“Selamat sore, Pak. Apakah besok kami dapat kiriman minyak goreng?”
Begitu bunyi pesan WhatsApp yang dikirim oleh ibu saya kepada beberapa orang sales dari perusahaan distributor minyak goreng yang menjadi supplier toko sembako ibu. Ibu mengirim pesan seperti itu setiap sore, dengan harapan mendapat jawaban menggembirakan.
Maklum saja, sejak pemerintah menetapkan harga subsidi, sales tak lagi mbribik pelanggan untuk memborong dagangannya. Pelanggan lah yang harus aktif bertanya, bahkan kadang sampai ndremis (memohon dengan sangat) demi mendapat pasokan minyak goreng.
Ibu saya dijanjikan mendapat jatah 99 karton per pengiriman barang. Awalnya, ibu saya berpikir bahwa kiriman itu akan datang setiap hari. Tapi ternyata, jadwal pengiriman minyak goreng sungguh tak pasti. Dua minggu pertama, minyak dikirim dua kali dalam seminggu. Sesudahnya, hanya jawaban template dari sales, “Maaf, Bu. Stoknya kosong. Belum tahu gudang akan mendapat kiriman kapan.”
Puncaknya setelah ada siaran pers Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia tertanggal 15 Maret 2022. Dalam siaran pers tersebut, ada tiga poin penting yang dapat disarikan menjadi dua poin utama. Pertama, harga minyak goreng curah menjadi Rp14.000 per liter. Kedua, harga minyak goreng kemasan akan menyesuaikan dengan harga keekonomian. Dengan kata lain, pemerintah membatalkan janji subsidi minyak goreng kemasan murah yang semula diagendakan berlaku untuk enam bulan.
Lantas, bagaimana reaksi para pengguna jelantah nan jelita seperti saya dan kita semua? Kaget? Merasa dikhianati? Ingin, eh, bahkan sudah merutuk? Ya, sama. Lalu tepat setelah harga minyak tak lagi bersubsidi, terpantau di jejaring pasar modern, minyak goreng muncul, Gaes! Rak-rak itu kini tak kosong lagi. Rak-rak bagian minyak goreng di pasar modern seperti minimarket atau supermarket dipenuhi dengan plastik berisi cairan berwarna keemasan yang fungsinya benar-benar untuk menggoreng banyak hal itu.
Maka tak heran jika banyak yang berasumsi bahwa para agen dan distributor menimbun minyak. Bagaimana dengan warung dan agen yang termasuk dalam golongan pasar tradisional? Boro-boro mau menimbun, di toko ibu saya, minyak goreng subsidi selalu habis terjual di hari yang sama dengan hari pengiriman. Para pembeli kebanyakan berasal dari warga sekitar dan berlaku ketentuan pembelian maksimal hanya 2 liter per orang dengan harga Rp14.000 per liter.
Sementara untuk para pelanggan yang merupakan bakul pasar, ibu saya membuat ketentuan berbeda. Para bakul bisa mendapat 12 hingga 24 liter dengan harga Rp166.000 per 12 liter. Ibu saya sudah berdagang lebih dari 35 tahun, dan baru kali ini merasakan betapa lancarnya menjual minyak. Lancar penjualan, tapi seret kiriman.
Yang menyakitkan bagi pedagang seperti ibu saya adalah ketika membaca berita tentang partai politik yang menjual minyak murah. Sementara di televisi, para pejabat terus menyatakan bahwa stok nasional aman. Tapi yang ibu saya rasakan adalah pengiriman yang seret. Berita tentang temuan penimbunan di sana-sini juga menambah panasnya situasi. Yang mengherankan adalah: kok bisa sih para oknum berseragam partai politik bisa dengan mudah menyalurkan begitu banyak minyak goreng murah?
Tak bisa dimungkiri bahwa oknum partai politik memang sekeren Batman. Mereka selalu punya privilese untuk menjadi pahlawan dalam keadaan carut-marut seperti apa pun. Bedanya, Batman memakai privilesenya untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial yang tak dibuatnya. Sementara para batman kasarung di negeri ini? Ah, sudahlah.
Hari ini harga minyak goreng sudah kembali tinggi di berbagai kota. Beberapa bakul gorengan dan bakul pasar yang sempat menumpu harapan pada toko ibu saya menghubungi toko sejak kemarin. Pertanyaan mereka sama, semua mencari minyak harga subsidi. Semua berharap agen sembako pasti punya minyak.
Sementara itu, pada sore hari ibu saya setia bertanya pada sales seperti setiap hari selama sepekan ini. “Selamat sore, Pak. Apakah besok kami dapat kiriman minyak?” Sejak 16 Maret 2022, sales tersebut boro-boro menjawab. Membuka pesan saja tidak. Mungkin pusing. Sama seperti Anda dan saya yang dibuat pusing karena kebijakan yang terus berubah. Ah, bisa juga pusing karena terlalu banyak menikmati “gorengan”.
Penulis: Butet Rachmawati Sailenta Marpaung
Editor: Intan Ekapratiwi