Seminggu lalu, saya mengobrol dengan Mas Vanus (22), mahasiswa Jogja yang lahir dan tinggal di Madiun. Percakapan itu berlangsung melalui telepon WhatsApp setelah saya mengunjungi kediaman orang tuanya di Perumahan Widodo Kencono Indah 2. Dia adalah pelopor Sambel Milenial, sambel pecel khas Madiun yang coba dipasarkan olehnya dari kamar kos di Jogja. Tak sekadar berwiraswasta, dalam usaha ini tersemat keinginan mulia: sambel pecel yang sama-sama makanan daerah harus go international seperti rendang Padang.
“Saya jualan nasi bungkus di depan rumah, ada nasi pecel, nasi rames, macem-macem. Saat di sekolah, Vanus makan nasi bungkus, tapi tidak pernah beli di kantin. Ketika jam istirakat bisa langsung makan, sementara temen-temennya harus ribet ke kantin dulu. Muncul pertanyaan dari temen-temennya, itu nasi dari mana? Akhirnya, mereka nge-list lalu dibawain buat sarapan besok. Ini berlangsung sejak SMP kelas 3, tapi baru ke orang-orang yang dikenal saja. Paling aktif SMA kelas 1,” tutur Ibu Mas Vanus.
Aktivitas berniaga rupanya sudah dilakoni Mas Vanus sejak di bangku sekolah. Dari yang awalnya tidak sengaja hingga menumbuhkan rasa suka untuk berdagang dalam dirinya. Kali ini, ia mencoba peruntungan baru di sela-sela kuliah dan di sela-sela kesibukan mewakili pertandingan badminton kampusnya.
Daftar Isi
Sekelumit tentang sambel pecel Madiun Mas Vanus
Move on dari nasi bungkus, Mas Vanus mencoba berjualan sambel pecel yang diberi merek Sambel Milenial. Pembuatan logo dan desain kemasan (toples) dikerjakan bersama adik kelasnya ketika SMP dulu. Usaha ini berlangsung sejak semester 3 (2021) dan segera mendapatkan izin PIRT (Pangan Industri Rumah Tangga).
“Penjualan pertama ke temen-temen, sodara, kontak-kontak, sama temennya sodara. Bulan pertama laku 150 pieces,” ujar Mas Vanus.
Sambel pecel diracik oleh ibunya di Madiun. Sekian kilogram sambel dikirim ke Jogja untuk dikemas lalu diedarkan.
“Pemasaran lewat WA, TikTok Shop, Shopee, sama IG,” terangnya.
Sambel pecel Madiun yang dijual bentuknya kering. Pembeli tinggal menuangkan air hangat saat akan mengonsumsi. Resep sepenuhnya dari sang ibu yang hobi memasak, meracik sendiri sampai nemukan rasa bumbu pecel yang mantap.
“Tim belum ada, tapi temen yang mau bantuin sambil belajar dagang ya ada saja. Masih sama-sama mahasiswa juga, bayarnya cukup untuk mereka beli bensin dan makan. Mereka bantunya juga kadang kala saja, kalau aku lagi nggak bisa sendiri, ngerjain kebanyakan, atau lagi ada acara apa tapi ada orderan. Tugas mereka nge-handle packing sama masukin ke paket,” tuturnya.
Rata-rata pelanggannya PO dulu. Usaha sambel pecel Madiun ini belum memakai sistem pemasaran yang paten tiap bulannya. Kadang melihat situasi juga. Kalau misalnya dua minggu lagi ramai, kemungkinan bakal repeat order, Mas Vanus bakal nyetok lagi. Tapi kalau lagi sepi, open PO biar aman.
Pernah boncos gaji karyawan hingga dibilang mahal oleh orang Madiun sendiri
Belum punya tim tetap bukan berarti tak pernah mencoba punya tim yang dibayar setiap bulannya. Mas Vanus mencoba bikin tim karena teman satu organisasinya ingin belajar bisnis dan kebetulan ia sedang mewakili kampusnya buat tanding bulu tangkis antarmahasiswa. Selain itu, dengan adanya tim tetap, usaha sambel pecel Madiun miliknya bisa dibilang berjalan semestinya.
“Aku percayakan ke mereka, eh, malah turun pemasukannya. Minus. Waktu itu ada bagian marketing, pembukuan, sama konten. Aku tinggal-tinggal. Jalan 3 bulan, eh, boncos aku,” curhatnya.
Mas Vanus merasa salah pilih orang. Namun, hal itu menjelma tidak apa-apa karena baru pertama kali bikin tim, buat pembelajaran, meskipun sempat bikin ia kesal.
“Nggak cuma pernah boncos. Harga sambel pecel yang sudah saya tekan keuntungannya sekecil mungkin, dibilang mahal sama warga Madiun sendiri,” ungkapnya.
Alih-alih ingin mengangkat sisi eksklusif sambel pecel Madiun, justru mendatangkan kesedihan sebab perkataan itu.
“Padahal kalau dilihat dari harga bahan pokok dan tenaga, seharusnya nggak bilang gitu. Buat sama-sama ngangkat harusnya juga support,” katanya.
Pernah suatu ketika, Mas Vanus rela COD dari Bantul ke Sleman. COD sambel pecel 1 toples saja dan tidak ada ongkir. Sebenarnya agak berat baginya karena tidak dapat keuntungan, tapi lagi-lagi tidak masalah, demi orang tahu kelezatan Sambel Milenial.
Sejauh ini, Mas Vanus mampu bertahan. Salah satu alasannya karena banyak tanggapan positif yang menyambanginya, masih muda mau berdagang.
Mimpi besar di balik usaha Sambel Milenial
Kehadiran Sambel Milenial tidak sekadar memenuhi kebutuhan materi perintisnya. Ada mimpi besar di baliknya.
“Dulu saya seneng traveling kalau libur kuliah. Pergi ke Bali atau ke mana, nyamperin temen-temen yang merantau di sana. Sempat ke Riau, di perjalanan itu saya melamun. Aku suka nasi Padang, terus tiba-tiba kepikiran, kenapa rendang bisa go international, tapi pecel yang sama-sama makanan daerah nggak bisa? Apa yang bikin rendang bisa go international? Saya jadi optimis mengangkat daerah saya lewat brand Sambel Milenial itu,” ucapnya.
Mas Vanus ingin mengangkat sisi eksklusif sambel pecel Madiun yang selama ini dikenal sebagai makanan sederhana, murah, dan pinggiran. Setidaknya, sambel pecel punya popularitas yang setara dengan rendang. “Kalau dilihat dari fakta sejarah, pecel itu hidangan orang-orang kerajaan. Jadi, kenapa sekarang makanan kelas bawah? Itu yang agak susah nggebraknya, harus pelan-pelan,” ungkapnya.
Mas Vanus akan terus berjuang hingga bisa membuka lowongan pekerjaan dari ide-idenya dan yang utama mewujudkan mimpinya, sambel pecel Madiun harus setara rendang. Sebab kalau itu terwujud, bukan hanya produknya yang naik, tetapi Madiun juga ikut kesorot.
Penulis: Martono
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Nasi Pecel Bukan Milik Madiun Saja, Kota Lain di Jawa Timur Juga Punya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.