Kalau ngomongin perkara menjadi ketua pemuda kek apa, kita harus bicara tentang kebiasaan di dusun dahulu. Masyarakat dusun adalah sebuah komunitas masyarakat yang menurut saya adalah antitesis dari modernitas. Ketika orang-orang kota (yang modern) mengutamakan efektivitas, efisiensi dalam berbagai kegiatan, orang-orang dusun tidak melakukannya.
Misalnya dalam kegiatan kenduri 7 hari kematian seseorang. Orang dusun tidak memilih menggunakan undangan kertas, atau pemberitahuan via WA grup untung mengundang orang-orang. Tetapi meminta beberapa orang, dari kalangan pemuda, untuk mendatangi orang-orang yang diundang. Orang yang diutus tuan rumah berpakaian sopan ala dusun dan berbicara dengan bahasa halus kepada orang-orang yang diundang.
Tidak cukup sampai di situ. Ketika mendistribusikan makanan, atau leladi, orang dusun tidak memilih cara yang praktis. Kita biasa mendistribusikan makanan secara rantingan. Rantingan itu maksudnya adalah memberikan makanan dan minuman ke satu orang, kemudian digeser ke orang sebelahnya sampai semua dapat.
Tetapi, orang dusun (biasanya) nggak memakai cara itu. Cara yang dipakai adalah kita harus memberikan makanan ke depan orang yang diberi konsumsi. Dan cara membagikannya ada standar sikap yang harus dipenuhi. Ketika berjalan menggunakan nampan dari satu orang ke orang lainnya harus dengan jongkok.
Untuk hal-hal semacam itu biasanya diserahkan kepada pemuda dan pemudi. Kalau kegiatan tahlil atau kenduri kematian biasanya hanya pemuda saja. Tetapi untuk kegiatan lain, seperti pengajian, pernikahan biasanya tidak hanya pemuda, tetapi juga pemudi.
Oleh karenanya, supaya kegiatan-kegiatan semacam itu dapat berjalan dengan lancar ada seorang koordinator yang ditunjuk. Di setiap dusun mungkin saja beda-beda. Ada yang menunjuk seseorang khusus, ada yang tidak. Namun, di dusun saya, semua itu langsung diserahkan kepada seseorang yang ditunjuk sebagai ketua pemuda.
Kira-kira seperti ini tugas yang harus dikoordinasi langsung oleh ketua pemuda di dusun saya. Kerja bakti rutinan membersihkan kuburan sebulan sekali. Leladi pernikahan. Mengundang orang kenduri atau tahlil. Membagikan pemberitahuan lelayu ke saudara keluarga yang ditinggalkan yang rumahnya di luar dusun dan tidak punya kontak telpon atau WA. Kegiatan peringatan kemerdekaan. Kegiatan Ramadhan. Serta kegiatan tambahan lain yang tidak rutin, seperti mengadakan turnamen voli, ikut lomba takbir keliling, mengkoordinir pemuda dan pemudi menjenguk salah satu anggota masyarakat yang sakit jika ada yang sakit dan kegiatan-kegiatan lain yang ingin diikuti oleh kaum muda sesuai kesepakatan.
Nulis kerjaan yang harus dilaksanakan sama ketua pemuda aja udah capek.
Jika Anda membayangkan mengkoordinir berbagai kegiatan dusun, kemudian berharap masyarakat dusun minimal akan menaruh hormat, Anda salah besar. Malahan yang ada Anda justru lebih sering tidak dihormati dan mendapat caci maki, alih-alih apresiasi.
Masyarakat dusun sebenarnya tidak membutuhkan kegiatan-kegiatan massal seperti yang saya sebutkan. Kegiatan massal tersebut ada dan diikuti karena mereka terpaksa mengikuti kebiasaan masyarakat sebelum-sebelumnya. Masyarakat dusun lebih suka kumpul-kumpul secara kultural. Kalau dalam bahasa jawa disebut nonggo.
Di lingkaran-lingkaran pergaulan kultural itulah tertanam kepedulian satu sama lain. Salah satu efeknya memang membicarakan keburukan orang lain atau ghibah. Tetapi, ghibah, selain menumbuhkan rasa iri dengki, juga menumbuhkan kuatnya ikatan di sebuah lingkaran pergaulan di dusun.
Maka, sepenting apapun posisinya di dusun, kalau orang itu tidak pernah nonggo, atau tidak bisa masuk ke lingkaran-lingkaran pergaulan sesama orang di sebuah dusun bukan dalam artian punya kepentingan serius, maka tak orang dusun yang akan menaruh rasa peduli.
Sayangnya, saya yang pernah dipilih oleh masyarakat dusun sebagai ketua pemuda tak punya kemampuan untuk nonggo. Saya berusaha semaksimal mungkin untuk mengkoordinir berbagai kegiatan yang berkaitan dengan kaum muda. Sambil berkali-kali menahan rasa marah, terkadang juga sakit hati karena betapa sulitnya menggerakkan orang-orang muda dusun untuk berkegiatan secara positif dalam rangka menyemarakkan dusun. Tetapi, tetap saja saya menjadi semacam orang asing di dusun saya.
Oleh karenanya, jika Anda tipe orang, yang tidak punya kemampuan nonggo bukan karena benci, tetapi secara psikologis memang sulit saja, saya sarankan tidak usah menjadi ketua pemuda walaupun itu dipilih oleh banyak orang. Percayalah, kalau Anda menerimanya Anda sama saja menerima sebuah kutukan.
BACA JUGA Kalau Ada Gelar Pak Haji, Kenapa Tidak Ada Gelar Pak Salat, Pak Puasa, atau Pak Zakat? dan tulisan Dani Ismantoko lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.