Kuliah itu capek. Malah, bukan hanya capek, ada juga yang sampai depresi karena sulit beradaptasi, nggak kuat sama tugas yang nggak ada akhirnya, sampai dibully senior karena dianggap songong di pergaulan. Biasanya, ketika menghadapi situasi sulit ini, banyak mahasiswa yang “seperti frustasi” dan bilang kalau mereka pengin menikah saja ~
Well, terdengar simple. Dikiranya semua masalah bisa selesai dengan menikah. Pokoknya sehabis menikah, hidup akan jadi lebih gampang, dan kita akan happily ever after kayak di dongeng-dongeng. Padahal? Ya nggak kayak gitu laaah ~ Kenyataannya, menurut penelitian, pernikahan hanya bisa menampilkan kebahagiaan di tiga bulan awal saja.
Sebelum berpikir kalau menikah adalah solusi capek kuliah, coba dipikir dulu deh, apa iya kamu sudah pantas jadi seorang istri? Apa iya kamu sudah siap kalau suamimu menuntut banyak hal pada dirimu? Apa iya kamu bisa menghilalngkan sikap kekanak-kanakanmu? Hilih, gara-gara masalah kecil aja kita suka ngambek kok, gimana bisa siap mental menjalankan kewajiban sebagai seorang istri.
Belum lagi kalau kamu nanti punya anak. Anak itu bukan bercandaan lho ya. Dia bukan hanya untuk konten lucu-lucuan. Waktu kamu pasti akan habis untuk mengurus dia. Kamu sudah siap belum meluangkan 24 jam waktumu untuk mengurusnya? Sudah siap mendengar tangisan dan jeritan dia di tengah malam saat kamu sedang capek dan ngantuk-ngantuknya? Kalau beban kuliah yang gitu-gitu aja kamu menyerah, mohon maaf nih ya, kamu nggak akan punya kesempatan untuk bisa memertahankan pernikahan yang aslinya juauuuuh lebih melelahkan dari sekadar kuliah.
Saya jadi ingat curhatan salah satu keluarga saya yang sudah menikah. Dia bercerita sambil menitikan air mata tepat di depan mata saya yang belum mengerti beratnya membangun rumah tangga itu. Dia bilang gini:
“Mertuaku selalu menggosipiku pada hal hal yang tidak tidak!”.
Ceritanya membuat saya paham bahwa menikah bukan hanya urusan antara kita dan pasangan, tapi juga dengan keluarga pasangan. Untuk menyamakan pola pikir suami dan istri saja susahnya minta ampun, apalagi ini harus menyamakan pola pikir dengan mertua, atau saudara ipar kita. Mau cuek ya jelas nggak bisa soalnya hubungan kita dengan keluarga pasangan akan sangat berpengaruh pada kelanggengan pernikahan kita. Saya pikir kalian juga familiar dengan kasus di mana pasangan disuruh berpisah karena perbedaan paham antara salah satu dari mereka dengan sang mertua.
Ya emang nggak semuanya berakhir tragis sih. Ada juga yang menikah selama kuliah tapi hidupnya cerah dan bahagia seperti apa yang ada di pikiran kita selama ini: pulang kuliah dijemput suami, ngerjain tugas disemangatin suami. bahkan kuliahnya juga sekalian dibayari suami. Tapi ya nggak jadi satu-satunya pembenaran untuk cari cara pintas dan melarikan diri dari persoalan.
Sebelum menyerah karena capek kuliah dan ngomong pengin nikah, sering-sering introspeksi dulu lah. Kalau hidup sendiri aja nggak teratur, masak nggak bisa, kostan berantakan, cucian di mana-mana, masa mau nambah beban ngurusin hidup orang lain?
Apalagi kalau misal sejak awal nggak punya pasangan. Lah, mau nikah sama siapa dong?
Kawan-kawan kuliahquuu, santai saja. Jangan frustasi dengan kuliah. Tugas pasti akan selesai selama terus dikerjakan. Dosen galak pasti akan luluh selama kita terus datang dan menunjukan kesungguhan. Lulus saja dulu lah, masih banyak hal yang harus dicapai, banyak orang yang harus dibahagiakan dan terakhir, ingat-ingat kalau sesudah kesulitan, pasti ada kemudahan!
BACA JUGA Menikah Tidak Sebercanda Itu, Adique!atau tulisan Nona lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.