Seorang teman mampir setelah tiga tahun lamanya tak berjumpa. Darinya saya mengenal bisnis Sarang Burung Walet yang penghasilannya tidak main-main. Saking besar nominal penghasilannya sampai tetangga menyangka dia memelihara tuyul. Dia yang dulunya bahkan tidak menyelesaikan SMA kini sukses secara finansial. Punya rumah, mobil, beberapa unit sepeda motor, dan properti lainnya. Namun ada sesuatu yang dia keluhkan, kuasa atas dirinya sendiri. Ia merasa tak lagi punya waktu bahkan untuk menikmati apa pun yang ia hasilkan.
Menjadi agen dalam usaha Sarang Burung Walet memang menguntungkan, tapi selayaknya seorang agen (baca: pion) dengan penghasilan yang lebih dari cukup tetap saja dia tidak memiliki kuasa atas dirinya. Semua kuasa itu telah diserahkannya kepada konglomerat yang menjadi bosnya, Sarang Burung yang merupakan usahanya, dan uang yang jadi tujuannya.
Ketika si bos yang konglomerat meminta untuk dicarikan Sarang Burung dengan jumlah yang ditentukan oleh bosnya, dia harus bisa memenuhinya meskipun harus keliling mencari di Lombok, Sumbawa, Bima, maupun Dompu. Bisa saja hingga berwaktu-waktu tidak sempat pulang ke rumah. Bahkan dia pernah bercerita selama bulan Ramadan hanya satu hari pulang karena tuntutan dari bosnya belum terpenuhi. Mengapa tidak berhenti?
Tidak mungkin! Godaannya terlalu berat. Di mana lagi dia mau dapet finansial sebesar ini tanpa modal besar, baik modal kapital ataupun modal pengetahuan. Jika dia balik ke pekerjaannya yang semula dia mungkin mentok dengan penghasilan yang pas-pasan tidak akan menikmati status sosial sebagai kelas menengah. Di mana lagi dia bisa menikmati mempekerjakan dan juga memerintah bawahan. Bisnis yang tidak perlu modal besar, hanya kepercayaan dan jaringan.
Ternyata semua ada harganya. Harganya terlalu berat hingga dia tidak mampu mengacuhkan atau menolak pekerjaannya meskipun sering dia keluhkan. Ada ketimpangan relasi yang muncul antara dia dan pekerjaannya. Terdapat ketidaksimetrisan relasi kekuasaan dimana pekerjaannya ternyata memiliki kuasa lebih besar dari dirinya. Bagaimana itu bisa terjadi?
Menurut Foucault, kekuasaan meliputi segala aspek kehidupan manusia. Selama ada dimensi maka akan ada relasi antara yang mengikuti dan melekat padanya. Kekuasaan tersebut beroperasi secara tidak sadar dalam jaringan kesadaran manusia yang mana sifatnya tidak represif tetapi justru menormalisasi struktur hierarki dalam masyarakat. Sebagai contoh seorang anak yang secara normatif patuh pada perintah orang tuanya tanpa ada paksaan atau seorang anak perempuan yang belajar memasak meskipun tidak dipaksa oleh ibunya. Semua dilakukan sebagai bentuk praktik sosial yang normal dalam struktur budayanya.
Foucault mendefinisikan kekuasaan sebagai praktik sosial yang berlangsung dalam institusi terhadap seorang individu. Kekuasaan dalam perspektif Focault tersebar di mana-mana dalam setiap relasi sosial masyarakat yang mengontrol cara pikir, persepsi, dan aktivitas manusia tanpa disadari. Seperti halnya teman saya ini penghasilannya yang tinggi justru tidak memegang kendali atas dirinya alias kuasa tidak lagi berada pada dirinya. Bahkan untuk berhenti pun, ia sama sekali tidak berani.
Ketika kekuasaan tidak dimengerti dengan baik maka dominasi kuasa itu bisa memanipulasi manusia. Hal ini akan menimbulkan permasalahan baru bahkan menimbulkan patologi sosial. Seorang yang tidak pernah bisa berhenti bermain judi online padahal dia harusnya berangkat kerja mencari nafkah untuk anak istrinya. Juga seseorang yang terus saja menonton video-video prank nirfaedah di YouTube yang membuatnya kehilangan kendali atas dirinya di mana aktivitas memegang kuasa melebihi dirinya. Hal ini membuatnya tidak bisa berhenti melakukan aktivitas tersebut meski mengetahui aktivitas tersebut tidak baik untuknya.
Seperti kasus teman saya itu ia tidak lagi menjadi memegang kendali atas pekerjaannya, namun pekerjaannya yang justru memegang kendali atas dirinya. Semua itu dikarenakan norma yang ia percayai bahwa apapun yang ia lakukan harus bisa menyenangkan atasannya. Faktor lainnya adalah nominal uang yang dihasilkan yang membuatnya tidak mampu menolak itu semua meski harus mengorbankan kuasa dirinya atas aktivitasnya.
Hilangnya kuasa diri ini merupakan bukti bahwa relasi kekuasan tidak hadir hanya lewat hubungan manusia dengan manusia lainnya ataupun institusi tapi relasi kekuasaan bisa muncul dari hubungan manusia dengan benda yang dimilikinya ataupun aktivitasnya sendiri. Uang, kekayaan, penghasilan yang tinggi, aktivitas yang menyenangkan bisa memanipulasi pikiran manusia hingga menghilangkan kemampuan manusia dalam memutuskan mana yang baik dan tidak baik untuknya. Lantas, bagaimana cara kita melihat apakah kekuasaan berada pada diri kita atau berada di luar diri kita?
Mudah saja. Cobalah untuk berhenti pada aktivitas yang kerjakan. Jika anda tidak bisa berhenti dengan mudah berarti kekuasaan tidak ada pada diri anda. Namun jika Anda susah atau bahkan tidak bisa berhenti meski mengetahui itu tidak baik, maka Anda sebaiknya berpikir ulang. Mungkinkah Anda memiliki kuasa atas diri Anda?
Kalau jawabannya tidak, Anda harus menjawab pertanyaan selanjutnya, masih perlukah semua itu dipertahankan? Karena merdeka secara finansial tidak menjamin kemerdekaan sebagai individual.
BACA JUGA Pedoman Melakukan Financial Planning Sendiri atau tulisan Aliurridha lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.