Titik Nol Kilometer Jogja bukti daerah ini memang jago meromantisasi segala sesuatu.
Pemandangan apa yang biasa kalian nikmati ketika berwisata? Deburan ombak yang eksotis? Daratan luas dari puncak gunung yang megah? Ah, itu biasa saja. Di Jogja ada spot wisata yang pemandangannya adalah kemacetan dan keruwetan hidup warganya, yakni Nol Kilometer Jogja. Di sana wisatawan bisa menonton secara langsung kemacetan hingga wajah lelah warga selepas kerja.
Mungkin keruwetan orang-orang terjebak macet jadi pemandangan yang biasa saja di daerah-daerah lain. Namun, kemacetan di Nol Kilometer Jogja berbeda. Kemacetan di titik ini terlihat lebih romantis karena berlatar belakang pemandangan gedung-gedung lawas dan kelap-kelip lampu estetik. Maklum, Jogja memang jago meromantsisasi (dan diromantisasi) segala sesuatu.
Daftar Isi
Nol Kilometer Jogja magnet bagi wisatawan
Titik Nol Jogja memang legendaris karena menjadi titik awal pengukuran setiap jalan di Jogja. Selain itu, kawasan ini adalah pusat pergerakan ekonomi, budaya, dan pemerintahan sejak era kolonial. Tidak heran, di sana banyak gedung-gedung lawas yang ikonik.
Saya jelaskan sedikit gambaran kawasan ini hingga begitu menarik hati wisatawan. Di sudut tenggara Titik Nol Jogja, ada Kantor Pos Besar dan Bank Indonesia. Sementara, di sisi barat daya berdiri Bank BNI 46. Di sisi barat laut ada eks Gedung Senisono dan Istana Kepresidenan. Sementara di sisi timur laut ada Monumen Serangan Umum 1 Maret dan Benteng Vredeburg. Semua gedung di kawasan Titik Nol punya lekuk arsitektur yang indah khas bangunan Belanda.
Titik yang pernah ada air mancurnya itu semakin menarik hati wisatawan dengan kawasan pedestrian yang tertata apik, lengkap dengan lampu penerangan yang estetik. Benar-benar cocok untuk wisata selfie dan menikmati suasana Jogja. Tapi, tunggu dulu, suasana seperti apa yang dimaksud ya?
Suka duka yang tumpah ruah di Nol Kilometer Jogja
Kenyataannya, kawasan Titik Nol Kilometer adalah salah satu simpul kemacetan Jogja. Selain bus dan kendaraan wisatawan yang ingin menikmati kawasan ini dan Malioboro, Titik Nol juga menjadi jalur utama warga yang bekerja di daerah kota.
Itu mengapa, kawasan ini sebenarnya tidak hanya berisi orang-orang yang sibuk selfie dan menikmati keindahan gedung-gedung lawas. Kalau wisatawan peka, mereka bisa menyaksikan secara langsung warga Jogja dengan hidupnya sedang ruwet. Wajah-wajah kelelahan sepulang kerja, sesekali sumpah serapah keluar karena jalan macet yang tak kunjung terurai.
Selain nuansa sesak dan marah, Titik Nol juga menawarkan pentas kesedihan. Ada tukang becak yang lelah mencari penumpang, pedagang asongan yang khawatir tidak laku, driver ojek online yang bersimbah peluh tapi belum tembus target. Belum lagi, ratusan bahkan ribuan manusia yang melintas, yang rela banting tulang demi gaji yang hanya dua juta koma sekian.
Inilah daya tarik yang tidak dimiliki daerah lain. Hanya Jogja yang bisa menyulap kemacetan dan keruwetan hidup jadi tontonan wisatawan. Ketika daerah lain sibuk menjawab masalah kemacetan, Jogja malah mengubahnya menjadi komoditi pariwisata. Kok bisa? Ya jelas bisa lah! Istimewa og!
Daerah yang pandai meromantisasi
“Masak sih kita hanya menonton kemacetan dan keruwetan warga Jogja?” Mungkin banyak wisatawan yang berpikir demikian. Tapi ingat, Jogja memang jagonya menyulap segala sesuatu menjadi romantis. Kehujanan bisa dikemas sebagai momentum menghapus air mata. Jalan rusak disebut banyak kenangan. Apalagi cuma masalah kemacetan, daerah ini bisa mengaburkannya melalui nrimo ing pandum.
Nrimo ing pandum adalah salah satu nilai filosofi Jawa yang kurang lebih berarti menerima, ikhlas atas apapun yang terjadi. Namun, semakin ke sini, nilai ini menjadi tameng untuk berbagai masalah dan keruwetan di Jogja. Nilai filosofi yang tidak diterapkan pada tempatnya.
Bahkan, bukan tidak mungkin Titik Nol Jogja kemudian diromantisasi dengan sebuah laku hidup sawang sinawang. Laku hidup dengan melihat hidup orang lain dan membandingkannya dengan keberuntungan yang sedang diperoleh. Begitulah seni hidup di Jogja, ada masalah yang diutamakan malah nrimo ing pandum dan sawang sinawang. Bukannya segera mencari solusi atas permasalahan itu.
Titik Nol Jogja yang kerap diromantisasi menjadikannya tampak baik-baik saja. Padahal di balik itu banyak keluhan dan kesedihan warganya. Akhirnya wisatawan dan warga hanya terlena dengan lekuk gedung indah dan kelap-kelip lampunya. Mereka tidak sadar bahwa kemacetan dan keruwetan warga yang ada di depan mata adalah suatu masalah.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Sudah Saatnya Jogja Meninggalkan Kata “Istimewa” dan Kembali ke “Berhati Nyaman”
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.