Belum reda ontra-ontran masalah zonasi. Konon kabarnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menggandeng Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk membina karakter nasionalisme peserta didik baru. Progam pembinaan nasionalisme ini akan dilaksanakan pada masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS) mulai jenjang Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di seluruh Indonesia pada tahun pelajaran 2019/2020.
Duh, nasionalisme tidak melulu perkara upacara bendera dan latihan baris-berbaris loh.
Sesat pikir seperti itu kok masih terus-menerus diproduksi. Begini, maksud saya masih banyak hal-hal kecil dan sederhana—menyangkut kehidupan sehari-hari—yang tidak kalah nasionalis. Misalnya menjaga kebersihan. Terutama membiasakan diri membuang sampah pada tempatnya. Itu dulu deh bentuk sederhana menunjukkan rasa nasionalisme kita. Nggak perlu yang mbulet-mbulet.
Perkara sampah memang seringkali dianggap remeh—bahkan diabaikan. Padahal kita saat ini masuk sebagai negara penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah Cina. Justru ini lebih urgent untuk segera diatasi. Saya takut, jika produksi sampah plastik tidak bisa ditekan, diperkirakan tahun 2050 sampah plastik di laut akan lebih banyak daripada ikan.
Yang menjadi masalah klasik tentu bukan hanya produksi sampah kita yang kian meningkat setiap tahunnya. Tetapi lebih kepada lemahnya kesadaran masyarakat. Bisa jadi kamu juga loh guys.
Tentu itu bukan omong kosong belaka. Coba kita pikir, sudah seberapa sering kalian melihat orang membuang sampah sembarangan, termasuk ketika berada di pusat perbelanjaan, tempat wisata, bahkan dari dalam mobil. Padahal kita semua tahu betapa besar akibat buruk membuang sampah sembarangan. Mulai dari lingkungan sekitar yang kotor dan bau, hingga timbulnya beragam penyakit serta banjir.
Oleh karena itu memberikan kesadaran pentingnya kebersihan lingkungan, penumbuhan sikap dan perilaku membuang sampah pada tempatnya harus dimulai sejak dini. Tentu harapannya ketika dewasa kelak anak sudah terbiasa dan tanpa perlu diingatkan serta dengan sendirinya mempunyai tanggung jawab dalam menjaga kebersihan.
Nah, pada posisi inilah lembaga pendidikan memiliki peran besar untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terutama generasi muda. Pembelajaran tentang sampah bisa dimasukkan ke dalam kurikulum di tingkat satuan pendidikan masing-masing.
Lembaga pendidikan jangan hanya menjadi tempat menempel poster bertema peduli lingkungan tapi nihil aksi nyata. Misalnya sebuah poster bertuliskan ‘Buanglah sampah pada tempatnya!’ tentu kalimat tersebut sangat mudah kita temui di sekolah. Juga dikampanyekan dihampir setiap kegiatan upacara bendera hari Senin.
Meskipun demikian, sayangnya poster-poster tersebut nyaris seperti tulisan semata yang tidak pernah diimplementasikan. Banjir—terutama di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung, seolah menjadi bencana rutin setiap tahunnya.
Tidak lain tidak bukan perilaku sebagian besar masyarakat kita masih membuang sampah sembarangan, padahal tempat sampah yang representatif sudah disediakan pemerintah. Ironisnya ialah ketika banjir tiba, alih-alih berintrospeksi atas kebiasaan membuang sampah sembarangan, mereka justru menyalahkan pihak lain. Banjir kirimanlah, curah hujan tinggilah. Hadeh.
Kebiasaan membuang sampah pada tempatnya tentu bukan perkara kecerdasan akademik tetapi kematangan karakter. Orang yang karakternya terdidik tentu menganggap poster untuk tidak membuang sampah sembarangan tersebut lebih dari poster semata.
Itu instruksi yang harus dilaksanakan karena akan berdampak buruk apabila dilanggar. Berbeda dengan orang yang hanya cerdas secara akademik semata, mereka belum tentu memahami kalimat sederhana tersebut.
Maka tidak heran jika di negara berflower ini banyak orang menyandang gelar berderet, tetapi masih malas untuk membuang sampah pada tempatnya. Gelar bukan indikatornya guys.
Membenahi karakter masyarakat untuk sadar terhadap bahaya sampah tentu tidak bisa dilakukan dengan sekejap, bahkan bisa dikatakan memerlukan waktu bertahun-tahun. Pendidikan karakter yang ditanamkan sejak dini, dimulai dari lingkungan keluarga serta di dukung oleh lembaga pendidikan.
Peserta didik harus mulai diajarkan, dibiasakan serta diberi contoh untuk membuang sampah pada tempatnya. Lembaga pendidikan bisa menyediakan tiga tempat sampah yang berbeda yaitu organik, anorganik, dan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun).
Jika terus diabaikan, saya khawatir perilaku membuang sampah sembarangan akan berdampak pada kesehatan kita bersama. Keikutsertaan kita menjaga kebersihan melalui perilaku membuang sampah pada tempat bisa jadi pintu awal untuk mencintai bangsa dan negara—nasionalisme.
Bagaimana, perkara pengelolaan sampah tidak kalah nasionalis bukan?