Kamu bilang jadi sarjana PPG enak? Bener kok…bener-bener keliru maksudnya.
Akhir-akhir ini lini masa Terminal Mojok isinya tentang kampus dan jurusan terus. Di mana mereka semua sibuk membandingkan kampusnya dengan kampus A, B, atau C.
Fyi, saya nggak akan membandingkan kampus saya dengan kampus sebelah. Soalnya kampus saya semasa S-1 itu swasta. Dan nggak famous pula. Mungkin ketika dijelaskan akan banyak paragraf yang dituliskan agar people pada tahu, ini loh “Universitas Muslim Nusantara Al-Washliyah Medan aka UMN-AW.” Biasanya mereka menyebut kampus saya itu dengan sebutan USU (not Universitas Sumatera Utara) Melainkan Universitas Samping UNIVA. Ya, kampus saya bersebelahan dengan Universitas Al-Washliyah Medan.
Mari lupakan sejenak tentang kampus. Kali ini, saya justru akan bercerita perihal Pendidikan Profesi Guru atau PPG. Cek ombak dulu, aaah.
Halooo mahasiswa PPG seluruh Indonesia. Serdik-nya sudah keluar belum? NRG-nya sudah terbit belum? Uang serti-nya sudah cair nggak? Sudah dapat 24 jam-kah ngajar di sekolahnya sekarang? Atau masih pengangguran sejak tamat PPG? Sabar ya, kita semua sama kok, sama-sama ngenes nasibnya.
Sebagai alumni PPG Prajabatan yang dibiayain pemerintah juga kedua orang tua saya tentunya, ada begitu banyak asumsi yang kerap kali saya terima dari orang yang cinta akan dunia. Ya, salah satunya ini, “Enak ya udah PPG. Gratis pula. Bentar lagi cair dong duit sertinya.” Kawaaan, bergabung dan lulus dari PPG itu nggak semudah mulutmu yang ngomong itu ya. Ada banyak perjuangan yang harus saya dan teman-teman lakukan di sana. This1!1!1!
PPG adalah pendidikan tinggi setelah program pendidikan sarjana yang mempersiapkan mahasiswanya untuk memiliki pekerjaan dengan syarat keahlian khusus dalam menjadi guru. PPG ditempuh selama setahun, setelah seseorang dinyatakan lulus dari program sarjana kependidikan maupun non sarjana kependidikan. Ini semua tertuang jelas pada Permendikbud No. 87 tahun 2013 yang membahas tentang PPG Prajabatan.
Beruntungnya, berkat usaha dan doa yang terus menerus dilakukan, saya terpilih menjadi salah satu penerima beasiswa tersebut pada tahun 2017 yang lalu. Yakni, mengikuti program PPG ini selama setahun penuh secara gratis. Btw, untuk mendapatkan program ini ada serangkaian tes yang harus dilalui terlebih dulunya.
Nggak jarang PPG membuat saya menjadi kuat sekaligus cengeng. Hal ini dikarenakan gagal UTN sebanyak dua kali, padahal sudah berjuang bersama-sama selama setahun. Eh, tetap saja ditinggal mereka yang nyatanya lulus duluan. Ada yang tumpah, tapi bukan banjir, melainkan air mata saya yang berderai ketika ngelihat kalimat “Tidak lulus uji pengetahuan.” Di website-nya UKMPPG. Perih.
Menjadi mahasiwa PPG yang nantinya akan memperoleh Gr. di akhir program, tentu nggak mudah. Serangkaian kegiatan harus dilakukan seperti; Workshop dari SSP 1 hingga SSP 6, peer teaching, formative test, PPL selama 3 bulan di sekolah berbeda, nulis PTK yang nantinya akan disidang oleh dosen penguji, ikut KMD, bela negara, dan terakhir yang paling menakutkan, yakni nulis diary of ppg. Ini juga penentu kelulusan loh haha, nyatanya hoax.
Padahal nih ya, yang menentukan kelulusan adalah tetap hasil akhir UTN bukan diary of ppg, bukan tugas refleksi diri yang setiap kali ditulis ketika selesai melakukan kegiatan di luar kampus, bukan kehadiran pesta budaya apalagi kehadiran di saat senam yang sering kali dilakukan tiap Sabtu. Ini hanya ancaman agar saya tetap hadir ke kampus dan tentunya biar makin sehat jiwa raga. Hadeeeh. Saying no rebahan ya selama PPG.
Mengikuti PPG itu, ibarat seperti sedang berkuliah S-1 di kampus negeri, masuknya susah dengan berbagai tes, eh keluarnya lebih susah dengan segala dukacita. Khususnya untuk orang-orang yang belum lulus UTN pada periode pertama seperti saya. Ketika dinyatakan nggak lulus UTN, saya harus ikut ujian ulang. Dan otomatis berbayar, yakni sebesar 300k. Di mana nomor rekening tempat membayar uang ujian beda bank. Jadinya ya, bayar biaya admin lagi wqwq.
Katanya lulusan PPG juga bakalan lekas memperoleh Tunjangan Profesi Guru (TPG). Mudah sih, kalau sudah punya jam ngajar sebanyak 24 les, sudah punya NRG juga dan tentunya sudah terbit Surat Keputusan Tunjangan Profesi (SKTP). Lulus PPG aja susahnya pakai banget. Eh, mau cair uang serti juga susahnya berkali-kali. Ya, kalau saya udah punya itu semua, lah jika masih nganggur di rumah, sama aja nggak guna itu serdik.
Ada juga yang bilang, “Lulusan PPG enak ya pas ikut seleksi CPNS. Soalnya kalau mereka lulus SKD dan melaju ke tahap SKB bakalan auto CPNS tuh. Sebab, serdik yang dimiliki akan memberikan skor maksimal ketika SKB.” Dan ini nih, yang jadi pro kontra di antara sesama lulusan Sarjana Penuh Derita—S.Pd. Again they said, “Seharusnya yang sudah punya serdik itu, janganlah ditandingkan dengan yang belum punya serdik, auto kalah dong kami semua.”
Katanya Serdik itu sebuah ‘privilege’ untuk lulusan PPG. Mereka bilang gini nih, “Toh yang lulusan PPG belum tentu pintar-pintar banget ketika disuruh mengajar.” Kalian nggak tahu aja gimana perjuangan saya buat dapatin tuh serdik. Begitu banyak materi, tenaga, dan waktu yang telah saya korbankan untuk memperoleh serdik berikut dengan embel-embel Gr. di belakang S.Pd. Zebeeel dengan orang yang hobinya ngebacot tanpa isi gini.
Tetapi, di balik itu semua, PPG mengajarkan saya banyak arti serta menjaga hati. Bersahabat dengan sobat missqueen yang berbeda kampus, belajar bersama setiap harinya dari jam 08.00 s/d jam 18.00 dan nggak jarang hingga begadang, demi print out perangkat pembelajaran ketika akan melaksanakan UKIN. Sekeren itu loh PPG. Oh ya, PPG subsidi sudah nggak ada lagi, Geng, sekarang adanya PPG mandiri dengan biaya yang nggak sedikit. Kuy cobain demi auto CPNS pas ikut SKB!
Omong-omong, saya ada sedikit kutipan yang didapat dari salah satu grup Telegram CPNS di ponsel pintar saya. Isinya itu kira-kira begini, “Tetaplah menjadi seorang guru yang menomorduakan dunia, lantas menomorsatukan ibadah.” Karena sejatinya kita akan ikhlas ketika menerima keputusan apa pun, sebab kita sadar rezeki sudah ada tempatnya masing-masing. Nggak pakai melankolis ya bacanya~
BACA JUGA Bukti kalau Kepanjangan S.Pd. itu Bukan Sarjana Pendidikan, tapi Sarjana Penuh Derita dan tulisan Yulia Sonang lainnya.