Banyak orang meradang dengan hilangnya sepak bola Indonesia selama pandemi. Alasannya beragam, ada yang berkecimpung dalam roda ekonomi sepak bola, sisanya murni faktor hiburan. Bahkan ada yang bilang, “Sepak bola dalam negeri hilang, masyarakat kehilangan hiburan.” Ini sih ujaran yang hanya berlaku buat fans Persija, Persib, Bali United, dan tim kuat lainnya. Kalau saya, biasanya nonton Persiba bukannya dapat hiburan, malah dapat hipertensi.
Bagaimanapun, sepak bola tetaplah sepak bola. Apa lagi sepak bola Indonesia yang penuh belukar tanya. Saya mencoba menghimpun kisah mengenai benci menjadi cinta seputar sepak bola dari angkringan ke angkringan, dari burjonan ke burjonan.
#1 Gara-gara pindah berkala
Teman saya bernama Bokir ini mahasiswa rantau asal Bandung. Jika dilogika, ia seharusnya jatuh dan cinta kepada Persib. Namun, Bokir adalah manusia nomaden yang selalu mondar-mandir, pulang pergi, dan hilir mudik dari satu kota ke kota lainnya. Bergerak dari rumah ke rumah seperti judul lagunya Hindia menjadikannya asing dengan sepak bola Bandung. Ia kuliah di Jogja, lahir di Bandung, SD di Medan, SMP dan SMA di Jakarta. Bukannya apa-apa, katanya, yang menjadi kelemahan dirinya adalah daya ingat.
“Otakku harus bekerja lebih untuk menghafal pemain-pemain sepak bola di kota mana kaki saya berpijak. Ketika di Bandung, saya harus menghapal Hariyono itu yang mana atau apakah Kim Kurniawan sudah masuk grup Facebook Paguyuban Nama Kurniawan. Pusing!” curhat Bokir.
Beban itu, katanya, lebih berat ketimbang adaptasi dengan tetangga baru atau menghapal jadwal ronda di perumahan yang sekarang.
Dalam lanjutan ceritanya Bokir, dalam obrolan di sebuah cakruk, dengan entengnya bercerita tentang PSIM. Padahal ia tinggal di Sleman. Selanjutnya ia mengungkapkan satu teori, kumpul dan duduk bersama dalam urusan membahas sepak bola itu bukan sekadar duduk meletakkan pantat, lebih dari itu, harus mempelajari histori di balik semua obrolan yang akan ia haturkan. Jika kita berhasil menguasai ilmu-ilmu dasar sepak bola daerah kita berada, katanya lagi, menguasai hal-hal lain seperti pergaulan dan tetek bengek lainnya menjadi perihal sepele.
#2 Beban anak pindahan yang tidak paham sepak bola Indonesia
Namanya Gun. Kelahiran Solo yang ketika ayahnya berpindah tugas, ia turut berpindah menuju Jogja. Jaraknya dekat memang, tidak seperti Bokir yang begitu ekstrem ketika berpindah tempat. Tapi, satu hal yang membuat Gun terpontang-panting, pengetahuan sepak bola Indonesia begitu minim.
Ia bercerita dengan khusyuk, “Tidak ada yang lebih seksi ketimbang PSIM. Dari yang semula tidak tahu apa itu crossing dan penalti, saya mulai memahami sedikit demi sedikit karena kecintaan saya secara mendadak kepada PSIM. Bahkan, jika boleh melebih-lebihkan, Esaiah Pello Benson kala itu benar-benar dipuja seperti kalian saat ini memuja Messi di Barcelona. Pokonya PSIM adalah warisane simbah! Embuh simbahe siapa, pokoknya aku yakin dengan kamu!”
Dari cerita tersebut bisa ditebak bahwa Gun mulai tertarik dengan sepak bola. Tapi babak utama dari perjalan hidup Gun belumlah dimulai. Ia melanjutkan, “Sialnya, saya orang asli Solo. Bahkan, kamus bahasa Jawa dalam hidup saya menyebut ‘jatuh’ dengan jiglog, bukan tibo. Dan usut punya usut, di tempat kelahiran saya sudah ada klub bola yang sama-sama besarnya. Sama-sama tradisionalnya. Anak TK mana yang tahu bahwa di Solo ada Persis, di Sukoharjo ada Persiharjo. Tapi saya tahunya ya cuma PSIM karena tumbuh berkembang di Jogja. Dan rasanya seperti ketimpa tangga ketika tahu hubungan dua klub ini agak tidak akur.”
Sejatinya Gun ingin menyembunyikan identitasnya seperti para Anbu di Konoha. Namun, atas peristiwa terpilihnya sebagai dokter kecil yang diumumkan seluruh biodatanya secara lengkap, prahara kembali bergejolak dalam lingkup pertemanannya. “Kawan saya waktu itu tidak se-open minded anak-anak di jaman sekarang. Mereka adalah fotokopi dari generasi tua tanpa diberi edukasi. Yang dewasa membenci, anak-anaknya pun juga tertular tanpa diberi tahu membenci karena apa, historinya bagaimana. Padahal, bisa saja perasaan benci itu hanya sepanjang sembilan puluh menit, sisanya ya kembali bergandengan tangan, tho? Kok ya lanyuuu teros!”
Gun melanjutkan, “Dari pengalaman saya itu memang dapat dipetik sebuah pelajaran, ketika yang tua menanamkan nilai-nilai kebencian, maka generasi muda terus akan mengabadikan perselisihan tersebut hingga ia dewasa. Contohnya apa? Sederhana, selain baku hantam, juga chants berbau provokatif. Ketika saya SD mata pelajaran olahraga yang mengharuskan berjalan sampai Purawisata, dengan luwesnya mulut teman-teman saya selama perjalanan bernyanyi isinya cuma misuh. Dengan kata-kata kotor dan nada provokatif, mereka bernyanyi seperti ini, ‘Tak beleh, tak dadikke sengsu, asu!’”
#3 Kuda pacu politik terbaik
Mas Danu adalah pengamat sepak bola. Ia menjuluki dirinya pengamat kelas angkringan. Ia dijuluki sebagai imam besar dedongengan sepak bola. Mulutnya pasti bergerak begitu ritmis tiap bercerita tentang Persiba yang kini seakan hilang ditelan beton megah Stadion Sultan Agung. Ia tidak berani bercerita banyak tentang Persiba, entah mengapa. Juga angkat tangan tiap ditanya perihal 8 tuntutan BCS. Ia lebih suka memaki-maki mereka yang berjanji lamis, berkata bahwa sepak bola segalanya, tapi esoknya malah membangun singgasana.
Ia berkata seperti ini, “Sepak bola Indonesia membuat saya begitu frustrasi tahun demi tahun. Ada-ada saja lakon komedi yang membuat sepak bola negeri ini terus berkelakar dengan cara yang santun. Dengan kata-kata yang memikat. Janji manis yang semanis kata-kata ‘Cuma kamu yang aku sayang’ kala seorang kekasih merayu pujaan hatinya. Lalu esoknya hilang begitu saja, meninggalkan jutaan janji yang tidak pernah terpenuhi. Jika sepasang kekasih itu tak saling sapa, maka sepak bola Indonesia agaknya lebih ramah, yaitu mempersilakan ‘pengobral janji’ menuju kursi singgasana yang ia inginkan. Ah, santunnya sepak bola kita.”
Mungkin hal ini yang membuat pria berumur dua puluh delapan tahun ini tidak pernah menaruh harapan lebih kepada sepak bola negeri ini. Ia justru terang-terangan menyukai Crystal Palace karena namanya bagus. Tapi, ya namanya juga ada gula, di situ pula ada semut. Ada kerumunan masa yang menjanjikan, orang-orang dengan niat lain selain sepabola pastinya turut hadir memeriahkan. Sepak bola dimasuki politik emang jahat, tapi sepak bola sudah masuk babak industri yang mengharuskan perputaran uang berjalan maksimal.
Terus gimana dong, Mas Danu?
#4 Scoopy blombongan
Tahun 2010 adalah saat-saat paling berkesan bagi Mukhlis. Di tahun itu ia baru bisa menaiki sepeda motor padahal sudah menginjak kepala dua. Di tahun itu pula masyarakat Bantul rasanya seperti disetrum karena Persiba sedang bagus-bagusnya. Berbeda dengan Mukhlis, ia ini orangnya mageran. “Dari pada ke Stadion Pacar, mendingan juga ngewibu,” katanya ketika saya santroni di kediamannya.
“Ketika bergegas menuju stadiun rasanya begitu mager. Bagaimana tidak mager, kala kawan-kawan saya beriringan menggunakan motor blombongan yang suaranya nyeter dan keren. Mereka membawa bendera dan atribut serbamerah, sedangkan motor saya adalah Honda Scoopy 2010 yang masih kinclong karena dihadiahi Simbah atas keberhasilan panen musim ini. Motor-motor yang lain, ketika melintasi Jalan Imogiri Barat, rasanya sudah merasa superkeren. Sedangkan motor saya, Honda Scoopy yang ketika digas sedikit, bukannya rasa takut, yang ada malah rasanya ingin menafkahi karena begitu halus dan santun.
“Juga ketika dalam kemacetan, mereka dengan lincah menyalip mobil-mobil di hadapannya, berkelok sesuai keinginannya. Sedangkan saya dengan bodi motor yang gendut dan kecepatan yang alakadarnya, bukannya mengikuti arak-arakan, malah sambat akibat ikut terjebak macet di perempatan Terminal Giwangan.”
Ia melanjutkan keluh kesahnya, “Tidak join suporteran nanti dibilang ansos, join suporteran malah akhirnya menyiksa diri sendiri. Ingin rasanya mengikuti idealisme diri sendiri, mengurung di kamar, bersikap tidak acuh dan mencoba menghindari diri dari sepak bola dalam negeri. Tapi, rasanya seperti dikebiri secara paksa. Ada yang kurang, tapi tidak berasa. Memang nyaman baring di indekos, tapi ya itu, rasanya ada yang kurang jika tidak melihat Fortune Udo ngamuk di gawang lawan!”
Sebenarnya dari beberapa cerita yang saya himpun memiliki satu kesamaan, yakni yang semula terpaksa, akhirnya tanpa sengaja menemukan kenyamanannya. Ketika mereka saya sodori sebuah pembaptisan bahwa secara tidak langsung mereka itu pencinta sepak bola Indonesia, seperti lagunya Naiff “Benci untuk Mencinta”, yang ada jawaban mereka malah seperti diplomat ulung-nya Iwan Fals dalam lagu “Pesawat Tempur”, alias engkau terus mengelak.
Juga secara tidak sadar, mereka itu malah seperti seorang masokis. Lantaran disiksa berkali-kali oleh sepak bola dalam negeri, tapi tak pernah kapok untuk kembali. Ah, tapi mencintai atau tidak itu hanya sebatas gelar yang tidak penting. Selagi mereka memiliki kisah—baik yang bersifat pengalaman baik atau sebaliknya—selama itu pula mereka masuk dan mengerti bahwa sepak bola Indonesia pada dasarnya begitu jelimet tapi di satu sudut pandang tertentu, sepak bola negeri ini begitu seksi. Dan yang terpenting, selama pandemi, tidak ada yang nunggak gaji.
BACA JUGA Ahimsa: Surat Protes untuk Sepak Bola Indonesia dan tulisan Gusti Aditya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.