Beberapa hari ini, kabar tentang ditetapkannya Jogja sebagai provinsi termiskin di Pulau Jawa seliweran di lini masa. Sebagian menertawainya, sebagian merasa hal itu sebagai upaya mencederai citra Jogja. Sebagian, tentu saja tak peduli, menganggapnya sebagai hal yang tak perlu amat dibesar-besarkan.
Terminal Mojok pun tak ketinggalan meramaikan geger geden ini. Naskah satir ini menangkap fenomenanya dengan ciamik. Saya rasa, pesan-pesan yang coba disampaikan dalam naskah tersebut memang valid untuk disuarakan. Tapi, saya punya pendapat lain tentang masalah provinsi termiskin ini. Dan saya masuk ke bagian orang yang tak peduli dan menganggap ini masalah sepele.
Maksudnya, kalau benar Jogja provinsi termiskin, masalahnya di mana?
Dilihat dari bagaimana Jogja menata daerahnya saja, tak mungkin rakyatnya termasuk rakyat yang miskin. Kalau benar, ya nggak mungkin dong Jogja memilih untuk mempercantik trotoar? Logikanya begitu. Trotoar cantik itu hanya untuk orang-orang yang sudah kelar masalah dasar seperti sandang, pangan, papannya. Mereka kenyang, modis, dan punya rumah, jelas akan memikirkan the next step dalam hidup.
Dana perumahan yang kalah jauh ketimbang trotoar mengindikasikan bahwa masalah perumahan hanya dialami sebagian kecil. Perkara pangan pun saya pikir bukan masalah. Lho, Jogja murah, Buos. Banyak kan mi ayam lima ribuan? Banyak kan makanan murah? Lha wong hal ini dikampanyekan tiap saat lho. Nggak percaya? Cek Info Cegatan Jogja. Kalian akan menemukan banyak sekali orang bilang makanan di Jogja murah. Tempatnya di mana, saya nggak tahu. Wong mereka yang ngomong, mosok saya yang cari tahu? Ha ndasmu, penak tenan.
Lagian predikat provinsi termiskin ini saya pikir nggak perlu juga dibuat. Buat apa memangnya sih, menunjukkan Jogja punya masalah ketimpangan yang parah dan upah rendah yang tak selesai? Lho, jangan salah. Masalah itu tak selesai karena memang dianggap bukan masalah.
Sek, saya nggak menuduh pemerintahnya nggak becus apa gimana ya. Nggak ada saya bilang kek gitu. Maksudnya begini, kalau benar masalah itu krusial, jelas akan diselesaikan dahulu. Begini, normalnya, masalah ketimpangan dan upah rendah itu ibarat ban bocor pada motor. Mau semewah apa pun motormu, kalau bannya bocor ya nggak bisa dipakai.
Baca halaman selanjutnya