Bulan Ramadan biasanya identik dengan sambutan yang semarak seiring pelaksanaannya. Bukan hanya di masjid dan surau-surau yang memang menjadi pusat segala kegiatan ibadah. Akan tetapi juga di tempat-tempat yang menjual keperluan berbuka puasa seperti pasar takjil dan penjual makanan yang tersebar di pinggir-pinggir jalan. Tak luput juga pusat perbelanjaan yang turut menawarkan diskon spesial Ramadan.
Menyenangkan melihat berbagai tempat dipenuhi oleh orang-orang yang mendapatkan berkah dari bulan Ramadan berupa kebahagiaan. Entah karena dapat takjil gratis, diskonan, parcel, atau bentuk lainnya. Namun, memang Ramadan seperti inilah yang selalu saya harapkan. Ramadan yang menjadi berkah untuk semua orang, tidak hanya orang-orang yang menjalankan ibadah puasa saja.
Saya ingat betul pengalaman saya ketika menjadi panitia penyelenggara agenda kegiatan khusus bulan Ramadan di kampus. Beberapa momen di dalamnya menjadi pelajaran berharga yang tidak akan pernah saya lupakan. Termasuk momen memilih pembicara untuk mengisi agenda kegiatan Ramadan.
Kebetulan saya didapuk sebagai staf divisi acara, yang salah satu tugasnya adalah menentukan pembicara untuk mengisi acara maupun untuk kultum. Saat itu, beberapa nama yang saya ajukan sempat ditolak dengan alasan bahwa nama-nama yang saya usulkan berasal dari golongan ahli bidah. Usut punya usut, pembicara yang disetujui oleh para atasan ialah tokoh-tokoh dari ormas islam yang belum lama ditetapkan sebagai ormas terlarang.
Tidak sampai di situ, para pembicara yang namanya telah disetujui oleh (sebagian) panitia tersebut akhirnya ditolak oleh rektorat karena dianggap berpotensi menimbulkan kegaduhan. Naik pitam, para panitia pun membuat rilis pernyataan yang bernada sinis pada rektorat seperti, “Hanya rektorat thoghut yang takut kepada para alim yang menunjukkan jalan yang benar.”
Lihat? Betapa definisi jalan yang benar seolah telah menjadi milik satu golongan secara eksklusif. Jangankan membuka diri kepada perbedaan keyakinan dengan orang lain, sekadar membuka mimbar untuk sesama muslim pun enggan hanya karena dianggap tidak satu golongan.
Sejak saat itu saya punya mimpi untuk membuat sebuah kegiatan atau program Ramadan yang dapat menghadirkan banyak pespektif di dalamnya. Misalnya, ngabuburit sore lintas iman, yang isinya akan mendiskusikan fenomena yang terjadi pada masing-masing kelompok, golongan, aliran kepercayaan selama Ramadan, kemudian memecahkan problem bersama. Tak muluk-muluk untuk menuntaskan utang negara, mungkin sekadar membantu mencarikan solusi untuk teman-teman yang tidak bisa membeli sarapan selama Ramadan karena banyak warung tutup. Atau mengadakan lomba stand bazaar untuk mendukung perekonomian para jamaah rumah ibadah yang tergolong dalam kategori pra sejahetera, misalnya. Ya, apa pun yang bisa membuat Ramadan dirindukan oleh semua orang, dari latar belakang yang berbeda-beda.
Ide ini saya dapat dari teman-teman penyelenggara Kirab Salib yang membuka volunteer bagi siapapun yang hendak berkontribusi tanpa memberikan syarat harus berasal dari agama Katolik. Tentu hal ini mengundang penasaran bagi saya, kenapa bisa begitu? Bukankah ini ibadah mereka (para pemeluk agama katolik) yang harusnya tidak kita campur? Namun ternyata, Kirab Salib tersebut merupakan bagian dari rangkaian acara peringatan Paskah yang berarti tidak bersifat sakral seperti halnya Misa. Jadi, bagi teman-teman Katolik momen ini digunakan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang Kirab Salib sekaligus sambung silaturahmi dengan saudara yang berlainan keyakinan.
Hal-hal semacam ini menurut saya justru merupakan langkah yang efektif untuk memperkenalkan nilai-nilai yang merupakan dasar dari ajaran sebuah agama. Seperti halnya Mahatma Gandhi yang mengamalkan ajaran agama Hindu dengan menjadikan puasa sebagai salah satu strategi perdamaian untuk diamalkan oleh orang-orang yang hendak menyerukan perdamaian. Sehingga orang-orang yang tidak beragama Hindu akan mengenal ajaran Hindu sebagai ajaran yang membawa perdamaian.
Saya juga punya keinginan yang sama, yaitu memperkenalkan Ramadan kepada semua orang dan membuat kehadirannya dirindukan oleh banyak orang tidak hanya orang Islam. Sehingga pada gilirannya, Ramadan menjadi momen yang membawa citra Islam sebagai agama rahmat, bukan agama laknat yang bawaannya pengen sweeping warung mulu.
Meski demikian, ini hanya keinginan saya. Apakah nantinya akan mungkin dilaksanakan? Atau justru sulit karena kita terlanjur memiliki sebuah alasan untuk menjadi angkuh, eksklusif, dan serba tertutup: yaitu karena kita adalah golongan mayoritas.
BACA JUGA Esai-esai Terminal Ramadan Mojok lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.