Rasa malu yang membuat saya kehilangan kepercayaan diri
Rupanya kejadian ini memengaruhi saya. Misalnya, saya jadi sangat ragu ketika hendak bertanya kepada dosen. Saya harus susah payah menyusun kalimat di dalam hati sebelum melontarkannya. Rasa takut mengucapkan /e/ itu bikin saya tertekan. Alhasil, saya jadi pendiam. Rasa percaya diri menguap.
Saat itu, saya jadi mempertanyakan keputusan kuliah Bahasa Indonesia di Universitas Indonesia. Kalau saja saya memutuskan kuliah di UNAND Padang, teman-teman saya pasti tidak akan mempermasalahkan mengucapkan /e/ taling. Maklum, di tanah Minang, kami memang tidak mengenal bunyi /e/pepet.
Sedih rasanya kalau membayangkan rasa malu kala itu. Selain itu, betapa dialek orang daerah, yang seharusnya menjadi kekayaan Bahasa Indonesia, malah jadi bahan tertawaan. Begitu sedihnya, saya jadi sering menyendiri di sebuah pojokan kampus.
Bapak Djoko Kencono menyelamatkan saya
Suatu kali, Bapak Djoko Kencono, dosen Fonologi, melihat saya duduk sendirian di pojokan. Beliau mendekati saya dan bertanya mengapa wajah saya terlihat bersedih. Awalnya, saya enggan berterus terang. Namun, karena beliau terus bertanya, saya terpancing untuk bercerita tentang rasa sesal belajar Bahasa Indonesia dan dipermalukan karena dialek.
Di akhir cerita saya, beliau tersenyum dan berkata.
“Jika tidak bisa menghilangkan dialek Minang ya itu wajar. Namanya juga sudah bertahun-tahun hidup di daerah. Kalau lafalnya tidak membedakan arti, masih boleh kok, tapi pelan-pelan dipelajari, terutama yang membedakan arti. Misalnya, mempelajari bunyi /e/ dalam kata “serang” (menyerang) dan kata “Serang” sebagai kota. Pada dua kata itu, lafal /e/ berbeda makna.”
Beliau menambahkan.
“Jangan malu! Logat Jawa saya dan Pak Sapardi juga masih kental, kok! Padahal kami dosen. Bukan salah bunda mengandung, melahirkan, dan membesarkan kita di mana.”
Beliau memotivasi saya dengan suara lembutnya, serta mengakhirinya dengan bercanda dan tersenyum. Saya pun ikut-ikutan tersenyum karena membayangkan selama kuliah dengan Pak Djoko dan Pak Sapardi, dua dosen istimewa di Universitas Indonesia, saya tidak bisa membedakan bunyi /d/ dan /t/ beliau berdua karena bunyi letupannya di telinga saya sama. Entah di kuping orang lain.
Memacu diri untuk belajar
Mendengar motivasi dari Pak Djoko, saya jadi terpacu untuk berlatih mengucapkan bunyi /e/ pepet. Saya tidak boleh menyerah belajar Bahasa Indonesia. Dialek memang kekayaan sebuah bahasa, tapi jangan sampai jadi penghambat.
Saat itu, saya dibantu oleh kawan-kawan yang tinggal di “Wisma Melati” di Jalan Pemuda III. Sebuah rumah kontrak yang kami bayar secara patungan. Saya mengontrak bersama Ceu Ros, Neni, Hida, Ayin, dan Mbak Nina. Mereka dari Cirebon, Tegal, dan Karawang. Dua orang lagi yang dari Kuningan saya lupa namanya.
Pelatih saya adalah teman sekamar. Namanya Hidayati, kuliah Jurusan Tata Busana di IKIP Rawamangun, bukan Universitas Indonesia. Hida, nama panggilannya, adalah orang Rangkasbitung. Dia tidak menyebut istilah /e/ pepet, tapi /e/ orang Sunda.
“Kalau bisa mengucapkan kata “peuyeum” dengan benar, pasti bisa mengucapkan e-nya orang Sunda,” kata Hida penuh semangat.
Makanya, dia meminta saya berulang-ulang mengucapkan kata “peuyeum” di depan cermin. Saya mau saja lagi. Sementara Ceu Ros, Neni, Hida, Ayin, dan Mbak Nina memperhatikan. Setelah Hida merasa saya mampu mengucapkan /e/ pepet, dia meminta saya mengucapkan kata emas, Maret, bandeng, dan lain-lain dengan lafal /e/ pepet.
Ilmu yang saya dapat
Karena memperhatikan wajah saya di kaca ketika mengucapkan kata “peuyeum”, saya merasa mendapat ilmu baru dan menyimpulkan sesuatu. Ternyata, mengucapkan bunyi /e/pepet itu bibir ditarik ke samping hingga kita seperti orang tersenyum.
“Pantas saja orang Sunda cantik-cantik karena terlatih tersenyum,” kata saya ngomong sendiri di depan cermin. Orang Sunda seolah-olah tersenyum ketika mengucapkan kata-kata berlafal /e/ pepet, terutama dalam kata “peuyeum”. Diam-diam saya berpikir demikian.
“Ayo Is, latihan lagi. Pengucapan /e/ Sunda-nya sudah benar, tapi belum pas,” Hida mengagetkan saya yang baru saja merumuskan sebuah teori mengapa orang Sunda cantik. Belum menanggapi Hida, tiba-tiba perut saya sakit. Saya pun bangun hendak ke toilet. “Mau ngapain Is?” tanya Hida.
“Brak,” jawab saya spontan. Tanpa sadar, saya mengganti bunyi /e/ taling dalam kata “berak” dengan bunyi /e/ pepet. Sontak, teman saya sekontrakan yang berada di dekat saya tertawa terbahak-bahak.
Terima kasih kawan-kawan Wisma Melati
Kawan-kawan satu kontrakan itu berjasa besar. Saya ingin menghaturkan rasa terima kasih kepada mereka lewat tulisan ini. Berkat latihan-latihan yang penuh canda dan tawa itu, hari-hari saya belajar Bahasa Indonesia di Universitas Indonesia jadi tidak lagi menyiksa. Penyesalan itu berubah menjadi rasa syukur.
Penulis: Ismalinar
Editor: Yamadipati Seno