Begitu personal
Ada beberapa barang yang menemani perjalanan hidup saya. Yang pertama, dompet. Dalam hidup, saya berganti dompet hanya dua kali. Saya pernah punya dompet Quicksilver abal-abal yang saya gunakan sejak SMP hingga kuliah. Kondisinya begitu hancur, hingga kawan saya pernah bilang ke mantan pacar kalau saya ulang tahun, beri saja dompet. Dompet itu akhirnya patah. Bayangin, dompet patah. Akhirnya saya berganti dompet milik bapak. Kalau tak salah, sejak 2016. Hingga sekarang, dompet itu masih saya pakai. Sebab saya anggap dompet itu adalah jimat dari bapak.
Yang kedua, kemeja pemberian ibu. Saya juga menganggapnya sebagai jimat. Kemeja itu dibelikan ibu untuk tes wawancara kerja pertama saya. Dua kali saya pakai untuk wawancara, dua kali keterima. Saya menganggap kemeja itu dibaluri doa ibu. Dan yang ketiga, Honda PCX.
Honda PCX ini memang masih “baru”. Tapi ia jadi saksi tiga momen besar dalam hidup saya. Pertama, motor ini mengantarkan saya wawancara ke Mojok, yang mengubah hidup saya. Kedua, motor ini jadi saksi pernikahan. Yang ketiga, motor inilah yang membawa saya periksa kehamilan istri. Periksa kehamilan doang, kalau lahiran ya kali dibawa pake motor.
Bagi saya, Honda PCX mengantarkan saya “naik kelas” dalam kehidupan. Tentu rasa cinta saya menjadi gara-gara ini. Benar, ini bias. Motor lain pun mungkin bisa berbuat yang sama. Tapi, entah kenapa, saya rasa hal-hal baik datang semenjak saya meminang motor ini.
Bukan fanboy Honda, bukan penyepong Yamaha
Cinta pada suatu merek motor itu personal. Saya nggak mau dibilang fanboy Honda, mengingat saya ikut mengejek eSAF dan menganggap Vario 160 adalah motor yang menginjak-injak akal sehat. Gila, desain sih oke, tapi sampai kapan Honda mau milking Vario hingga bikin varian yang nggak perlu?
Justru sebelum meminang motor Honda PCX, saya orangnya Yamaha banget. Jelas fakta yang bikin penyepong NMAX dan budak PCX berang. Meski pengguna PCX, saya tahu betul kenapa orang sebegitu cintanya pada NMAX. Wong sama-sama enak kok, meski entah kenapa untuk selonjor, enakan PCX.
Tapi ya, lagi-lagi, kadung cinta, jadi saya nggak mau beralih ke merek lain. Misalkan suatu hari saya berpaling, saya yakin itu pasti karena keadaan yang amat terpaksa. Bahkan saya pernah berikrar kalau kaya nanti, Honda PCX saya bakal saya modif dan perbaiki habis-habisan. Tak akan pernah saya jual kecuali memang tak selamat.
Jadi, begitulah kenapa saya menganggap Honda PCX adalah motor terbaik dan membikin jatuh cinta pada pandangan pertama. Sejak pertama, hingga kini, dan seterusnya, saya akan selalu cinta. Pasti ada masanya bete betul sama motor ini, tapi ah, rasa benci itu tak pernah permanen.
Kecuali jika saya nanti bisa beli Honda Civic, barulah cerita berbeda. Iki wis bedo urusan, Lur. Civic, Lur, Civic.
Sumber gambar: Akun Instagram @welovehonda_id
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Review Honda PCX 150 Setelah Setahun Pemakaian