Belum berpihak kepada rakyat kecil
Hal senada juga disampaikan oleh alumni salah satu universitas ternama pake banget di Jogja, Kepik (31). Sebagai seorang yang dulu pernah aktif di salah satu organisasi mahasiswa, menganggap bahwa saat ini kampus belum sepenuhnya berpihak kepada rakyat kecil. Hal ini dibuktikan dengan kurikulum atau metode pembelajaran yang kurang adaptif terhadap fenomena sosial di masyarakat.
Menurut Kepik, seharusnya fungsi-fungsi penelitian di kampus harus berdekatan dengan kondisi aktual di masyarakat. Sederhananya, proses pendidikan dan aktualisasi di kampus, harus mampu merespons isu kemiskinan. Hanya dengan begitu, nantinya akan menghasilkan produk mahasiswa yang memiliki kepekaan dan tanggung jawab sosial tinggi.
“Lihat saja sekarang, ada beberapa kampus yang justru mendorong mahasiswa untuk meneruskan ‘pasar’. Banyak mahasiswa yang merasa dipaksa agar cepat lulus dan langsung bekerja. Saya kira, itu bagian dari rantai industri pendidikan itu sendiri,” tuturnya.
Saat ini, nggak bisa dimungkiri bahwa banyak kampus-kampus di Jogja yang memiliki “bisnis sampingan”, seperti industri perhotelan. Buat sebagian orang, mungkin ini sah-sah saja karena pada dasarnya kampus juga butuh profit. Tapi, secara nggak langsung, bukankah hal ini semakin menjauhkan diri tujuan dari lembaga pendidikan itu sendiri?
Mendirikan hotel, mendirikan tembok
“Kalau benar-benar punya niat mengentaskan kemiskinan, harusnya pihak kampus memperbanyak membiayai keperluan penelitian-penelitian terkait isu kemiskinan atau membangun lembaga yang ada korelasinya dengan pendidikan. Bukan malah mendirikan hotel, yang justru semakin menegaskan bahwa kampus telah menjauh dari fenomena sosial kekinian,” lanjut Kepik.
Maraknya pembangunan industri perhotelan yang dilakukan oleh kampus ini juga dipandang sebagian pihak kurang related dengan misi pendidikan yang harusnya dijunjung tinggi. Hal ini cukup bertentangan dengan tujuan pendidikan. Sebab, dalam konteks saat ini, hotel dianggap sebagai simbol kapitalisme, sedangkan kita tahu tujuan utama kampus adalah melawan sikap atau usaha “memperkaya diri sendiri”.
“Mungkin kalau melihat arah kampus sekarang, sepertinya memang cenderung mencari profit saja. Ya, Itu tadi, pendidikan tak lebih dipandang sebagai industri yang menguntungkan”
Di sisi lain, menurut Kepik, peran mahasiswa dalam menyampaikan aspirasi terhadap kondisi yang saat ini tengah terjadi di kampus maupun Jogja juga sangat penting. Dengan menduduki simbol-simbol yang dianggap representatif, seperti kampus atau Titik Nol, sampai sekarang masih bisa menjadi goals dari sebuah gerakan.
“Tidak bisa dimungkiri bahwa banjirnya informasi di media sosial juga menjadi tantangan tersendiri buat mahasiswa di era sekarang. Ini nggak mudah. Maka dari itu, menurut saya, mahasiswa harus lebih adaptif lagi. Saya kira dengan mempertebal riset, observasi di lapangan, lalu dilanjutkan dengan aksi massa, bisa menciptakan goals yang bagus untuk merespons fenomena kemiskinan di Jogja,” ujar mantan aktivis tersebut.
Kampus harus berbenah
Minimnya partisipasi kampus-kampus ternama terhadap fenomena kemiskinan di Jogja ini, buat saya pribadi, sebenarnya bukan hal yang mengagetkan sih. Sederhananya, gimana mau mengentaskan kemiskinan kalau sistem pendidikan di kampus saja masih karut-marut?
Misalnya, masalah Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang mendapat penolakan di beberapa kampus negeri di Jogja, seperti UGM, UNY, dan UIN. Di UNY sendiri, mayoritas mahasiswa merasa keberatan dengan sistem tata kelola UKT.
Menurut survei yang dilakukan gerakan UNY Bergerak dan LPM Ekspresi, sebanyak 97 persen mahasiswa keberatan dengan UKT. Artinya, biaya pendidikan saat ini masih jauh dari kata murah dan bahkan dari tahun ke tahun cenderung memberatkan sebagian masyarakat. Bukankah sistem ini justru semakin mempertebal lingkaran setan kemiskinan?
Dampak dari meroketnya biaya pendidikan ini juga dirasakan warga di kelahiran saya, Gunungkidul. Menurut BPS, rata-rata lama sekolah masyarakat di Gunungkidul pada 2020-2022, hanya tujuh tahun. Tentu saja, salah satu faktor utama tingginya angka putus sekolah di Bumi Handayani ini karena masalah ekonomi.
Itu baru masalah semrawutnya tata kelola UKT, belum sistem kurikulum yang diterapkan oleh perguruan tinggi. Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, bahwa rata-rata kampus dinilai sejumlah pihak hanya mencetak mahasiswa menjadi pekerja profesional yang meneruskan pasar, bukan mengasah keterampilan agar mampu hidup mandiri dan peka terhadap kondisi sosial.
Sementara itu, tidak sedikit yang kemudian menuding bahwa mahasiswa sekarang kurang peka dengan fenomena sosial, terutama soal kemiskinan. Saya pun mencoba menghubungi seorang mahasiswa aktif semester delapan di salah satu perguruan tinggi Jogja, Putra (bukan nama sebenarnya).
Bungkam sana-sini
Menurut penuturan Putra, saat ini justru ada upaya “pembungkaman” secara sistematis yang dilakukan kampus. Banyak sebenarnya mahasiswa yang sudah mencoba menyuarakan pendapatnya mengenai permasalahan kemiskinan di Jogja. Namun, suara-suara seperti ini cenderung tidak “direstui” oleh pihak kampus.
“Ya, contohnya beberapa tahun lalu. Saya dan kawan-kawan mencoba menyampaikan aspirasi mayoritas mahasiswa yang keberatan dengan tata kelola UKT. Setelah selesai aksi, tiba-tiba orang tua saya didatangi petinggi kampus, yang intinya ada ancaman DO. Saya kira ini contoh nyata masifnya pembungkaman suara-suara kritis mahasiswa,” terang Putra.
Putra menambahkan, bahwa saat ini sejumlah kampus tengah berlomba-lomba menjadi yang paling favorit dan bisa go Internasional. Jadi, hal pertama yang dipertimbangkan adalah “nama baik kampus”, bukan bagaimana melakukan pendekatan kritis terhadap fenomena sosial di masyarakat.
“Demi menjaga nama baik kampus, mereka bisa melakukan apa saja. Jadi, sekarang itu mahasiswa yang dianggap berprestasi nih (penerus pasar), dipajang di pamflet-pamflet dan banner sebagai media promosi. Sedangkan, kawan-kawan saya yang kritis dan peka dengan kondisi sosial, malah cenderung dibungkam,” tutur pria berusia 23 tahun tersebut.
Menurutnya, kampus nggak cuma abai pada masalah kemiskinan di Jogja, tapi juga sangat egoistis. Biaya pendidikan yang mahal, minimnya peran terhadap fenomena sosial, kurangnya transparansi, serta adanya upaya pembungkaman dan intimidasi terhadap para aktivis kampus, tentu menjadi paket komplet melanggengkan tingginya angka kemiskinan di Jogja.
“Yah, jangankan mau mengentaskan kemiskinan di masyarakat, to, Mas, lha wong ngatasi rumah tangga kampus sendiri saja berantakan gini,” tandas Putra.
Kemiskinan Jogja yang begitu kompleks
Terlepas dari itu, isu kemiskinan di Jogja memang cukup kompleks. Sistem upah murah, rendahnya NTP, mahalnya harga tanah-properti, hingga tingginya angka pengangguran, dianggap sebagai pemicu meroketnya angka kemiskinan.
Anehnya, meski angka kemiskinan dan ketimpangan sangat tinggi, masih banyak “orang-orang berpendidikan” yang justru berlindung pada “angka kebahagiaan” di Jogja. Masalah metode teknik atau metode pengukuran kemiskinan tentu masih diperdebatkan.
Namun, mengeluarkan statement “biar miskin tetap bahagia” di tengah tingginya angka gantung diri, nikah muda, perceraian, hingga besarnya utang masyarakat karena tercekik bank plecit adalah bentuk dari rasa nirempati dan minim esensi. Bukan mengkritisi kebijakan yang tidak pro rakyat dan menawarkan solusi, malah sibuk testimoni berbunga-bunga yang amat, sangat kering makna.
Maka dari itu, sudah seharusnya kampus-kampus di Jogja harus berbenah. Program-program pemberdayaan harus diperbanyak dan terus dipantau. Bukan malah sibuk memperkaya diri sendiri dan abai dengan realita yang terjadi di masyarakat. Ya, kecuali kalau pendidikan memang pada dasarnya sudah didesain menjadi perusahaan sih, itu soal lain.
Penulis: Jevi Adhi Nugraha
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kuliah UIN Jogja Buat yang Mampu-mampu Aja