Kita semua hidup dengan nilai, entah disadari atau tidak. Nilai-nilai ini bisa datang dari hukum, etika, agama, dan standar sosial yang ada di dalam masyarakat. Kalau tidak ada nilai, ya, orang mau royal rumble sampai mati ala-ala smackdown di tengah jalan pun tak akan pernah jadi soal.
Nilai-nilai seperti jangan membunuh orang (nanti dipenjara), hormati yang tua (supaya tidak kena azab), jangan nipu orang (nanti masuk neraka), dan lain sebagainya adalah sesuatu yang menjadi semacam kompas kita dalam berhubungan dengan orang lain.
Nilai bisa berasal mulai dari individu, keluarga, agama, sampai ke level negara. Perbedaan dalam penganutan nilai pun tidak bisa dihindari karena nilai-nilai berasal dari manusia yang persepsinya tak lepas dari pengaruh luar seperti wilayah, iklim, tantangan hidup, dan sifat bawaan lahir dari gen masing-masing.
Di suku-suku pedalaman pada daerah tropis, misalnya, menyaksikan perempuan bertelanjang dada adalah hal yang biasa. Karena pakaian-pakaian minim itulah yang membuat mereka nyaman menembus hutan-hutan lebat. Bayangkan hal yang sama dilakukan di tengah-tengah perkotaan di Indonesia, pasti akan dikira orang gila.
Tapi namanya manusia, kadang-kadang nilai yang dibuat tidak selalu harus sejalan dengan kebutuhan fisik mereka. Pada gilirannya, nilai bisa dimanipulasi : entah untuk senang-senang belaka atau untuk perkara yang lebih serius seperti melanggengkan kekuasaan. Akhirnya muncul nilai yang kalau dipikir-dipikir lagi sebenarnya begitu absurd.
Ambil contoh paling gampang : pelarangan makan dengan tangan kiri. Nilai yang sudah dikecap oleh sebagian besar dari kita sejak kecil. Pokoknya tangan kiri itu buat cebok dan yang kanan buat makan. Tapi kalau dipikir lagi, kenapa ya? Setahu saya, waktu lahir tangan kiri kita tidak kena lempar tahi atau barang-barang aneh lainnya, jadi sebenarnya tidak kalah bersih dari tangan yang kanan.
Kalau ditanya, paling-paling jawaban yang muncul cuma “lah memang gitu!” atau “sudah dari sananya” atau “jangan banyak tanya, deh!”
Nilai-nilai yang “sudah muncul dari sananya” ini pun mengambil tempat juga di kehidupan kita. Dalam skala remeh ia terwujud dalam pelarangan orang tua pada anaknya untuk makan pakai tangan kiri. Kalau mau di tarik-tarik lagi, efek buruk dari pelarangan ini paling cuma pergunjingan siswa-siswa SD soal minoritas anak-anak kidal yang kalau makan lebih suka pakai tangan kiri.
Tapi pada skala yang lebih besar, efek buruk “dari sananya” ini bisa jadi begitu mengerikan. Coba pikirkan, ada berapa sih nilai-nilai dalam hidup kita yang kita anut begitu lama yang “sudah dari sananya” dan tidak pernah dipertanyakan? Banyak, bung!
Agama, misalnya, harus diakui bahwa sebagian besar dari kita menerima agama dari orang tua kita, bukan dari hasil pemikiran sendiri. Patriotisme dan Pancasila juga, kita menerima ini dari negara melalui sekolah, bukan hasil pemikiran sendiri.
Tentu saja awal-nya wajar bagi kita untuk disuapi soal nilai-nilai. Tapi yang jadi masalah adalah ketika disaat yang sama kita juga tidak diberikan kapasitas untuk menggugat dan menanyakan nilai-nilai tadi.
Bahkan sebelum punya kapasitas pun, pikiran kita sudah lebih dahulu dibatasi dengan segala macam hal-hal tabu yang disebut pun tak boleh. Mau nanya soal seks dan kondom? Tidak boleh! Soal agama dan Tuhan? Apalagi itu! Mmm… Soal Pancasila gimana? Bisa dicap tidak nasionalis, dong.
Kita jadi terlalu takut untuk bertanya. Dan nilai-nilai menjelma menjadi simbol suci yang tidak boleh dibahas sedikitpun kecuali soal segala kelebihan-kelebihannya.
Tapi jangan salah, saya tak pernah punya masalah dengan segala simbol atau kepercayaan yang dianggap suci. Bukankah kita semua selalu punya satu kepercayaan dalam hidup? Entah itu agama, ideologi atau satu sosok idola. Yang jadi pertanyaan besarnya adalah : sampai pada titik mana kepercayaan ini mengambil tempat pada kehidupan bermasyarakat?
Ada orang menyembah Maradona, misalnya. Dalam pandangan saya mereka itu ya goblok. Tapi tak jadi masalah karena si penyembah Maradona ini tidak pernah memaksa saya untuk mengikuti ajaran mereka. Kecuali kalau si penyembah Maradona ini ingin memukuli saya dan orang lain yang tidak suka dengan Maradona, pada titik inilah nilai-nilai “yang dari sananya” itu menjadi masalah.
Sementara itu, – kalau mau mengintip sedikit pada realita sehari-hari – terjadi pemaksaan, persekusi, penindasan dan penghukuman atas dasar nilai-nilai yang bahkan tidak pernah dipertanyakan. Nilai-nilai yang diterima saja secara bulat-bulat.
Orang-orang berani berteriak “NKRI Harga Mati!” atau “Pancasila Harga Mati!” untuk jadi pembenaran dalam menghukum mereka yang mempertanyakan Pancasila dan ingin keluar dari republik. Tapi apakah pernah muncul pertanyaan : kenapa mereka ingin keluar? Penderitaan apa yang mereka alami?
Ada juga sebagian dari mereka-mereka yang dianggap berkeyakinan “aneh” diusir dari tempatnya. Banyak orang tidak keberatan dengan segala penindasan itu karena Tuhan mereka dianggap berbeda. Maka sesat. Tapi sekelebat rasa kasihan atas dasar kesamaan sebagai manusia tak pernah muncul.
Menyedihkan melihat hati akal sehat dikubur dalam-dalam hanya demi suatu nilai yang bahkan tidak pernah dipikirkan matang-matang. Akhirnya, yang ada cuma fanatisme belaka.
Di tahun politik seperti sekarang ini, tentu saja kadar fanatisme dan ketololannya makin berlipat-lipat. Nilai-nilai yang dari awal memang tak lebih dari sekedar dogma direduksi lagi untuk dilekatkan pada 2 sosok pilihan, kemudian dieksploitasi secara besar-besaran hingga melahirkan 2 kutub pendukung yang menjadi begitu ekstrim satu sama lain.
Kita perlu menyingkirkan ketakutan untuk bertanya kembali soal nilai-nilai yang selama ini kita pegang begitu teguh tanpa kecurigaan. Mengapa begini dan mengapa begitu. Sehingga berbagai ketegangan yang tak perlu bisa berkurang sedikit demi sedikit.