Hal yang sama nggak pentingnya dengan memperdebatkan bubur diaduk dan bubur nggak diaduk adalah memperdebatkan pembalut bekas yang perlu dicuci atau nggak. Di saat hampir 100 tahunan lalu Kartini sudah menggaungkan emansipasi wanita, eh kok di zaman modern ini masih ada oknum wanita yang ngotot-ngototan perkara penanganan pembalut bekas di media sosial.
“Membuang pembalut tanpa dicuci itu jorok! Kasihan tukang sampahnya!” ucap kubu yang mencuci sebelum dibuang.
“Kok nggak dicuci dulu? Kurang edukasi, nih!”
Saya pribadi tim yang selalu mencuci pembalut bekas pakai sebelum dibuang. Namun, saya nggak peduli ketika ada teman atau kerabat memiliki kebiasaan langsung membuang pembalut bekas pakai mereka. Saya nggak pernah sekali pun menasihati atau menyuruh mereka untuk mencuci terlebih dulu sebelum membuangnya, toh kalau saya sendiri disuruh langsung buang juga nggak bakal mau.
Sebenarnya cukup aneh kalau hal semacam ini diperdebatkan. Sebab menurut saya, perihal kebiasaan, keyakinan, dan kepercayaan itu merupakan ranah personal. Sehingga jadi percuma kalau kita memasukkan paham yang kita percayai pada orang lain yang jelas-jelas sudah memiliki kepercayaan berbeda.
Bagi sebagian orang, mereka percaya bahwa pembalut bekas itu sebaiknya dicuci terlebih dulu sebelum dibuang. Ada yang bilang kalau nggak dicuci bakal menyebabkan sakit perut ketika haid karena diganggu makhluk halus. Namun bagi orang yang nggak percaya, kram perut ketika haid itu dianggap wajar, ya soalnya lapisan dinding rahim luruh.
Ada juga yang percaya bahwa mencuci pembalut sebelum dibuang ini bukan perkara mitos atau makhluk halus, melainkan lebih pada perkara kebersihan. Kaum ini berpikir alangkah baiknya kalau mereka membuang pembalut dalam keadaan yang sudah nggak ada bekas darahnya.
Bagi mereka yang enggan mencuci pembalut bekas alias tim langsung buang, mereka merasa jadi orang yang taat dan patuh pada cara pakai pembalut. Seperti yang kita tahu, pada zaman dulu, perempuan selalu mencuci pembalut yang terbuat dari kain. Namun di zaman sekarang, teknologi sudah menghadirkan kemudahan bagi kita untuk menggunakan pembalut sekali pakai yang nggak perlu dicuci terlebih dulu setelah dipakai. Jadi bisa dibilang, mereka yang langsung membuang pembalut tanpa dicuci ini mengikuti panduan yang ada. Lalu bagaimana orang lain bisa dengan entengnya mengatakan kalau mereka kurang edukasi?
Banyak orang beranggapan pembalut yang langsung dibuang itu bikin darah haid ke mana-mana dan akan mengeluarkan bau tak sedap. Saya nggak tahu pemikiran kayak gini kok bisa muncul. Perlu dipahami bahwa pembalut sudah dirancang sedemikian rupa untuk menyerap darah haid, sehingga jika dibiarkan beberapa saat kondisinya bakalan kering. Selain itu, pembalut yang nggak dicuci ini jika dalam kondisi kering justru nggak mengeluarkan bau seperti yang dibilang banyak orang. Justru kalau dicuci malah mengeluarkan bau tak sedap jika ditaruh di tempat sampah. Kalau nggak percaya, coba buktikan sendiri.
Mau mencuci pembalut sebelum dibuang ya boleh-boleh saja. Mau nggak dicuci dan langsung buang juga boleh-boleh saja. Perkara kepercayaan seseorang seperti ini tuh kadang nggak bisa cuma main logika. Ada hal-hal yang memang dianggap berada di luar nalar orang yang nggak mempercayainya. Oleh karena itu, ada baiknya masalah keyakinan dan kepercayaan ini jangan pernah disamaratakan. Toh, kita juga nggak mau menganut pemahaman keyakinan orang lain, lalu kenapa bersusah payah membuktikan kalau kepercayaan dan keyakinan orang lain itu salah? Buat apa coba?
Penulis: Reni Soengkunie
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Alasan Kenapa Perempuan Nggak Perlu Lagi Ngumpetin Pembalut.