Mereka tampil dengan kemeja rapi, celana halus, dan berikat pinggang. Kadang bersepatu, kadang pula memakai sandal. Wajah yang terlihat bersih dengan gaya sisiran klimis. Sekilas mereka terlihat seperti bapak-bapak kantoran.
Yang membedakan, mereka menentang gitar, atau gitar kecil 3 senar yang disebut kentrung. Mereka juga wira wiri di lampu merah atau berkeliling dari satu rumah ke rumah lain. Mereka bekerja sebagai pengamen.
Mungkin kita memandang pengamen sebagai sosok khas jalanan. Kumal, bau, dan terkesan urakan. Namun, tidak dengan beberapa pengamen. Beberapa pengamen berumur ini tampil sebagai sosok necis yang jauh dari stigma pengamen.
Mereka menyebut pekerjaan mengamen sebagai jaker. Jaker sebenarnya adalah kata “kerja” yang dibalik. Dari istilah ini saja, para pengamen necis ini menempatkan pekerjaan mereka dengan luhur. Mereka menolak stigma negatif pengamen sebagai orang jalanan yang tidak beradab. Lantaran mereka memandang pekerjaan mengamen lebih dari sekadar jalan cari uang saat kepepet. Mengamen adalah cara hidup.
Lantaran menjadi passion, maka mereka mengamen dengan totalitas. Umumnya mereka akan memainkan lagu hingga selesai, meskipun sudah diberi uang. Mereka juga senang jika mendapat request lagu. Sering kali saya dan teman-teman request lagu-lagu Iwan Fals atau Panbers pada pengamen jaker ini.
Ada dua tokoh jaker legendaris di Jogja. Pertama adalah Peter Lennon. Om-om dengan tampilan khas The Beatles ini rajin mengamen di sepanjang Jalan Kaliurang. Tentu dengan lagu wajib seperti “Hey Jude” dan “Let It Be”. Yang kedua adalah almarhum Sujud Kendang Sutrisno. Tokoh yang dijuluki pengamen agung ini terkenal dengan tabuhan kendang serta lirik lagu nakal karangannya sendiri.
Latar belakang jaker juga beragam. Ada yang mengamen karena itu pekerjaan mereka. Ada pula yang mengamen karena ingin saja. Nah, yang kedua ini unik. Beberapa sudah hidup cukup mapan. Namun, ini tidak menghalangi mereka untuk tetap panas-panasan demi tetap mengamen.
Saya sering bertemu jaker ketika ngaso di angkringan atau burjonan. Setiap ada kesempatan, saya coba sapa mereka, “Habis jaker, Pak?” Biasanya mereka akan menyahut ramah jika paham dengan kode jaker ini.
Akan tetapi, pertemuan saya dengan jaker lebih intim. Pengamen jaker yang saya temui pertama kali adalah eyang saya. Blio bukanlah tunawisma atau terjebak kemiskinan. Eyang saya tetap memiliki pemasukan dari bisnis batik. Eyang putri saya juga seorang guru dan PNS. Tapi, kok, ya blio masih mau panas-panasan di jalan?
Tentu ini membangkitkan penasaran saya. Apa yang menjadi alasan seseorang untuk menjadi pengamen. Bahkan ia menjalani kerjanya yang mungkin lebih melelahkan dari pekerjaan utamanya. Beberapa kali saya bertanya pada mereka, terutama ketika ngobrol sambil wedangan di angkringan.
Beberapa yang saya tanya memang menjadikan mengamen sebagai pencaharian utama. Namun, bukan berarti mereka sekadar mengamen. Mereka menolak untuk berpakaian lusuh yang membuat iba. Di mata mereka, mengamen tetaplah sebuah pekerjaan. Dan beranda necis adalah cara mereka menghargai sebuah pekerjaan.
Mereka juga menolak cara mengamen yang sekadar cari uang. Mereka tetap ingin menghibur orang lain dengan imbalan. Kecuali mengamen di lampu merah, mereka akan selalu menyelesaikan lagu yang dinyanyikan. Tidak ada alasan untuk memotong lagu. “Jika kerja itu harus tenanan, Mas,” ujar salah satu jaker yang saya temui di angkringan dekat Stasiun Lempuyangan.
Ada juga jaker lain yang biasa mengamen di Seturan, Jogja. Sayang sekali, obrolan seru tahun lalu ini membuat saya lupa bertanya nama blio. Jaker yang rambutnya dikucir ini bukan tunawisma. Ia bukan pula orang dengan kondisi ekonomi ngenes. Sebenarnya, blio sedang menikmati masa tua, ketika anak-anaknya juga sudah berkeluarga dan berkecukupan semua. Akan tetapi, blio tetap mengamen dengan sungguh-sungguh.
“Saya suka nyanyi, Mas. Tapi, muka jelek seperti saya tidak laku nyanyi di rumah makan,” ujar blio sambil terkekeh. Pengamen klimis ini mengatakan bahwa anak-anaknya sudah melarang blio untuk mengamen. Namun, ia tetap saja ngeyel, meskipun harus sembunyi-sembunyi saat mengamen.
Penampilan pengamen satu ini juga sangat mbois. Kemeja bowling dengan dua kancing terbatas dibuka. Celana halus diikat dengan sabuk kulit. Kacamata hitam digantung seperti dasi. Walah, saya pun pengen tampil necis seperti bapak yang berusia 50-an tahun ini.
“Jaker seperti saya lebih butuh pendengar daripada uang. Lha nek saya nyanyi di rumah, ibune (istri) malah nggak suka, jhe,” imbuh blio. Ketika saya tanya pendapatan blio, hanya dijawab, “Cukup buat jajan kayak gini, Mas. Kanggo duit lanang (untuk uang laki-laki).” Istilah uang laki-laki adalah uang simpanan untuk memuaskan hobi laki-laki. Misal burung kicau, koleksi akik, atau ngopi cantik.
Makin lama saya ngobrol dengan blio, makin jauh juga saya memahami eyang saya. Dulu sebelum stroke, eyang saya mengutarakan keinginan untuk iseng-iseng mengamen kembali. Tentu keluarga saya menolak mentah-mentah. Waktu itu saya cuma berpendapat, “Yang penting halal dan tidak merusak badan.”
Ternyata, mengamen punya nilai lebih bagi beberapa orang. Pengamen jaker adalah suara merdu akar rumput yang penuh semangat hidup. Dan sampai saat ini, saya lebih bangga mengenal eyang saya sebagai pensiunan jaker daripada seorang bangsawan.
BACA JUGA Jenis-jenis Pengamen di Sekitar Kita dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.