“Permisi, selamat sore,” kata seorang perempuan paruh baya.
“Maaf tidak terima sumbangan,” jawab seorang Ibu.
“Saya sudah izin Pak RT dan…,” tak lama kemudian pintu ditutup dengan kencang, mengakhiri percakapan yang belum selesai tersebut.
Ilustrasi di atas bukanlah isapan jempol belaka. Keadaan seperti itulah yang sering dialami oleh para pejuang pencari data di lapangan. Mereka pun tak boleh menyerah sama sekali, perjalanan harus tetap dilanjutkan demi “memotret” data yang bertebaran di masyarakat. Konteks dari tulisan ini adalah petugas pencari data milik instansi pemerintah.
Lantas siapakah para pejuang pencari data tersebut? Para pejuang pencari data tersebut sebagian besar didominasi oleh perempuan. Mulai dari yang masih lajang hingga sudah menyandang ibu rumah tangga bahkan sudah memiliki cucu. Tentunya pemilihan perempuan sebagai petugas survei di lapangan sangatlah beralasan. Perempuan memiliki ketelitian, keuletan dan kesabaran yang luar biasa bila dibandingkan laki-laki.
Gimana nggak harus memiliki ‘usus panjang’ alias sabar tingkat dewa. Di lapangan itu, para petugas itu harus berjibaku dengan responden dengan watak dan tingkah laku yang berbeda satu sama lain. Seorang petugas haruslah menyelesaikan tugasnya, entah dia harus mendata dari orang yang kayanya tajir melintir hingga yang di bawah garis kemiskinan. Sehingga keadaan seperti inilah yang kadang-kadang membuat dilematis. Persis seperti pepatah Jawa, urip iku ming wang sinawang.
Bagi saya mereka adalah perempuan hebat yang layak diapresiasi, perjuangannya sangat luar biasa. Mereka harus mengatur strategi dengan ciamik. Membagi waktu antara keluarga dengan pekerjaan. Bayangkan saja, di saat anak mereka sedang menempuh ujian di sekolah, mereka tetap amanah menjalankan tugasnya. Belum lagi kalau suaminya juga malah ikut-ikutan rewel. Semakin runyam kan?
Sesampai di lapangan mereka pun harus kembali mengatur taktik yang lain. Demi munculnya sebuah angka kemiskinan dan angka lainnya, para perempuan itu harus menjaga mood responden. Setidaknya wawancara yang dilakukan memakan waktu 2 jam, itu baru batas minimal. Bahkan bisa lebih. Bisa dibayangkan kan betapa lamanya? Belum lagi mereka harus berpacu dengan waktu, jika musim hujan tiba. Mereka akan berusaha melindungi dokumen dengan segala cara agar tidak basah.
Ya kalau dapat responden yang kooperatif sih fine-fine aja. Malah biasanya dijamu segelas teh hangat dan makanan ringan. Kalo lagi apes ya bisa dapat responden yang bisa bikin kuping merah dan kepala berasap. Semacam ilustrasi di ataslah, bibir belum selesai berucap. Pintu pun ditutup tanpa kompromi. Kan ambyar~
Jadi jika dulu ada yang pernah membandingkan antara gorengan dengan angka kemiskinan tampaknya perlu sesekali ikut ke lapangan bersama para perempuan hebat tersebut. Biar merasakan bagaimana sih mencari angka kemiskinan itu. Ya memang di dalam salah satu variabelnya ada gorengan, tapi bukan berarti gorengan serta merta menjadi tolok ukur angka kemiskinan.
Angka kemiskinan tentu saja tidak diukur menggunakan gorengan ya! Masih banyak variabel lain yang digunakan sebagai penentu kemiskinan. Kalau gorengan digunakan sebagai variabel kemiskinan maka logika paling dasarnya adalah semakin banyak orang makan gorengan semakin kaya? Kan ya nggak gitu juga. Semoga anda paham yhaaa~
Apakah setelah selesai dari lapangan pekerjaan sudah selesai? Tidak semudah itu, Ferguso! Mereka harus segera merapikan data yang ada di dokumen tersebut. Data tersebut tidak boleh terlalu lama dibiarkan mengendap begitu saja. Semakin cepat dikumpulkan maka akan semakin baik.
Proses untuk menentukan angka kemiskinan tidaklah mudah. Ya persis kalau kalian mau ngurusi ke jenjang perkawinan. Lama dan ribet dengan bonus menguras emosi. Selain itu, ketika angka kemiskinan tersebut dirilis, mereka walaupun secara tidak langsung juga masih mendapatkan nyinyiran yang tak berkesudahan.
Tulisan ini sebenarnya memang nggak penting dibaca kok. Tetapi saya hanya ingin sedikit berpesan saja. Siapa tahu saat ini kalian sedang menyusun skripsi atau tulisan apapun yang membutuhkan data. Ada baiknya untuk mulai sedikit tergugah dan sadar ternyata mengumpulkan data itu tidaklah mudah. Butuh pengorbanan yang luar biasa. Apa sih salahnya meluangkan sedikit waktu untuk mereka? Toh mereka juga sama seperti kita kan manusia? Dan pastinya mencari nafkah secara halal. (*)