Panduan Sederhana Membedakan Olahan Kambing Khas Jogja dan Solo

Membedakan Olahan Kambing Khas Jogja dan Solo

Membedakan Olahan Kambing Khas Jogja dan Solo (Unsplash.com)

Saya rasa semua orang sepakat kalau Jogja dan Solo jadi salah satu barometer jagat kuliner olahan kambing se-Nusantara. Ya, kedua wilayah ini memiliki segudang kuliner khas yang terbuat dari bahan utama daging kambing. Mengingat hubungan Jogja dan Solo adalah tunggal sedarah, tentu masakan khas olahan daging kedua daerah ini nyaris serupa.

Saking uniknya hubungan kedua kota ini, nggak sedikit pihak mengatakan kalau jenis masakan olahan daging apa pun yang ada di Jogja, besar kemungkinan juga bisa ditemukan di Solo. Hal ini yang kadang bikin orang sulit membedakan, mana olahan daging khas Jogja dan mana olahan daging khas Solo. Pasalnya, meski tampak sama, ada sejumlah perbedaan olahan daging antara Jogja dan Solo yang bisa dilihat dalam sekali pandang.

Untuk mencari tahu perbedaannya, saya mencoba mencicipi sejumlah kuliner per-kambing-an dari kedua daerah tersebut. Tentu saja, penilaian ini berdasarkan pengalaman pribadi saya saat jajan di warung kuliner olahan kambing terkenal dari kedua belah pihak. Besar harapan, dengan penelitian serius ini sanggup membuka cakrawala baru bagi para pemburu kolesterol di Asia Tenggara.

Tongseng kambing Jogja vs Solo

Mari kita mulai dari semesta per-tongseng-an. Kita tahu, tongseng jadi salah satu olahan kambing yang bisa ditemukan dengan mudah di Jogja dan Solo. Di Jogja, khususnya wilayah Bantul, banyak sekali warung pinggir jalan yang menjajakan masakan berkuah dengan bumbu super kuat bin kental ini. Sementara di Solo, kuliner tongseng banyak dijumpai di daerah Banjarsari dan wilayah lain di Surakarta.

Sekilas, memang cukup sulit membedakan tongseng khas Jogja dan Solo. Mulai dari proses memasak hingga racikan bumbunya, saya rasa semua nyaris sama. Tapi, jika diperhatikan secara saksama, ada sejumlah perbedaan yang bisa dilihat dalam sekali pandang dari kedua tongseng ini.

Untuk melihat perbedaan keduanya, beberapa waktu lalu saya sempat mengunjungi salah satu tongseng paling kondang di Jogja dan katanya sih jadi barometer dunia per-tongseng-an di DIY, yakni tongseng Sor Talok di Bantul. Sedangkan, di Solo, saya memilih tongseng milik Bu Haji Bejo, yang semoga saja bisa mewakili semesta tongseng di Surakarta.

Mari kita mulai. Dalam sepiring tongseng, tampak kuah tongseng Sor Talok begitu pekat bahkan nyaris hitam nyemek dalam sekali pandang. Saya perhatikan juga, tongseng Sor Talok ini untuk toping kubisnya nggak dimasak matang bersamaan daging kambing, melainkan dipisah dan diiris kecil-kecil memanjang jadi kudapan mentah.

Sementara itu, di warung makan sate dan tongseng Bu Haji Bejo, kuahnya cenderung lebih encer dan banyak dibanding tongseng Sor Talok sehingga terlihat nggak terlalu pekat. Untuk toping kubisnya, tongseng Bu Haji Bejo dimasak setengah matang bersamaan waktu memasak daging.

Sebenarnya nggak sedikit juga warung tongseng di Jogja yang kubisnya dimasak matang, tapi kalau pakai indikator tongseng dari Bantul, rata-rata memang kubisnya dijadikan kudapan mentah. Jadi, untuk bumbu rempahnya benar-benar nempel dan fokus meresap ke dalam daging kambing. Perpaduan rasa gurih, manis dan aroma yang khas, membuat olahan daging satu ini benar-benar menggugah selara.

Sate kambing Jogja vs Solo

Selain tongseng, sate juga jadi olahan daging kambing yang digemari warga Jogja dan Solo. Banyak sekali jenis sate dengan beragam varian yang bisa ditemukan di Bumi Mataram ini. Bahkan, baik Jogja maupun Solo, punya sate dengan ciri khas masing-masing dengan sensasi rasa yang mantap jiwa.

Di Solo, ada sate yang sudah nggak diragukan lagi keautentikannya, apalagi kalau bukan sate buntel Pak Manto di Laweyan, Surakarta. Sate yang terbuat dari daging kambing ini biasanya dicincang dan dibungkus dengan lemak lalu dibakar. Karakter utama dari sate buntel memiliki daging dengan tekstur yang begitu lembut karena dihilangkan semua ototnya.

Proses memasak olahan kambing satu ini pun cukup unik. Setelah daging dihaluskan, nantinya daging dicampur dengan bumbu khas, kemudian dikepal-kepal dan ditusuk pakai tusukan yang terbuat dari bambu. Perpaduan rasa gurih dan aroma rampah yang keluar dari sate buntel, benar-benar gurih, mantap, dan memanjakan lidah.

Urusan dunia per-sate-an, di Jogja juga nggak kalah. Tentu saja sate klatak milik Pak Pong di Bantul jadi salah satu primadona olahan daging di Kota Istimewa. Sebenarnya sate ini hampir sama dengan sate pada umumnya. Bedanya, daging sate klatak ditusuk pakai jeruji sepeda dan dibakar di atas anglo yang terbuat dari tanah.

Selain itu, bumbu sate klatak juga nggak menggunakan bumbu marinasi, melainkan hanya diberi sedikit garam dan merica. Biasanya, daging yang digunakan pun berumur masih muda sehingga tekstur sate cukup empuk dan lembut. Soal rasa, sudah nggak diragukan lagi. Meski hanya dikasih bumbu garam dan merica, sensasi rasa daging sate klatak benar-benar original dan mantap.

Tengkleng kambing Jogja vs Solo

Olahan kambing yang bisa ditemukan di Jogja dan Solo selanjutnya adalah tengkleng. Sekilas, tengkleng memang mirip sama masakan gulai. Bedanya, bahan dasar tengkleng terbuat dari tulang belulang dan jeroan. Namun saat ini, nggak sedikit juga ditemukan tengkleng dengan bahan daging non-jeroan.

Baik di Jogja maupun Solo, saat ini setidaknya ada dua jenis varian tengkleng yang bisa ditemukan, yakni tengkleng kuah encer dan tengkleng yang memiliki porsi kuah sedikit serta cenderung pekat. Umumnya, tengkleng dimasak dengan aneka rempah dan bumbu kuning. Namun, ada juga tengkleng yang diolah pakai santan.

Untuk melihat perbedaan tengkleng khas kedua daerah tersebut, saya mencoba membandingkan dengan salah satu warung tongseng legendaris di Solo dan Jogja. Di Solo, ada warung Tengkleng Bu Edi yang sudah berdiri sejak tahun 1970-an. Sedangkan, di Jogja ada Tengkleng Gajah, yang sudah populer sejak awal 2000-an.

Dibandingkan dengan tengkleng Jogja, kuah tengkleng khas Solo memang cenderung lebih encer. Selain itu, proses memasak tengkleng khas Solo biasanya ditambah cabai utuh yang dibiarkan begitu saja atau tanpa diiris. Sedangkan, di Jogja, cabai rawitnya dipotong-potong kecil sehingga sensasi rasa gurih, manis, dan pedas cukup dominan.

Rasanya sebenarnya nggak begitu jauh. Racikan bumbu rempah-rempah yang khas, membuat keduanya memiliki cita rasa gurih, pedas, manis, dan lezat dalam sekali santap. Jadi, ya kembali lagi ke selera.

Itulah sejumlah olahan kambing yang bisa ditemukan di Jogja dan Solo. Tentu penilaian ini cukup subjektif, mengingat hanya berdasarkan pengalaman dan pengamatan pribadi saya saat mencicipi olahan daging di kedua kota ini. Gimana kalau menurut kalian? Yang penting, sebelum mengonsumsi olahan daging kambing, cek kolesterol dulu ya, Gaes!

Penulis: Jevi Adhi Nugraha
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Sate Kambing, Bentuk Pemberontakan Kecil kepada Diri Sendiri.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version