Hal-hal berbau Manchester United, pasti bakal masuk ke kolom teratas pencarian Twitter. Dibaca: pasti trending.
Saya, setelah banyak-banyak merenung, tidak pernah seratus persen membenci United. Penaldo? Ah, itu mah goreng-gorengan media dan terserah mereka mau menulis kayak gimana, kenyataan bahwa Ronaldo tetap mencetak gol—menggendong United nyaris sendirian, terlepas menang atau kalah, bukanlah bahan gojekan. Fred? Maguire? Ole? Saya justru merasa kasihan meski kadang sesekali …. baiklah, seringkali membuat saya capek ketawa. Lantas, terus terang saja, satu-satunya yang bikin saya kesal, ya kelakuan fansnya.
Waktu saya membaca tulisan Mas Seno di Mojok yang berjudul “Manchester United dan Arogansi Memang Saudara Sepersusuan”, saya nggak perlu membaca artikelnya sampai habis untuk mengatakan setuju. Contohnya sudah terlalu banyak. Bagi orang yang awam bola, mudahnya seperti ini. Kalian punya teman yang merasa jadi orang terbaik meski yang dia lakukan sebenarnya biasa saja? Nah, kira-kira seperti itu. Ditambah kadar kesombongan yang meroket. Sedikit lagi, udah nyenggol Olympus itu kepala.
“Arogansi” yang dimaksud Mas Seno kini terjadi lagi ketika Ralf Rangnick merapat ke United. Titel “Guru Klopp dan Tuchel” langsung jadi alasan banyak fans United kepalang cepat untuk besar kepala.
Ralf Rangnick memang bukan nama mentereng, dan barangkali ada yang baru mengetahuinya satu minggu belakangan. Meski demikian, saya selalu menyukai cerita-cerita di sekeliling Rangnick. Cerita favorit saya adalah cerita ketika Klopp menghampiri Ralf Rangnick dan mengatakan “saya ingin tim saya bermain seperti tim anda.”
Ketika pertama kali saya mendengar cerita ini, terlepas dari benar atau tidaknya, terasa menyejukkan, sarat dengan passion, dan yang paling penting, cerita ini tidak ada tendensi untuk membuktikan siapa yang lebih baik dari siapa. Namun, di tangan United, cerita ini tak ubahnya tongkat besi yang dipakai buat menggetok tempurung kepala orang-orang.
Begini lho, hype dan optimis itu boleh-boleh saja. Akan tetapi, semua hal itu akan jadi merusak kalau tidak dipisah dengan arogansi. Seperti mengatakan United sudah lebih baik dari Chelsea atau Liverpool hanya karena merekrut sang mahaguru.
Mbok tulung, sepak bola memang mengakui keajaiban, tapi perlu diingat jika yang demikian itu tidaklah berlaku setiap saat.
Skuat United skuat gado-gado
Sebuah tim tentu dibentuk berdasarkan cetak biru yang dirancang oleh tim pelatih dan klub. Dan tentu saja “cetak biru” tersebut nggak selalu tanpa cela. Liverpool, misalnya, merupakan tim yang dibangun berdasarkan sistem gegenpressing yang mengedepankan opsi untuk mengalirkan bola. Artinya? Liverpool memanfaatkan fase transisi untuk masuk ke dalam kotak dua belas lawan. Namun, tentu saja tim ini tidak sesempurna itu.
Ketika Salah atau Mane berhasil diisolasi dan mereka terlalu jauh ke dalam untuk mendapatkan suplai bola, Liverpool akan berhadapan dengan tim yang sudah siap bertahan. Inilah kelemahan Liverpool dan sangat kentara ketika melawan West Ham. Thiago dan Konate adalah dua pemain yang ditujukan untuk menutup kelemahan ini. Seorang gelandang kreatif dan seorang ball-playing defender. Memastikan Liverpool tetap memiliki opsi umpan meskipun lawan berhasil menahan tempo.
Berbeda dengan Liverpool, skuat United bisa dibilang, yah, maaf, gado-gado. Saya sepakat dengan YouTube Tifo Football yang mengatakan bahwa lima sampai tujuh pemain United “hampir” tidak bisa dimainkan bersama. Para pemain tidak diboyong dengan tujuan untuk melayani sebuah sistem dan tupoksi yang spesifik. Jack of all trades, master of none. Artinya, hal ini bakal jadi pekerjaan rumah besar bagi Rangnick. Ia perlu memutar otak, merancang “masterplan” sementara demi menyelamatkan musim United tahun ini.
Enam bulan
Menangani tim sekelas United, waktu kerja enam bulan bukanlah waktu yang ideal untuk mengerjakan sebuah proyek sepak bola. Khususnya gegenpressing yang jadi trademark media Indonesia terkait kedatangan Rangnick ke Old Trafford.
Baiklah, dia memang bakal kerja lama di Old Trafford, hanya saja, United harus berubah total. Ibaratnya, tak hanya merenovasi, tapi merobohkan rumah dan membangunnya kembali dari bata pertama.
United, jujur saja, kelihatan lebih nyaman memainkan pressing di tengah lapangan. Mengandalkan kompaksi, mengisolasi dan merebut bola dari kaki pemain lawan di sisi lapangan, seperti taktiknya Claudio Ranieri. Kemudian mengalirkan bola ke depan dengan “umpan tombol segitiga” yang ditutup dengan tap-in ciamik Ronaldo.
Saya memahami bahwa kebanyakan fans United ingin lihat tim kesayangannya main menekan. Saya tidak bilang Rangnick gak bisa membawa United main intensitas tinggi. Namun, sejauh ini, hanya Jadon Sancho dan Fred—saya serius—yang nyaman memainkan gaya sepak bola ini.
Ini dengan dasar skuat yang ada sekarang lho. Beda cerita kalau dirombak total.
Ralf Rangnick adalah solusi (?)
Mendatangkan Ralf Rangnick, berarti United menunjukkan niat mereka berbenah. Saya bilang niat, sebab, selama beberapa waktu belakangan, kita diberikan pemandangan United yang terlihat akan berubah, tapi sama saja. Pelatih tidak diberi apa yang mereka mau, dan harus kehilangan banyak pemain potensial ke tim lain.
Andai mereka beneran serius, beberapa musim ke depan, tim lain harus waspada dengan Manchester United. Sebab, mereka mendatangkan orang yang tepat. Tapi, karena itulah, sebaiknya fans United diam dan nikmati. Kalau menang lalu merasa di puncak dunia, kalian bakal disuguhi kekecewaan demi kekecewaan. Sebab, proses butuh fase menyentuh tanah untuk melihat apa yang salah.
Ralf Rangnick, bisa jadi solusi, bisa juga tidak. Yang penting sih, kalian diem dulu. Prestasi kalau cuman comeback lawan PSG mah mending ndeprok di pojokan sana.
Sumber Gambar:Â Pixabay