Argumen mengenai minum kopi itu biasa saja adalah argumen yang paling berbahaya menurut saya. Lebih berbahaya lagi, argumen tersebut ditayangkan di Terminal Mojok. Paling berbahayanya lagi, saya membaca tulisan tersebut.
Kenapa saya bilang berbahaya? Tanpa mengurangi rasa hormat sama sekali, Mas Sofyan Aziz yang merasa nggak bisa menerima alasan kenapa harga kopi di kedai kopi mahal, barangkali tidak memahami sesuatu yang disebut konsep bisnis.
Kenapa kopi mahal? Pertama, dalam pembuatan resep satu minuman kopi itu ada perhitungan yang namanya Harga Pokok Penjualan. Misal secangkir kopi HPP-nya delapan ribu, maka alasan kenapa kopi itu dijual dengan katakanlah tiga puluh ribu, itu karena ada manusia-manusia yang harus dibiayai dalam secangkir kopi itu. Pegawai harus dibayar. Sewa gedung harus dibayar. Internet—yang kalian para pelanggan nikmati dan kuras habis berjam-jam—juga harus dibayar. Belum lagi jika ternyata kopi sebagai dasar pembuat minuman tersebut memang didatangkan dari luar negeri, sudah pasti jatuhnya lebih mahal.
Kalau ternyata Mas Sofyan Aziz komplain kenapa harga kopinya mahal sementara pelayanan kedai kopinya menyebalkan, wahhh… saya bakal mendukung seratus persen argumen Anda, Mas. Tapi kalo semata Anda nggak bisa menalar kenapa harga kopi bisa mahal, ya saya harus memberikan argumen kontra.
Saya pernah mempermasalahkan industri kopi di tulisan saya sebelumnya, tapi tidak pernah menyinggung kenapa harga secangkir kopinya mahal. Kenapa saya tidak pernah komplain harga kopi yang mahal? Ya karena saya paham betul proses panjang di baliknya.
Lantas saat Mas Sofyan Aziz bernarasi dengan sebuah pertanyaan tentang apakah jika ngopi di kedai kopi hits, maka kopinya diambil dari pohon yang dipupuk emas dan disiram dari rendaman berlian, saya hanya bisa geleng-geleng kepala.
Memang nggak dipupuk dengan emas dan disiram air berlian, tapi percayalah, proses penanaman kopi, sekalipun nggak dipupuk emas, tapi memang benar-benar dirawat dengan luar biasa serius.
Proses penanaman itu akan menentukan proses panennya juga. Proses panen yang baik akan menentukan proses paska panen yang akan dilakukan setelahnya. Proses paska panen akan menentukan seperti apa rasa kopinya nanti. Proses pencucian dan pengeringan biji kopi juga akan menghasilkan rasa yang berbeda. Proses natural, misalnya, yang mengharuskan kopi setelah dipanen dijemur bersama kulit-kulitnya, akan menghasilkan kopi dengan rasa segar, manis, dan luar kaya akan rasa. Berbeda apabila kopi diproses dengan sistem fullwashed, yang artinya setelah dipanen, kopi akan dikupas kulitnya, dicuci, lantas dijemur. Makanya, kopi dengan proses natural—yang membutuhkan waktu penjemuran lebih lama—akan dijual lebih mahal daripada proses fullwashed. Kenapa? Karena proses natural itu hanya bisa dilakukan pada musim-musim cerah dan prosesnya panjang.
Apakah untuk rasanya berbeda? Saya berani jamin seratus persen berbeda. Setelah proses pasca panen, masih ada proses roasting juga nantinya, yang tentu saja nggak main-main sulitnya. Kalo sekedar nge-roast sampai gosong sih gampang, tapi kan tiap biji kopi itu memiliki beda penanganannya. Proses natural misalnya, harus di-roast dengan api kecil agar jangan cepat gosong, karena kalau sudah gosong, bakal hilang jerih payah petani menjemur berminggu-minggu sehingga kopinya kehilangan rasa segar dan manisnya.
Kalau kemudian Mas Sofyan Aziz menyamakan tiap kopi antar penjual kopi itu sama, saya jawab, beda, Mas. Beda. Tanpa merendahkan angkringan—karena saya juga hobi ngopi di angkringan—mereka ngambilnya itu kopi bubuk robusta yang di-roast gosong sehingga harganya murah. Di kedai-kedai kopi—di tempat saya kerja misalnya—itu salah satu house blend-nya menggunakan campuran kopi robusta 70% dan arabika 30% dengan level medium roast yang artinya nggak gosong-gosong banget. Asalnya memang kopi, tapi kan Mas Sofyan Aziz nggak tau dari kopi yang mana kopi itu diambil, dari perkebunan mana, dari daerah mana, bahkan dari negara mana.
Barangkali Mas Sofyan Aziz belum pernah merasakan kopi yang begitu diminum akan menimbulkan sensasi cerah di mulut. Atau saat minum kopi ada taste pisangnya. Atau saat minum kopi ada sensasi manis—non glukosa—yang menggelitik. Dan masih banyak lagi.
Tiap kopi itu beda, Mas. Saya nggak melebih-lebihkan, tapi memang seperti itu kenyataannya. Bukan perihal kafenya, tapi memang nyata berbeda. Kenapa harga di kafe lebih mahal, barangkali Mas Aziz juga perlu tahu ada berbagai macam jenis kopi, dua yang paling diingat tentu saja adalah robusta dan arabika. Keduanya saja memiliki perbedaan rasa dan harga yang signifikan.
Kalau satu kilo roasted bean robusta bisa dibandrol dengan harga sembilan puluhan ribu, maka satu kilo roasted bean arabika bisa dibandrol dengan harga dua ratus ribuan. Nggak masalah. Nggak apa-apa, memang karena kedua jenis kopi itu berbeda, Mas.
Saya pernah pada level di mana punya standar tinggi untuk menikmati minuman kopi. Itu terjadi saat Jogja lagi geger-gegernya industri kopi beberapa waktu silam. Saya selalu komplain kenapa kopi dengan proses natural kok nggak ada manis-manisnya. Pendekar lah sebutannya waktu itu.
Tapi semakin hari, saya bisa menikmati hampir semua jenis kopi. Saya rela bayar bahkan seratus ribu, jika kopi itu memang didatangkan dari Rwanda, misalnya, dan diolah perusahaan kenamaan 90+. Tapi saya ya oke-oke aja, bahkan suka, minum Nescafe classic yang harganya lima ratus perak itu. Sama-sama enak, tapi dalam konteks yang berbeda.
Kopi itu enak semua, tapi ya itu tadi, enak itu kan ada jenisnya. Tentu saat saya bilang es Good Day itu enak, akan beda arti saat saya bilang kopi arabika proses natural dan diseduh dengan V60 itu enak. Bisa nangkap maksud saya, mas? Enak, tapi dalam kasus yang berbeda.
Kalau Mas Aziz mengatakan minum kopi itu biasa saja, barangkali memang benar. Tapi kalau kemudian mengatakan bahwa nggak pantas harga kopi semahal itu, waduh… ada proses ilmu panjang di balik semua itu, Mas. Itu ibarat kayak ada temen saya yang bilang kalau profesi arsitek itu nggak ada gunanya, soalnya banyak tukang yang bisa nggambar rumah. Itu sudah seperti merendahkan bidang studi lain.
BACA JUGA 5 Kebiasaan Berbahaya tapi Kita Nggak Ambil Pusing Ketika Melakukannya dan tulisan Riyanto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.