Saya samar-samar mengingat kapan tepatnya televisi masuk ke kampung saya. Yang bisa saya pastikan adalah ketika ada satu atau dua parabola dibeli warga kampung (yang tentu saja kaya) lantas dibikin jadi tontonan berbayar pada hari-hari atau malam-malam tertentu. Terutama di hari Minggu.
Saya mengingat momen-momen itu dengan sangat lekat di kepala. Saat serial Wiro Sableng menjadi tontonan menarik yang tidak boleh dilewatkan barang sekali setiap hari Minggu. Ia memaksa kami yang masih sangat belia kala itu memutar otak mencari uang agar bisa bayar dan bisa menonton. Dan yang paling penting tentu saja agar tidak ketinggalan satu episode pun dari serial kocak itu. Lantaran kalau tidak, teman yang nonton dan cocotnya tidak bisa direm biasanya akan jadi tukang spoiler paling menyebalkan ke seluruh penjuru kampung kecil kami. Iya, saya menyebutnya tukang spoiler paling menyebalkan karena dua hal.
Pertama, Dari aksi spoilernya itu, kita yang tidak kebagian nonton pada hari itu jadi tidak bisa lagi menebak-nebak apa yang terjadi dengan lanjutan kisah Pendekar Sableng.
Kedua, tentu saja tidak seperti sekarang ini. Walau sebuah film atau serial sudah dibahas spoiler-nya di YouTube, kita tetap masih punya kesempatan untuk menontonnya sendiri. Sementara dulu, kita tidak bisa mencarinya di internet. Jadi, andaikata si tukang spoiler inu menipu sebuah jalan cerita dari salah satu serial, kita tidak tahu itu benar atau salah. Pasalnya, kita nggak bisa mengeceknya sendiri.
Pada era-era parabola itu, seingat saya, di kampung saya, semua tontonan menjadi tuntunan untuk semua hal. Dari mulai anak-anak kecil yang meniru gaya sekolah Dulce Maria, anak SMP yang meniru gaya para pemain di film Bidadari, pun orang dewasa terutama ibu-ibu dengan tontonan Tersanjung yang episodenya nggak habis-habis. Belum lagi film lucu-lucuan macam Tuyul & Mbak Yul, Jin & Jun, sampai program macam layar emas yang tayang menjelang tengah malam.
Film kolosal dan serial fiksi macam Wiro Sableng (Minggu), Misteri Gunung Merapi (malam Senin), Dendam Nyi Pelet (malam Selasa), Karmapala/Kisah BarataYudha (malam Rabu), Angling Dharma (malam Kamis), Pengantin Lembah Hantu (malam Jumat), dan serial-serial lainnya menjadi topik yang hangat besok harinya untuk kami diskusikan.
Yang paling jadi sorotan tentu saja jalan ceritanya. Mengomentari alurnya jika terkesan dipaksakan, bertindak macam sutradara yang sok-sokan ngatur ini harusnya tidak begini dan itu harusnya tidak begitu, sampai dengan adegan-adegan perkelahian yang selalu jadi bahan uji coba saat main di sekolah, lapangan, atau saat mandi di laut.
Perihal CGI-nya yang payahnya sundul langit? Haram bagi kami mempertanyakan hal itu. Bahkan di penghujung film Wiro Sableng yang biasanya ditampilkan adegan “bloopernya” tidak membuat kami percaya bahwa itu adalah bagian dari akting dan trik kamera. Kami percaya seratus persen bahwa Wiro Sableng bisa terbang dan berjalan di atas air. Dan itu mutlak adanya.
Dari sekian banyak tontonan yang saya tidak tahu pasti adakah peran KPI saat itu, saya mencatat tidak pernah terjadi kejadian serius yang terinspirasi dari tayangan televisi. Misal saja, perkelahian sampai menyebabkan nyawa menghilang atau gadis remaja yang bunting. Walaupun bisa dibilang semua tontonan kami didominasi oleh adegan kekerasan dan baku hantam. Juga adegan pacar-pacaran remaja dan sebangsanya.
Berbeda 180 derajat dengan kondisi saat ini. Ketika sensor menjadi senjata pamungkas Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), televisi seperti menjadi sangat rentan untuk disalahgunakan. Padahal banyak orang mengamini bahwa semua jenis tontonan di masa lalu lebih tidak layak untuk ditampilkan saat ini. Pun orang-orang zaman dahulu justru menjadikan tontonan itu sebagai tuntunan. Seharusnya malah alarm bahaya berbunyi bak kentungan saat ada maling tengah malam. Namun saya menduga, orang-orang di pos ronda (KPI) malah ketiduran, saat itu.
Saat ini, di Wakatobi, wabil khusus di kampung saya, perkembangan sinema (film, sinetron, serial, dll) memang tidak terlalu berbeda jauh dengan apa yang terjadi berpuluh-puluh tahun yang lalu. Sekarang, kita masih akan menemui ibu-ibu yang ngamuk-ngamuk dan teriak-teriak menyuruh sang bintang utama sebuah sinetron untuk melawan jika dijahati oleh antagonis. Pun dengan film yang mengangkat tema kehidupan percintaan anak-anak remaja yang bikin para penontonnya cie-cie yang kadang tidak jelas buat siapa.
Mungkin hanya film dan serial kolosal yang sepertinya tidak sesolid apa yang saya dan teman-teman saya tonton dulu di akhir dekade 90-an dan awal 2000-an. Ketakutan akan pembodohan kepada masyarakat akibat tontonan di televisi yang katanya tidak mendidik itu tidak pernah kami rasakan dari dulu. Bahkan sampai saat ini ketika ponakan-ponakan saya menjadi generasi penerus tidak pernah saya temui. Yang justru paling menakutkan bagi saya adalah perubahan remaja-remaja di Wakatobi terutama di kampung saya menjadi barbar dan bikin was-was luar biasa setelah menderasnya arus informasi di internet yang juga mulai bisa dinikmati seluruh lapisan masyarakat.
BACA JUGA Membandingkan Jalan di Jogja, Surabaya, dan Wakatobi. Mana yang Lebih Mulus? dan tulisan Taufik lainnya.