Sewaktu kecil, ada banyak permainan yang populer pada masanya. Ada permainan tradisional, ada pula yang terbilang modern. Untuk permainan tradisional, saya biasa memainkan egrang dan congklak bersama dengan teman yang lain. Jika ingin bermain secara beramai-ramai, bisa juga bermain petak umpet atau kucing-kucingan. Pada masanya, semua terasa menyenangkan meski tanpa tergantung pada gadget.
Saya beserta teman yang lain seringkali bermain tanpa kenal waktu. Dari siang, sore, hingga malam, yang dimainkan masih permainan yang sama. Selagi kami semua sudah mengerjakan PR—Pekerjaan Rumah—kami tidak akan ragu untuk keluar rumah, bermain permainan yang sama tanpa rasa bosan dan mengenal lelah.
Jika sedang malas melibatkan aktivitas fisik, biasanya saya bermain ABC 5 Dasar. Cara bermainnya terbilang mudah, cukup menyediakan kertas kosong, kumpulkan beberapa teman lalu tentukan huruf yang dimainkan melalui banyaknya jumlah jari hasil hompimpa. Pemenang ditentukan melalui total poin yang dikumpulkan pada akhir permainan.
Ada permainan lain yang bisa dimainkan bersama dengan teman-teman perempuan. Biasanya, para lelaki beradu dalam bermain engklek. Cukup membuat 8 kotak dan setengah lingkaran pada ujung kotak, lalu kami bermain bersama dengan melompati beberapa kotak yang sebelumnya sudah dibuat.
Dan masih banyak lagi permainan tradisional yang kini terbilang jarang dimainkan oleh beberapa anak lain. Maklum, semua permainan kini terpusat pada gadget. Perlahan, permainan tradisional mulai ditinggalkan. Saat ini, anak-anak lebih fokus memainkan permainan yang dengan mudah diunduh di smartphone-nya masing-masing.
Hal tersebut sulit dihindari, sebab beda zaman akan beda pula perlakuan dan apa yang dihadapi. Termasuk tren dalam bermain. Tak heran jika mereka yang tidak beradaptasi, kadangkala dicap sebagai anak atau seseorang yang kuno. Oleh karena itu, wajar jika secara perlahan banyak anak berbondong-bondong lebih memilih permainan yang jauh lebih modern yang tersedia dalam satu genggaman.
Meski begitu, dari sekian banyak permainan tradisional yang pernah saya mainkan sampai dengan kemunculan permainan modern, hingga kini ada satu yang bisa dikatakan masih eksis dan bertahan, juga masih dimainkan oleh banyak anak di beberapa tempat yaitu layangan.
Sewaktu saya bermain layangan, peralatan yang dibutuhkan dan harus dibeli pun terbilang murah. Hanya 200 rupiah untuk harga satu layangan dan 500-1000 rupiah untuk benang (tergantung panjang benang). Beberapa teman saya bahkan membuat layangannya sendiri sesuai dengan kreativitas masing-masing. Saya yang nggak kreatif-kreatif amat, tentu lebih memilih membeli karena jauh lebih praktis. hehe
Perlengkapan lain yang biasa digunakan antara lain, topi, kaos lengan panjang, dan seringkali menggunakan kacamata hitam. Hal tersebut sangat mahfum, mengingat bermain layangan dilakukan pada siang hari dan tak jarang saat terik matahari mencapai puncaknya. Semua yang dikenakan memiliki fungsinya masing-masing termasuk agar tidak kepanasan. Ada pula yang menggunakan sarung tangan, karena terkadang benang yang digunakan sangat tajam.
Biasanya, saya bersama dengan kawan yang lain bermain layangan di area terbuka agar lebih mudah mendapatkan hembusan angin yang cukup dalam menerbangkan layangan. Kami bermain layangan bisa dari siang sampai dengan sore. Bahkan, jika tidak hujan biasanya kami akan lanjut terus bermain sampai azan maghrib berkumandang.
Salah satu kenangan dalam bermain layangan adalah saat bagaimana mengikat simpul tali yang katanya menentukan bagaimana cara layang-layang terbang. Apakah layangan akan selalu berputar sampai dengan terbang atau dapat diterbangkan dengan mulus. Katanya, sih, semua ada filosofinya. Bahkan untuk mengikat simpul layangan sekali pun.
Kenangan lain saat bermain layangan dan tidak mungkin dilewatkan adalah sewaktu ada layangan putus. Saya bersama dengan teman yang lain tidak akan melewatkan kesempatan untuk mengejar layangan tersebut walau sejauh apa pun titik jatuhnya. Selama layangan tidak basah—jatuh ke sungai—tetap akan dikejar. Belum lagi layangan akan jadi bahan rebutan ketika masih melayang atau tersangkut di suatu pohon. Dan kami, selalu bersiap mengambil dengan galah atau bambu yang sudah disediakan.
Meski hal tersebut berbahaya dan terbilang rawan membuat seseorang cedera bahkan celaka, tapi anak-anak pada masanya—termasuk saya—tiada kapok dalam berlari mengejar layangan yang putus. Walau terbilang capek dan banyak yang mencibir, “untuk apa sih mengejar layangan putus kalau bisa beli dengan uang sendiri?”.
Ketahuilah, layangan seharga 200-500 rupiah memang bisa dibeli dengan mudah. Tapi, sensasi juga kenangan ketika bermain dan mengejar layangan putus yang belum tentu terulang di kemudian hari menjadi harga yang sangat mahal—paling tidak untuk dikenang. (*)
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) yang dibikin untuk mewadahi sobat julid dan (((insan kreatif))) untuk menulis tentang apa pun. Jadi, kalau kamu punya ide yang mengendap di kepala, cerita unik yang ingin disampaikan kepada publik, nyinyiran yang menuntut untuk dighibahkan bersama khalayak, segera kirim naskah tulisanmu pakai cara ini.