Bahasa Indonesia menyandang status sebagai bahasa nasional. Singkatnya, Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan. Produk budaya ini sekaligus mempersatukan ribuan bahasa daerah di Indonesia beserta dialek yang mengiringi. Dan, perkara dialek dan bahasa daerah ini pernah membuat saya merasa menyesal pernah kuliah di Universitas Indonesia.
Setiap bahasa daerah tentu memiliki dialek masing-masing. Oleh sebab itu, sangat wajar ketika penutur, baik sadar maupun tidak, menggunakan dialek bahasa daerahnya ketika berbicara dengan Bahasa Indonesia. Berbicara dialek, saya jadi teringat pengalaman ketika tamat SMA, sebelum kuliah di Universitas Indonesia.
Ceritanya, dari awal masuk sekolah hingga tamat SMA, saya bersekolah di Sumatera Barat. Tepatnya di Lubuk Basung dan diterima di Universitas Indonesia pada tahun 1985. Tentu saya senang sekali bisa kuliah di salah satu kampus terbaik di Indonesia.
Hari-hari awal di Universitas Indonesia
Saat itu, lokasi kampus Universitas Indonesia masih di Salemba, Jakarta Pusat, dan Jalan Pemuda, Jakarta Timur. Sebelum perkuliahan berlangsung, mahasiswa baru menerima penataran P4 selama 100 jam di kampus Salemba. Saya masuk ke kelompok yang ditatar di Fakultas Teknik, Salemba.
Suatu ketika, ketika sedang istirahat makan siang, saya didekati oleh kakak panitia. Dengan ramah dia bertanya-tanya. Dalam hati heran juga, nih orang kok ingin tahu benar. Selanjutnya, tanpa saya minta, dia menyebutkan bahwa dirinya dari Fakultas Sastra (FS). Ternyata satu fakultas dengan saya (sekarang FS jadi FIB).
Dia sempat menebak, “Adik orang Padang ya?”
“Kok tahu?” Jawab saya senang.
“Iya, logatnya masih bau rendang,” jawabnya sambil tersenyum. Oh la la, pipi saya yang tadinya putih bersih jadi merah tomat.
Di Universitas Indonesia, saya memang mengambil jurusan Sastra Indonesia. Salah satu mata kuliah yang saya ikuti adalah Kajian Prosa. Dosen pengampu matkul tersebut bernama Ibu Panuti Sudjiman.
Dipermalukan ketika belajar Bahasa Indonesia
Salah satu metode mengajar beliau adalah mahasiswa diminta membaca beberapa paragraf dari sebuah karya sastra secara bergantian. Setelah itu, kami akan membahas karya sastra tersebut. Saya senang dengan matkul ini, terutama kalau sedang membahas cerpen atau novel.
Saya suka sama matkul itu, makanya ketika mendapatkan giliran membaca, saya membaca dengan keras dan lantang. Anehnya, saat membaca, beberapa kali saya mendengar suara tertawa. Meski yang saya dengar adalah suara tertawa yang coba ditahan, tetap saja kuping saya bisa menangkapnya. Saya merasa heran dan bertanya-tanya dalam hati. Ada apa, sih?
Setelah selesai kuliah, saya menanyakannya pada seorang teman. Jawabnya, “Maaf ya Is, kamu itu mengucapkan bunyi /e/ pada kata “emas, bandeng, maret, merdeka” dan sejenisnya gitu dengan bunyi /e/ taling/keras, harusnya kan dengan bunyi /e/ pepet/lemah.”
Saya terhenyak. Jadi, mereka menertawakan dialek saya? Malunya luar biasa.
Baca Halaman Selanjutnya
Rasa Malu yang Membuat saya kehilangan kepercayaan diri