Setelah lulus kuliah jalur corona dan sempat mengalami quarter-life crisis, saya pun memantapkan diri untuk terjun ke dunia perjajanan tradisional. Berbekal pengalaman membantu ibu jualan jajan dan tabungan sisa kuliah, pada akhirnya saya pun mulai membuka stan jajanan tradisional di salah satu sudut jalan arah Pacet, Mojokerto.
Meski terbilang baru, agaknya dalam dua minggu terhitung sejak awal buka, saya sedikit banyak mengamati beberapa pelanggan, khususnya ibu-ibu. Memang selain ibu-ibu ada pula bapak-bapak, anak-anak, tua-muda lintas umur. Namun ibu-ibu memiliki keunikan tersendiri saat membeli, khususnya jajanan tradisional di lapak saya.
Ibu-ibu kritis
Ibu-ibu tipikal ini biasanya sangat kritis saat hendak membeli. Mereka akan mengamati dulu jajan yang akan mereka beli, menimbang-nimbang, membandingkan satu dengan yang lain. Dan seperti halnya orang kritis pada umumnya, mereka pasti menanyakan hal-ihwal terkait jajan yang sedang diamati tersebut.
Beberapa jajan mereka ambil diikuti pertanyaan-pertanyaan “ini harganya berapa, Mas?”, “bahannya dari apa?”, “buatnya di mana?”, “dengan siapa? Semalam berbuat apa?” Belum tuntas saya menjelaskan panjang lebar skripsi jajan tersebut, mereka lantas memotong penjelasan saya. “Nggak jadi wes, Mas. Saya ambil ini saja” sambil mengembalikan beberapa jajan yang mereka pertanyakan kebenarannya sebelumnya.
Dengan senyum yang sedikit memaksa, saya pun membungkus dua biji jajan yang disodorkannya. “Mending njenengan alih profesi jadi dosen penguji aja, Bu” Batin saya.
Ibu-ibu negosiator
Tipe paling umum di pasaran, yakni mereka yang pinginnya cuma satu: memperoleh harga terendah. Memang tipikal ini berlaku secara umum. Namun, bedanya ibu-ibu bisa kelewat barbar saat menjalankan aksinya. Mereka bisa sangat militan hanya untuk sekedar mendapatkan harga termurah.
Setelah tawar-menawar tidak menemui titik temu, mereka bisa tiba-tiba memasukkan jajan yang dipilih ke dalam kantong plastik dan menyerahkan (dengan sedikit memaksa) uang dengan nominal yang mereka sebutkan sebelumnya. Sambil berpaling dari lapak saya, mereka pasti mengulang-ulang kata yang hampir sama “Pas ya, Mas.”
Fyi, ibu-ibu tipe satu ini biasanya minta kantong plastik dulu sebelum membeli.
Ibu-ibu minta bonus
Ibu-ibu (juga mbak-mbak) tipikal ini biasanya tidak terlalu cerewet di awal kedatangannya di lapak jajan saya. Palingan mereka hanya tanya seputar harga atau nama-nama jenis jajan yang ditunjuk. Atau kalau nggak ya pertanyaan ringan macam “enak nggak, Mas, yang ini”, “masih baru ya, Mas”, “bisa pesan kan, Mas”.
Namun, setelah jajan yang dibeli dibayar, mereka tidak langsung beranjak. Mbok ya dikasih bonus, Mas” kalimat yang biasanya muncul menyusul. Ketika mereka beli banyak, saya pun memberikan bonus satu atau dua jajan dengan jenis yang lain. Itung-itung buat promosi lah. Tapi, kalau mereka belinya cuma dua biji ya mohon maaf. Saya bukan yang punya Starbucks yang bisa buy one get one.
Ibu-ibu tanpa ba bi bu
Ibu-ibu (dan mbak-mbak) tipikal ini biasanya jarang sekali berbicara ngalor-ngidul dengan saya saat membeli. Mereka biasanya hanya tanya harga, ambil beberapa, dan langsung bayar. Sesekali saya memancing obrolan ringan kepada beberapa dari mereka yang hampir rutin mampir ke lapak saya tiap paginya. Itu pun dijawab secukupnya dan langsung beranjak. Dan rata-rata dari mereka adalah pegawai pabrik.
Mungkin mereka lagi buru-buru atau sadar akan posisi saya sebagai penjual yang juga punya porsi keuntungan tersendiri.
Ibu-ibu yang beli sekaligus menyemangati
Sebagai penjual yang terbilang baru, semangat adalah salah satu bahan bakar psikis saya agar bisa konsisten dalam merintis usaha ini. Beberapa ibu-ibu yang beli jajan di lapak saya pun sepertinya menyadari akan hal ini.
Seperti biasa, mereka akan tanya harga, bisa pesan atau tidak, buka jam sampai jam berapa. Obrolan dengan mereka pun bisa agak panjang sembari mereka memilih jajan yang akan mereka beli. Di akhir jual-beli pun mereka biasanya menyelipkan sedikit nasihat dan semangat. Biasanya ibu-ibu ini adalah blio-blio yang rumahnya dekat dengan lapak jualan saya. Mereka yang mengerti akan keadaan usaha saya.
Ya begitulah, meski terkadang menjengkelkan ya apa boleh kata. Pembeli adalah raja kata pepatah Kirigakure. Meski begitu, saya akan tetap melayani dengan ramah dan bersahabat. Seperti motto trirasa yang saya junjung: nikmat, hemat, dan bersahabat. Eh malah promo wkwkwk~
BACA JUGA Fans Arsenal dengan Militansi Ormas Tukang Gebuk dan Kemunculan Fabrizio Romano dan tulisan EmArif lainnya.