. Perkara kebiasaan, biasanya terjadi pada kelompok masyarakat yang jarang menggunakan huruf tertentu dalam komunikasi. Bisa juga karena orang tua tidak mengenalkan pelafalan beberapa huruf saat anak masih bayi.
Alasan lainnya adalah ketidaksempurnaan perkembangan lidah. Terutama pada bagian Frenulum Linguae. Bagian bawah lidah yang menyatu dengan mulut bawah ini berpengaruh pada kemampuan seseorang berbicara. Frenulum Linguae bisa membuat lidah terlalu kaku untuk bergetar atau bergerak saat melafalkan huruf tertentu. Selain karena Frenulum Linguae yang kurang sesuai, konstruksi lidah juga berpengaruh pada penyebab cadel.
Memang ada beberapa solusi untuk “menyembuhkan” cadel. Meskipun saya tidak sepakat dengan kata sembuh ini, karena kondisi ini bukan penyakit. Kebanyakan solusi ini berlaku pada anak kecil. Pertama karena anak kecil lebih mudah belajar perkara pelafalan. Kedua karena lidah anak kecil masih berkembang dan lebih adaptif.
Bagaimana dengan orang dewasa? Pilihannya hanya dua. Beruntung bisa sembuh dengan terapi bahasa, atau jadi manusia tertindas seumur hidup.
Normalisasi cadel sebagai lelucon sudah tidak lucu!
Untuk orang dewasa yang masih cadel, tawa dan hinaan akan jadi makanan biasa. Meskipun ada yang beruntung bisa bebas dari perundungan. Namun kita boleh percaya diri menyebut orang cadel masih jadi bahan tertawaan lingkungan. Sialnya, budaya mentertawakan kondisi ini sudah dinormalisasi.
Normalisasi mentertawakan ini malah didorong oleh mereka yang cadel. Saya sedikit maklum, karena cadel memang jadi komoditi seksi dalam dunia hiburan. Cadel bukanlah hal umum, dan sudah pasti dianggap lucu, dan bisa menjual kondisinya sebagai bahan dagelan. Saya tidak akan menyebut siapa saja mereka karena takut dituduh membunuh rezeki.
Akhirnya stigma cadel sebagai badut lahir. Masyarakat memandang bahwa mentertawakan orang cadel adalah hal yang biasa. Sayangnya yang jadi sasaran bukanlah orang yang mendapat untung dari menghina cadel. Beberapa sampai minder sampai enggan bicara di depan publik. Contohnya saya waktu masih remaja.
“Dikuatkan keluarga, tapi dijatuhkan lingkungan,” kalau kata Mbak Tiara Uci yang sama-sama cadel juga.
Bahkan ketika isu perundungan makin diperhatikan, orang cadel masih saja jadi sasaran hinaan dan tawa. Seolah orang lupa kalau para pemilik lidah ini juga punya hati dan pikiran. Hampir tidak ada suara yang membela orang cadel agar bebas dari hujatan.
Bagaimana suara orang cadel mau didengar? Orang sekelas Mas Hanafi Wibowo saja keilmuannya diragukan karena cadel. Kalau tidak lucu, ya dipandang sebagai anomali semesta saja.
Widji Thukul pun berpuisi, Effendi Gazali pun beropini
Tapi tidak selamanya orang cadel direndahkan ketika bicara. Bahkan siapapun yang mendengar akan manggut-manggut mengiyakan. Saya tidak akan menyebutkan para penjual kecadelan tadi ya. Namun saya akan menyebut dua orang cadel yang lidahnya lebih kokoh dari para penghina.
Pertama adalah Widji Thukul, sang penyair dan aktivis HAM. Meskipun cadel, namun lidahnya tetap bergetar menyuarakan kebusukan Orde Baru. Puisinya tajam menusuk kuping pemerintah yang bebal dan keparat. Saya yakin lidah cadelnya memang setajam itu menyuarakan perlawanan dalam sajak dan puisi. Buktinya Widji Thukul hilang.
Kedua ada Effendi Gazali. Blio adalah ahli komunikasi politik yang sudah terakui kemampuannya. Selain itu, blio juga menggagas acara komedi politik bertajuk Republik Mimpi. Tidak hanya menggagas, namun Effendi Gazali juga tampil di acara yang membuat beberapa tokoh panas dalam ini. Tidak peduli dengan stigma, Pak Gazali terus beropini dan berpuisi.
Saya yakin masih banyak orang cadel yang bangkit dari stigma merendahkan. Namun stigma ini masih runtuh. Maka apa yang akan kita lakukan? Diam saja terhadap stigma ini?
Orang cadel di seluruh indonesia, bersatulah!
Sudah waktunya normalisasi orang cadel itu rendah dan layak ditertawakan untuk disudahi. Bukan hal mudah, namun sebuah keharusan. Kesadaran masyarakat terhadap keunikan tiap individu tentu perlu terbangun. Yang bisa kita lakukan adalah jangan mengizinkan lidah ini sebagai sumber tawa dan hujatan.
Tidak harus baku hantam sih. Namun dengan tidak memedulikan hujatan orang tentang cadel bisa jadi langkah awal. Kemudian kita juga harus berani menolak dan memeringatkan orang yang menghujat. Syukur-syukur langsung di depan orang itu. Paling penting, kita harus berani untuk tampil di depan umum. Bahkan ketika harus bicara banyak sekalipun. Buat hujatan dan tawa mereka teredam oleh keberanian lidahmu.
Ketika semua melakukannya, cadel akan dipandang dari kacamata baru. Menjadi sebuah hal normal yang menjadi bagian dari keunikan tiap individu.
Maka, bangkitlah wahai orang cadel! Beranilah untuk melawan hujatan dan hinaan bersama-sama! Dobrak tawa dan canda yang merendahkan lidah istimewa kita. Orang cadel tidak akan kehilangan apa pun selain belenggu stigma sosial! Orang cadel di seluruh Indonesia, bersatulah!
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kamu Kila Cadel Itu Lucu? Sembalangan!