Saya menganggap usulan Menag Fachrul Razi terkait pelarangan cadar dan celana cingkrang di instansi pemerintah ada justifikasinya. Disclaimer: perlu dibaca sampai habis untuk menghindari kesalahpahaman. Kalau masih salah paham, ya sudah.
Statement Menag soal usulan pelarangan cadar di instansi pemerintah menuai perdebatan. Beliau sebenarnya tidak hanya menyinggung cadar, tapi juga celana cingkrang. Namun yang lebih kedengeran gaungnya urusan cadar saja. Usulan itu, kata Menag, didasari atas alasan keamanan pasca penusukan Wiranto beberapa waktu lalu.
Tulisan ini akan berpusat pada polemik cadar saja karean topik ini yang banyak diperbincangkan dan bahan-bahan saya soal ini lebih lengkap. Karena saya lihat konteks pernyataan Menag terkait keamanan, maka saya akan membatasi pembahasan pada cadar dalam relasinya dengan radikalisme kekerasan (violent extremism).
Penganut radikalisme kekerasan mendukung jihad dengan kekerasan misal bom bunuh diri/penembakan/penusukan dll,sedangkan ada kelompok lain yang juga radikal tapi tidak mendukung kekerasan. Nanti akan menyentuh ini juga.
Penampakan cadar/niqab, hijab dll. Gambar diambil dari sebuah berita di Kompas.
Saya perlu tafsirkan dulu pernyataan Menag. Beliau menyebut usulan tersebut didasari alasan keamanan pasca penusukan Wiranto. Ada apa saat itu? Fitri, istri Abu Rara yang ikut dalam aksi teror (amaliyah) terhadap Wiranto menyembunyikan pisau di balik kain hitam yang dikenakannya yang dalam hal ini adalah pakaian jilbab (niqab/cadar).
Dalam kasus lain, pada aksi teror di gereja di Surabaya pada Mei 2018, pelaku Puji Kuswati dan dua anak perempuannya memakai sabuk bom yang dililitkan di pinggangnya. Puji saat melakukan teror memakai cadar sehingga menutupi bom padahal sehari-hari dia tidak pakai cadar.
Pada aksi teror di Mapolrestabes Surabaya yang juga dilakukan satu keluarga (sehari setelah bom gereja), si istri sehari-hari juga tidak bercadar namun menurut saksi mata, dia melihat wanita bercadar di sekitar TKP sesaat sebelum bom meledak.
Saya kira inilah maksudnya Pak Fachrur Razi. Beliau mungkin khawatir bahwa si pelaku teror mungkin saja dapat menyembunyikan senjatanya di balik cadarnya dan mukanya pun tidak kelihatan. Masalahnya dalam beberapa amaliyah yang terjadi, perempuan yang melakukan aksi itu menggunakan cadar.
Itu serangan yang melibatkan perempuan yang berhasil sejauh ini. Ada beberapa rencana amaliyah yang gagal dieksekusi yang melibatkan perempuan bercadar. Rencana amaliyah menarget istana negara pada akhir 2016 yang rencananya dilakukan oleh Dian Yulia. Dian bercadar.
Dita Siska Milenia dan Siska Nur Azizah ditangkap karena dicurigai hendak melukai polisi dengan gunting di Mako Brimob pada Mei 2018. Keduanya bercadar. Wawancara majalah Tempo dengan mereka ini menarik.
Beberapa yang terdokumentasi di media, istri-istri pelaku teror juga bercadar. Mereka memiliki pola yang sama yakni menutup diri dari lingkungannya, tidak bergaul.
Mengapa hampir semua istri teroris atau simpatisan ISIS itu bercadar? Ada beberapa dalil/narasi yang mereka percaya sebagai dasar. SS di bawah ini adalah percakapan grup WA simpatisan ISIS. Tulisannya panjang sekali jadi saya ambil yang relevan, saya tidak masukan yang dalil soalnya khawatir ntar ada yang kemakan.
Tentu tidak semua wanita bercadar mendukung jihad kekerasan dan ingin melakukan aksi teror, namun hampir bisa dipastikan bahwa mereka yang melakukan aksi teror di Indonesia atau istri pelaku teror memakai cadar. Nah berabe kan, hanya dua tiga saja yang berulah, semua jadi kena.
Saya kira bercadar itu adalah ekspresi dari sebuah keyakinan. Wanita yang memakai cadar biasanya berproses, ada yang awalnya tidak pakai jilbab, lalu mulai pakai jilbab, lalu mulai pakai jilbab besar, lalu terakhir niqab/cadar. Atau yabg awalnya sudah pakai jilbab, lalu jadi bercadar.
Proses radikalisasi yang mengarah pada violent extremism itu sekarang bisa begitu cepat merasuki orang, bahkan menurut terrorism expert, Solahudin, proses radikalisasi hingga seseorang siap melakukan amaliyah sangat cepat, bisa hanya butuh waktu sekitar 1 tahun.
Tahun lalu, saya mengamati akun di FB bernama Ummu Azka (sekarang akun FBnya sudah tidak ada). Prosesnya seperti yang saya jelaskan di atas. Awalnya pakai jilbab biasa, lalu sering mengunggah unggahan-unggaha soal kewajiban bercadar di FBnya, lalu akhirnya dia bercadar.
Dalam waktu satu tahun, dia sudah teradikalisasi. Itu terlihat dari status-statusnya yang mendukung jihad kekerasan, meski dia mungkin saja tidak mempraktekkannya. Sekali lagi ini case per case ya, tidak bisa digeneralisir.
Setiap orang mengalami proses radikalisasi yang berbeda. Untuk jadi radikal kekerasan, orang tidak perlu datang ke masjid atau mimbar untuk mengikuti kajian, tapi cukup main FB atau ikut grup-grupan percakapan di WA atau Telegram.
Saya pernah tanya anak muda yang mendukung violent radicalism, dari mana dia punya pemikiran-pemikiran ekstrem itu, dia bilang dia sering dengarkan ceramah melalui MP3. Saya tanya siapa ustadznya, dia menolak menjawab. Kuat dugaan, dia dengar ceramah Aman Abdurrahman, ustad panutan para teroris karena ceramah-ceramah Aman biasa dibagikan lewat MP3.
Menurut saya, hal yabg sangat mempengaruhi cara pandang orang adalah lingkungan dan kelompok pergaulan. Di FB, orang-orang yang sepemahaman itu berkumpul jadi satu karena algoritma FB memfasilitasi itu. Mereka juga ikut grup-grup di WA dan telegram, yang mewadahi orang yang sama pemahamannya. Kalau tidak sama dikeluarkan. Tidak boleh ada suara berbeda.
Wanita yang memutuskan untuk mengenakan cadar harusnya telah melalui proses tertentu. Benar bahwa tidak semua wanita yang bercadar otomatis mendukung violent extremism, namun kita juga tidak boleh mengenyampingkan proses yang dilalui si pemakai dan pola pikirnya sehingga dia mengekspresikan dalam bentuk memakai cadar/niqab.
Kenapa dia pakai cadar? Siapa yang menginspirasinya untuk pakai cadar, apakah gurunya, suaminya, atau lingkungan pergaulannya? Bagaimana pola pikirnya, apakah itu mendorongnya untuk melakukan kekerasan? Dll.
Mereka fanatik mungkin iya, artinya meyakini dengan sepenuhnya ajaran agama hingga berupaya melaksanakan yang tidak wajib, meski itu ditentang oleh keluarga sekali pun. Namun untuk sampai pada violent extremism, itu butuh variabel-variabel pendukung lainnya seperti kelompok pergaulan, suami dll.
Saya lihat, orang yang bercadar itu pun juga ada fase-fasenya. Wanita bercadar ada yang pakai baju warna-warni, artinya warnanya tidak cuma hitam tok. Ada yang masih memperhatikan style. Ada yang masih suka berfoto, yang sebenarnya dilarang (kalau versi pengikut ISIS).
Pendapat saya, mereka-mereka yang masih seperti itu tidak membahayakan dalam artian kekerasan. Karena saya lihat ada pola tertentu di mana teroris dan istrinya itu biasanya tertutup dengan lingkungannya dan menjauhi hal-hal yang sifatnya gegayaan. Mereka sangat kaku dalam melaksanakan ajaran agama yang mereka yakini.
Kita tidak bisa menggeneralisir orang yang pakai cadar otomatis berpotensi menjadi pelaku teror, meski kita tidak tahu dalam pikirannya dia sebenarnya mendukung. Ada banyak faktor yang mendukung seseorang itu akhirnya menjadi pelaku teror, antara lain pertaliannya dengan pemahaman radikal kekerasan
Misal dalam kasus Puji dan Tri di Surabaya, mereka sering ikut kajian yang difasilitasi ustadz radikal. Lalu duo siska, mereka sering mengonsumsi narasi-narasi/video tentang jihad kekerasan dan engagement dengan grup yang seide dengannya.
Jadi banyak faktor pendukung yang membuat seseorang melakukan aksi teror. Nah selama tidak ada aturan mengenai pemakaian cadar di lingkungan secara umum, maka faktor-faktor ini yang bisa ditangani.
Misal ustaz-ustaz radikal yang mengajarkan dan menyuruh jihad kekerasan perlu ditertibkan bahkan bisa saja ditangkap, penyebaran paham-paham kekerasan mengatasnamakan agama baik online maupun offline (sekolah, kampus, masjid dll) perlu ditangani, harus digencarkan promosi islam damai dll.
Selama mereka tidak melakukan serangan, tidak bisa diapa-apakan, bahkan dilarang-larang. Karena bercadar atau pakai celana cingkrang bukan merupakan kejahatan. Kecuali kalau sudah ada aturan resmi, itu beda lagi.
Dalam kasus ini, saya kira semua musti introspeksi diri ya. Mereka yang bercadar (yang tidak menganut violent extremism) sebaiknya juga menunjukkan kemauan untuk bergaul dengan masyarakat sekitar. Jangan eksklusif. Ketertutupan itu menimbulkan prasangka, sementara masyarakat juga menghargai pilihan orang lain
Pengguna cadar jangan hanya ikut-ikutan, tapi harus tahu benar apa yang menjadi pilihannya, pertimbangkan dari berbagai sudut pandang. Harus hati-hati benar mengikuti pengajian atau kajian. Ustaznya musti jelas keilmuannya. Kalau sudah mengarah ke doktrin kekerasan, ditinggalkan saja.
BACA JUGA Memahami Kenapa Orang Bisa Berbeda Kepribadiannya Padahal Belajar Agama yang Sama atau tulisan Ainur Rohmah lainnya. Follow Twitter Ainur Rohmah.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.