Entah berapa kali saya disuruh cari kerja. Padahal saya sendiri sudah punya pekerjaan. Bahkan orang yang menyuruh saya kerja bukanlah sanak saudara. Kenal saja tidak. Tanpa hujan tanpa angin, mereka berkomentar bahwa lebih baik saya mencari kerja. Alasannya, saya dipandang terlalu kritis dan banyak protes.
Komentar ini dapat ditemukan di tulisan saya tentang kritis di Jogja sampai Piagam TNI AL-Nyi Roro Kidul. Jika dirangkum, inti dari komentar-komentar tersebut adalah, “Daripada Anda kebanyakan protes, kebanyakan tanya, mending cari kerja!” Nah, saya bertanya-tanya tentang komentar ini. Mengapa sangat “template”?
Awalnya saya menduga komentar demikian adalah khas orang Jogja. namun setelah melakukan check and recheck, ternyata banyak orang luar Jogja yang gemar memakai komentar serupa sebagai senjata pamungkas.
Akhirnya saya coba bertanya pada mereka yang gemar berkomentar demikian. Kebetulan, banyak orang di sekitar saya yang suka menggunakan komentar cari kerja ini. Bahkan keluarga saya sendiri ketika mengomentari aksi demonstrasi. Setidaknya saya menemukan beberapa jawaban berikut.
#1 Orang kritis dan protes dianggap pengangguran
Ini adalah alasan utama yang selalu saya temukan di berbagai komentar. Biasanya, narasi mereka menekankan bahwa orang yang kritis adalah pengangguran. Dengan asumsi pengangguran pasti punya banyak waktu luang serta sedang kekurangan. Seolah-olah, orang yang sudah bekerja tidak sempat jadi kritis dan protes.
Saya merasa alasan ini cukup lucu, apalagi ketika yang kritis dan protes sudah bekerja. Alasan ini seperti memukul rata semua orang kritis sebagai pengangguran. Padahal, banyak orang kritis yang sudah bekerja bahkan mapan. Bahkan ada orang yang memang bekerja dengan kekritisannya. Misal, komentator bola, kurator seni, sampai aktivis pesanan yang kadang muncul saat demo.
Asumsi ini makin berkembang dengan melibatkan dunia akademik dan menjadi alasan kedua berikut.
#2 Orang kritis biasanya mahasiswa yang tidak punya uang
Nah, alasan ini terjadi gara-gara keterlibatan aktif mahasiswa dalam demo. Alasan ini makin liar dengan asumsi setiap demo mahasiswa ditunggangi kepentingan. Mahasiswa mau ditunggangi kepentingan karena mereka butuh uang. Simpelnya, lebih baik cari kerja daripada dibayar karena protes.
Alasan ini lebih lucu dari alasan pertama. Pukul rata kali ini benar-benar offside. Tidak semua mahasiswa yang suka demo itu butuh uang. Dan tidak semua mahasiswa yang demo tidak punya pekerjaan sampingan. Lebih lucunya, sikap kritis dan protes dipandang sebagai mata pencaharian “haram”. Jika semua orang kritis adalah mahasiswa bayaran, perputaran uang dalam lingkup orang kritis bisa mengalahkan perusahaan multinasional bahkan BUMN lho.
#3 Dengan cari kerja, orang bisa lebih bersyukur
Nah, saya pernah mendapat komentar ini di sebuah kesempatan. Kebetulan sekali, saya baru saja lulus dan tidak banyak yang tahu saya sudah bekerja. Komentar ini dilayangkan seorang teman pada bahasan yang tidak ada hubungannya dengan mencari nafkah. Saya hanya bisa berkomentar, “Lah?”
Bagaimana jika seseorang protes karena kondisi kerjanya? Protes karena gaji yang diterima mepet UMR yang sedikit itu? Dia protes karena kerja, bukan karena menganggur. Tapi kembali lagi pada budaya pukul rata ini. Semua yang protes dianggap orang nganggur dan selo lalu direkomendasikan segera cari kerja. Padahal, untuk apa protes tentang UMR jika Anda nganggur?
#4 Dengan giat kerja, kamu bisa menyelesaikan masalah yang kamu kritisi
Saya ingat betul komentar ini, “Daripada kamu protes, sebaiknya kamu cari kerja, Mbak. Kalau sudah kerja, kamu bisa ngurusin masalahmu.” Tentu komentar aslinya dalam bahasa Jawa. Kalau tidak salah, komentar ini ada dalam postingan si Mbak perihal cuti hamil. Sayang sekali, waktu itu hanya saya baca tanpa saya abadikan. Sebab, komentar ini (menurut saya) ada pada puncak komedi.
Sekarang, masalah utamanya adalah dia kritis karena dia bekerja. Selain komentator kali ini offside di puncak komedi, bekerja dan menyelesaikan masalah seperti cuti hamil bukan hal yang berkaitan. Seandainya Mbak ini bekerja lebih giat bahkan lembur, saya pikir peraturan perusahaan tentang cuti hamil tidak berubah. Berubahnya peraturan terjadi karena ada usulan berupa protes yang kritis, to?
#5 Kerja dapat uang, nanti kamu lupa untuk kritis
Komentar seperti ini saya dapatkan secara live, di sebuah kedai kopi. Saya sendiri hanya bisa manggut-manggut karena yang menyampaikan lebih tua dari bapak saya. Menurut beliau, uang akan membuat hidup seseorang lebih nyaman. Kenyamanan ini akan membuat orang tidak perlu repot untuk kritis. Oke, jadi perlu cari kerja nih?
Alasan ini sejalan dengan pemikiran “uang bisa membeli segalanya”. Sayang sekali, pemikiran ini sudah mendarah daging dalam pikiran masyarakat kita. Padahal banyak materi protes yang tidak bisa diselesaikan dengan uang. Sekadar dialihkan dengan uang juga tidak bisa. Sebut saja perkara RUU PKS. Sekaya apa pun seseorang, ancaman pelecehan dan kekerasan seksual bisa terjadi kok.
Sayang sekali, ujaran untuk cari kerja ini masih langgeng sebagai senjata pamungkas. Selain mencederai harga diri si kritis, orang yang berkomentar akan terkesan rasional. Si komentator terkesan seperti malaikat yang mengingatkan si kritis untuk melakukan sesuatu yang lebih baik. Memuakkan!
Photo by Cottonbro via Pexels.com
BACA JUGA Perjalanan Saya Memecahkan Bumbu Rahasia Indomie ala Aa Burjo dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.