Panasnya persoalan batas wilayah yang melibatkan negara Tiongkok saat ini rupanya juga menjadi perhatian berbagai kalangan. Bukan hanya para politis dan akademisi, tetapi juga sampai pada seorang budayawan ternama: Sujiwo Tejo. Beliau mengkritik beberapa menteri yang entah kenapa selalu dipimpin dengan gender laki-laki. Beliau mencibir menteri laki-laki yang tidak bisa mempertahankan NKRI, lebih baik menggunakan BH atau sekalian menggunakan kebaya seperti dirinya. Namun di akhir cuitannya tersebut beliau memberikan catatan bahwa tidak semua perempuan takut perang.
Ada poin penting yang menurut saya perlu dibenahi dari cara berfikir yang diskriminatif tersebut. Ngapunten, Mbah Sujiwo Tejo, sebenarnya saya tidak ingin menjadi lancang. Tapi saya juga tidak ingin menjadi apologetic hanya karena saya mengaggumi karya-karya Njengenan. Keberanian saya untuk lancang ini juga didorong oleh kalimat dari Gus Baha’ yang berbunyi, “Ini penting saya utarakan.”
Sebenarnya sah-sah saja dan justru sangat baik jika kita peka terhadap situasi dan mau menyampaikan kritik. Ya, nggak jauh beda dengan yang pernah diutarakan oleh para alumni Monash University lah, mengkritik itu tanda sayang. Tapi ya bukan berarti tanpa rambu-rambu yang mesti diperhatikan. Dalam hal ini saya justru ingin mengkritik balik kritikan dari Mbah Tejo tersebut.
Kalau masalah substansi, saya paham dan setuju bahwa konflik batas wilayah ini tidak bisa hanya didiamkan tanpa solusi yang jelas. Tapi, cara Mbah Sujiwo Tejo mengkritik para menteri laki-laki tersebut secara tidak langsung telah merendahkan perempuan, serta perempuan-perempuan yang lain. Dengan menyuruh para menteri laki-laki untuk mengenakan pakaian perempuan, BH, dan kebaya (walaupun sebenarnya pakaian itu tidak ber-gender) beliau seolah-olah mengamini bahwa martabat bangsa ini tergantung pada penguasanya yang laki-laki. Oleh karena itu, kalau sudah tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankan bangsanya lebih baik menjadi perempuan saja yang berarti tidak memiliki tanggung jawab yang sama besar atas kedaulatan bangsanya. Di sini stigma bahwa perempuan adalah makhluk kelas dua yang tidak se”kuat” laki-laki dilanggengkan.
Meskipun pada akhir kata, beliau memberikan catatan bahwa tidak semua perempuan takut perang. Artinya tidak semua perempuan se-lemah yang Mbah Sujiwo Tejo dan mungkin banyak orang pikirkan. Dalam pernyataan ini justru sebenarnya Mbah Tejo sedang menampakkan ketidaktegasan beliau, seolah ragu pada kritiknya yang pertama dan berusaha mengamankan dirinya maka beliau tulis kalimat yang ke-dua tersebut.
Di cuitan yang sebelumnya Mbah Tejo mencoba memuji keberanian Ibu Menteri Retno LP Marsudi dengan sebuah kalimat yang mengatakan bahwa Bu Retno adalah srikandi yang lebih laki-laki daripada laki-laki itu sendiri. Tapi ngapunten Mbah, menurut saya itu bukan pujian. Karena Bu Retno tetaplah perempuan, beliau menjadi tangguh bukan karena beliau menunjukkan sisi kelelakian. Ya karena memang menjadi tangguh dan kuat itu adalah hak semua orang, tak pandang lelaki maupun perempuan. Begitu pula menjadi lemah.
Jadi lucu ketika beliau mencoba mengkritik ketidaktegasan para pemimpin laki-laki dalam bersikap atau dalam bahasa beliau berperang, tetapi bahkan kritik yang beliau sampaikan pun tidak tegas.
Lagi pula Mbah, zaman sekarang ini yang pake BH bukan cuma perempuan lho, para pejuang gender yang jumlahnya bisa sampe jadi puluhan macam itu bisa meradang kalau Njenengan mengatakan kalau yang pake BH itu cuma perempuan. Ya walaupun sebenarnya banyak dari mereka juga kadang kebingungan sendiri dengan standing point perjuangan yang sedang mereka suarakan itu, tapi saya yakin sekali kalau mereka akan tidak terima kalau BH dikatakan pakaian perempuan.
Selain itu, dalam budaya kita yang nenek moyangnya adalah masyarakat agraris dan maritim, sebenarnya tidak mengenal budaya yang diskriminatif sepeti itu. Karena pekerjaan-pekerjaan patani dan nelayan menuntut kerja sama yang setara antara laki-laki dan perempuan. Baru penjajahan Belanda-lah yang membawa kita semua menggunakan gaya pikir yang misoginis dengan memisah-misahkan kerja antara laki-laki dan permpuan, memberikan stigma bahwa perempuan itu makhluk lemah yang pantasnnya kerja di dapur, dan cara-cara lain yang diamini oleh para bangsa penjajah pada zaman itu. Jadi, kalau kata para kaum takfiri, melemahkan perempuan, “Itu bukan budaya kita!1!1!”
Walhasil, semangat Mbah Sujiwo Tejo yang sudah sangat baik untuk memberikan kritik kepada para penyelenggara pemerintahan alih-alih menjadi kritik pedas nan ndagel seperti yang beliau lakukan selama ini. Tapi justru menjadi pukulan berat bagi para perempuan yang ternyata harus berjuang lebih kuat lagi untuk melawan stigma bahwa dirinya diciptakan Tuhan sebegitu lemahnya sampai-sampai bisa menjadi pilihan terakhir para laki-laki yang tidak cukup kuat untuk membela negaranya.
BACA JUGA Stop Objektifikasi Istri-Istri Para Menteri! atau tulisan Fatimatuz Zahra lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.