Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Hiburan Musik

Mendengarkan Musik Mainstream Tanpa Prasangka

Hanif Amin oleh Hanif Amin
17 Mei 2019
A A
Mohon Dimengerti, Indie Itu Bukan Aliran Musik! terminal mojok.co

Mohon Dimengerti, Indie Itu Bukan Aliran Musik! terminal mojok.co

Share on FacebookShare on Twitter

Saya adalah bagian dari generasi yang lahir dan tumbuh dan kecanduan dengan internet. Pertemuan pertama saya dengan teknologi penanda abad 21 ini sendiri dimulai melalui warnet.

Sejak saat itu, perkecimpungan saya dengan internet hampir tak pernah terputus. Mulai dari era warnet sampai sekarang, era ketika ponsel pintar sudah jadi kebutuhan tiap orang. Mulai dari era Facebook, bercakap-cakap dengan orang asing melalui chat box website yang tidak jelas, sampai era Instagram sekarang ini.

Sampai sekarang, saya sudah berselancar selama 9 tahun di internet. Waktu yang cukup untuk melihat kembali jejak-jejak digital yang berserakan beberapa tahun lalu (yang bajingannya seringkali tidak bisa dihapus karena satu dan lain hal) kemudian merasakan malu luar biasa.

Tapi salah satu kontribusi paling besar internet adalah bagaimana ia bisa mengacak-acak selera saya terhadap banyak hal, salah satunya musik. Internet memandu saya untuk tersesat ke belantara musik “jadul” dan “indie” selama bertahun-tahun.

Internet berhasil mengubah saya dari yang awalnya bisa joget-joget mendengar nyanyian Ian Kasela dan berjuang keras menghafal lirik lagu Peterpan menjadi orang yang kaku dan menutup telinga begitu mendengar lagu pop Indonesia apa saja.

Jangan salah, musik jadul dan indie bagus-bagus, kok. Keren sekali, malah. Hanya saja kalau tidak hati-hati, kamu bisa dengan mudah tercuci otak menjadi penikmat musik brengsek yang kerjanya adalah mencari musik era 2000an, 90an, 80an 70an atau 60an di Youtube sambil berkomentar seperti, “Ini nih musik yang asli. Nggak kayak jaman sekarang, buatnya pake laptop semua. Kayak tai!”

Jangan lupa, musik mainstream juga harus ditai-taikan karena, ya, mainstream : monoton, terlalu biasa, cuma cinta-cintaan. Mana idealismenya? Mana kritik sosialnya?

Harus dicatat juga kalau musik mainstream yang masuk kategori “tai” adalah musik mainstream jaman sekarang. Kalau yang generasi 2000an kebawah ya keren. Bukan apa-apa, tapi seperti yang saya katakan tadi : kalau jaman dulu musiknya dibuat pake hati. Tidak seperti sekarang yang pakai laptop.

Baca Juga:

Iklan Indomilk Gemas 2022: Iklan Cerdas yang Tampar Masyarakat Indonesia

Iklan Kritik Sosial Terbaik Jatuh kepada Sampoerna A Mild

Orang-orang paling sial dari para penikmat musik brengsek jenis ini adalah orang-orang seperti saya : remaja-remaja yang masih mencari tempat dan identitas. Saya masih paham ketika ada orang berusia 20-an keatas yang berkomentar “Ah, jaman dulu musiknya keren, masa-masa yang menyenangkan” ketika mendengar lagu-lagu jadul.

Beban pekerjaan sepertinya membuat kepala mereka mau meledak dan cara terbaik untuk mendinginkannya adalah mengingat-ingat masa kecil. Dan salah satu cara untuk mengingat masa kecil adalah melalui lagu-lagu pada era itu.

Tapi kalau yang seperti saya? Ya cuma nostalgia semu. Saya tidak pernah ada di era ketika Dewa 19 atau Slank diputar tiap hari di radio tetangga. Yang menjadi bahan bakar saya untuk jadi cukup berani untuk bilang “jaman dulu musiknya keren dan sekarang tai semua” ya cuma ketidaktahuan, ketidakmautahuan, dan keinginan supaya kelihatan unik.

Hal yang sama juga bisa diaplikasikan ketika saya mendengar musik indie. Yang juga lucu adalah seringkali, tolak ukur kenapa musik ini indie atau musik itu indie bagi saya bukan soal bagaimana cara mereka membuat musik, tapi dari jumlah view di akun Youtube mereka. Kalau dibawah 2 juta berarti indie. Apalagi kalau dibawah 100 ribu, lebih mantap lagi itu.

Jadi begitulah, saya pernah jadi orang kampungan macam tadi dan akhir-akhir ini berusaha lepas dari pola pikir seperti itu. Bukan apa-apa, tapi saya sebenarnya juga penasaran untuk menyelami lagu-lagu cinta murahan yang tidak berisi itu, mencari tahu dimana enaknya.

Sekali lagi, menurut saya jadi penikmat musik jadul dan indie sama sekali tidak ada salahnya. Banyak pengalaman mendengarkan luar biasa yang saya dapat dari mendengarkan musik-musik ini.

Bahkan di banyak hal, musik-musik jadul dan indie sangat menolong saya dalam membentuk jati diri. Juga memberi saya keberanian untuk jadi berbeda.

Hanya saja ya itu tadi, menikmati musik akan jadi susah kalau kamu sudah berevolusi dari sekadar “penikmat musik jadul dan indie” menjadi “penikmat musik brengsek yang cerewet”.

Perlahan-lahan, mendengarkan musik mainstream pun jadi susah karena pikiran selalu dipenuhi gengsi dan prasangka. Belum apa-apa, sudah mencap musik ini dan itu sampah.

Saya pernah ada di fase ketika menikmati musik jadi berat dan sedikit menyiksa karena harus mencari sesuatu yang “kompleks”, “unik”, “berlirik puitis”, atau “bertema berat”. Lebih bagus lagi kalau berisi” kritik akan situasi sosial dan politik”.

Akhirnya, lama-kelamaan kejenuhan datang juga dan memaksa saya untuk bertanya : apakah musik yang baik harus yang berat dan kompleks? Tidak bisakah saya menikmati musik yang sederhana-sederhana saja? Lalu, memangnya yang kompleks dan sederhana itu seperti apa? Apakah musik harus mengandung gagasan? Tidak bisakah ia digunakan hanya untuk sekadar membuat kita menari? Apakah semua musik mainstream itu monoton, sederhana, dan jelek?

Pertanyaan-pertanyaan ini membuat saya meluangkan sedikit waktu untuk mendengarkan dengan seksama dua artis pop internasional : Ariana Grande dan Justin Bieber. Ditambah sedikit comot sana-sini dari beberapa artis terkenal lain.

Hasilnya? Saya ternyata suka dengan Ariana Grande, lagu-lagunya enak. Meski ada beberapa yang tak cocok di telinga.
Justin Bieber? Beberapa lagunya membuat saya (sedikit) memahami kenapa ia bisa didengarkan (dan dibenci) oleh jutaan orang.

Eksperimen kecil-kecilan tadi sedikit-banyak mendewasakan saya secara pribadi sebagai penikmat musik. Ternyata kalau prasangka disingkirkan, ekspektasi disimpan di laci, dan telinga mau sedikit berusaha untuk mencari “sudut dengar” yang enak, lagu-lagu yang awalnya terkesan jelek bisa jadi bagus atau setidak-tidaknya punya satu atau dua aspek menarik.

Banyak juga sih yang membuat kuping saya sakit. Tapi itu harga yang murah untuk jadi orang yang lebih santai dan membuat pengalaman mendengarkan musik jadi lebih menyenangkan.

Terakhir, saya tidak begitu yakin kalau golongan penikmat musik brengsek jumlahnya banyak. Bahkan barangkali ini terjadi hanya pada saya saja. Kalaupun ada, mereka pun sepertinya tetap senang-senang saja mendengarkan musik kesukaannya (yang tentu saja merupakan hal yang bagus sekali).

Tapi kalau kamu sedang ada dalam fase ketika mendengarkan musik jadi sedikit melelahkan, mungkin bisa mencoba melakukan eksperimen kecil untuk mendengar musik-musik yang sebelumnya terasa jelek dalam pikiran.

Terakhir diperbarui pada 5 Oktober 2021 oleh

Tags: IndieKritik SosialMusik Mainstream
Hanif Amin

Hanif Amin

Manusia biasa, menulis juga di mesintinta.wordpress.com.

ArtikelTerkait

Soal Selera Musik, Kita Adalah Korban Dikotomi Media

Soal Selera Musik, Kita Adalah Korban Dikotomi Media

27 Februari 2020
terburu-buru

Kalau Terburu-buru, Kenapa Nggak Berangkat Kemarin Saja?

22 Oktober 2019
tukang pangkas rambut

Tukang Pangkas Rambut Berpenghasilan 45 Juta Tiap Bulan: Makanya Jangan Suka Menyepelekan Pekerjaan Orang

8 Agustus 2019
Pengguna Knalpot Brong Adalah Manusia yang Diberkati Seribu Doa terminal mojok.co

Menyemarakkan Takbiran Keliling, Tetapi Enggan Menggemakan Takbir di Masjid Kampung Sendiri

6 Juni 2019
entah apa

Lagu Entah Apa yang Merasuki “Demokrasi” Kita dan Efek Suara Gagak

24 September 2019
mendadak tahu bulat

Selain Tahu Bulat, Apakah yang Mendadak Itu Tetap Enak?

31 Mei 2019
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

Dosen Bukan Dewa, tapi Cuma di Indonesia Mereka Disembah

4 Hal yang Perlu Kalian Ketahui Sebelum Bercita-cita Menjadi Dosen (dan Menyesal)

17 Desember 2025
Tombol Penyeberangan UIN Jakarta: Fitur Uji Nyali yang Bikin Mahasiswa Merasa Berdosa

Tombol Penyeberangan UIN Jakarta: Fitur Uji Nyali yang Bikin Mahasiswa Merasa Berdosa

16 Desember 2025
Jalur Wlingi-Karangkates, Penghubung Blitar dan Malang yang Indah tapi Mengancam Nyawa Pengguna Jalan

Jalur Wlingi-Karangkates, Penghubung Blitar dan Malang yang Indah tapi Mengancam Nyawa Pengguna Jalan

17 Desember 2025
3 Alasan Kenapa Kampus Tidak Boleh Pelit Memberikan Jatah Absen ke Mahasiswa

3 Alasan Kenapa Kampus Tidak Boleh Pelit Memberikan Jatah Absen ke Mahasiswa

16 Desember 2025
Banyuwangi: Ditinggal Ngangeni, Ditunggui Bikin Sakit Hati

Banyuwangi: Ditinggal Ngangeni, Ditunggui Bikin Sakit Hati

20 Desember 2025
Mojokerto, Opsi Kota Slow Living yang Namanya Belum Sekencang Malang, tapi Ternyata Banyak Titik Nyamannya

Mojokerto, Opsi Kota Slow Living yang Namanya Belum Sekencang Malang, tapi Ternyata Banyak Titik Nyamannya

17 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=SiVxBil0vOI

Liputan dan Esai

  • Jogja Mulai Macet, Mari Kita Mulai Menyalahkan 7 Juta Wisatawan yang Datang Berlibur padahal Dosa Ada di Tangan Pemerintah
  • 10 Perempuan Inspiratif Semarang yang Beri Kontribusi dan Dampak Nyata, Generasi ke-4 Sido Muncul hingga Penari Tradisional Tertua
  • Kolaboraya Bukan Sekadar Kenduri: Ia Pandora, Lentera, dan Pesan Krusial Warga Sipil Tanpa Ndakik-ndakik
  • Upaya “Mengadopsi” Sarang-Sarang Sang Garuda di Hutan Pulau Jawa
  • Menguatkan Pembinaan Pencak Silat di Semarang, Karena Olahraga Ini Bisa Harumkan Indonesia di Kancah Internasional
  • Dianggap Aib Keluarga karena Jadi Sarjana Nganggur Selama 5 Tahun di Desa, padahal Sibuk Jadi Penulis

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.