Sebagai mahasiswa akhir yang memilih ngelaju demi kesejahteraan ekonomi, saya harus rela menempuh ratusan kilometer demi memperjuangkan sebuah gelar. Tidak setiap hari, hanya ketika butuh bimbingan dosen saja (dan jika saya sedang tidak malas). Sering ngelaju Solo ke Semarang dan sebaliknya membuat jarak antar kedua kota tersebut terasa dekat.
Jujur saja, saya sangat senang dan menikmati perjalanan. Ada banyak hal yang dapat dilakukan di perjalanan selama kurang lebih tiga jam lamanya, seperti menggelar konser tunggal di atas motor, membaca kata-kata motivasi di buntut truk, membaca plat nomor dan menerka asal si empunya kendaraan, mengumpat pada pengendara tak tahu adat, menyapa reklame dengan foto orang terkenal, mengulas senyum melihat anak sekolah dibonceng bapaknya, menyanyi dengan musisi jalanan, mengajak balapan bus antarkota, sampai menghitung lampu merah.
Hingga terbesitlah satu pemikiran acak yang berangkat dari rasa penasaran saya. Kira-kira berapa lampu merah yang harus dilewati saat berkendara dari Semarang-Solo? Atau dari kampus sampai rumah. Pas sekali, waktu itu saya akan pulang kampung. Segera saya siapkan selembar kertas HVS dan pulpen untuk mencatat satu persatu lampu merah kiri jalan yang akan saya lewati mulai dari kampus saya (Tembalang) sampai rumah saya (Kabupaten Sukoharjo).
Tak usah Anda tanyakan mengapa saya tidak mencatat menggunakan ponsel. Ponsel saya sudah memiliki tugas untuk memutar lagu, tidak bisa diganggu gugat. Lagi, mencatat menggunakan ponsel itu cukup riweuh, karena saya harus bolak-balik mengeluarkan dan memasukannya ke dalam tas selempang kecil saya yang sempit itu. Sedangkan, kertas HVS lebih praktis karena saya taruh di jepitan depan motor saya yang saya namai Sukab itu.
Metode penelitian
Metode yang saya gunakan dalam penelitian ini sederhana saja, yaitu simak, hafal, dan catat. Hal pertama yang harus dilakukan adalah menyimak lampu merah dan nama daerah atau bangunan ikonik dekat lampu merah tersebut misalnya, bangjo Superindo Ungaran, bangjo SPBU Osamaliki Salatiga, bangjo tugu lilin Kartasura, dan lain-lain. Setelahnya, menghafal nama daerah tersebut jikalau tidak sempat mencatat karena lampu mendadak hijau. Langkah terakhir adalah mencatat data tersebut dan buat nomor urut. Sungguh penelitian ini hanya dilakukan oleh wong edan yang punya rasa penasaran tinggi.
Lampu merah pertama yang saya catat adalah lampu merah depan Masjid Kampus Universitas Diponegoro, Semarang. Selanjutnya, lampu merah akan dijumpai sepanjang jalan menuju Solo, yakni Banyumanik, Ungaran, Bawen, Salatiga, Boyolali, Kartasura, Solo, dan Sukoharjo. Lampu merah terakhir yaitu lampu merah perempatan Jl. Ciu Bekonang, Sukoharjo.
Kegiatan penelitian ini lumayan menyenangkan sekaligus menantang. Kesulitannya ada pada pengumpulan data. Ketika hendak mencatat lampu merah beserta daerahnya kerap kali lampu hijau menyala mendahului, sehingga tidak sempat mencatat. Mau tidak mau harus dihafal dan kemudian dicatat di lampu merah berikutnya. Coba bayangkan jika lampu merah yang keburu menyala hijau sering dilalui, saya harus menghafal 3-4 lampu merah sekaligus. Hingga akhirnya saya memilih menepi sejenak hanya untuk mencatat, agar ingatan tidak segera hangus. Oleh karena itu, untuk kali pertama saya tidak mengharapkan lampu hijau cepat-cepat menyala.
Kesulitan itulah yang membuat saya gagal dalam beberapa kali percobaan. Percobaan pertama saya begitu bersemangat karena sangat penasaran berapa banyak lampu merah yang saya lewati sepanjang Semarang ke Solo. Namun, gravitasi mematahkan semangat ketika dengan sekehendak hati membuat kertas catatan saya raib tanpa jejak. Saya menyadari hal itu ketika sudah di Kartasura, saya rogoh saku jaket saya dan hasilnya nihil. Padahal perjalanan tinggal sebentar lagi. Pernah juga sekali waktu pulpen yang saya gunakan untuk mencatat, jatuh di lampu merah Salatiga. Siapa yang tak suntuk?
Baca halaman selanjutnya