Tapi, Jogja Istimewa. Logika nggak bisa begitu saja diaplikasikan pada kota ini.
Kalau masalah ketimpangan dan upah rendah ini adalah ban bocor, yowis, jalan kaki saja. Cari alternatif lain. Dan alternatif dari ketimpangan dan upah rendah ini adalah, get ready, narimo ing pandum.
Falsafah itu sering dipakai orang ICJ dan para kontra isu upah rendah itu bukan tanpa alasan. Falsafah ini memang penting untuk dipegang. Kalau nggak narimo ing pandum, bagaimana kita mau menghadapi susahnya hidup? Berharap mereka yang di atas sana memperhatikan nasib kalian? Kan nggak mungkin.
Oleh karena jelas nggak mungkin, jadi mindset kita yang perlu diubah. Terima saja apa yang ada, dan kita yang satset. Ya memang aneh rasanya jika masalah kesejahteraan dibebankan ke rakyat saja, negara dan pemerintah daerah. Tapi berharap apa sama orang yang berpikir kalau mobil listrik bisa mengurai kemacetan? Tolong lah.
Jogja itu istimewa. Kemiskinan yang disematkan pada kota ini, tidak bisa dipandang kemiskinan secara harfiah. Indikator apa pun yang dipakai sebagai tolok ukur bakal tidak valid. Kita tidak bisa secara gegabah memakai indikator untuk mengukur apa-apa di Jogja.
Kota dengan segala kemungkinan seperti Jogja tidak bisa begitu saja diberi predikat termiskin. Tolong, jika Anda miskin, itu urusan Anda.
Apalagi menuntut Gubernur dan Raja Jogja untuk menyelesaikan masalah ini. Tolonglah, kita ini siapa menuntut beliau. Mau pake cara apa? Elegan macam kritikan lewat media, nggak ngefek. Demonstrasi, dianggap mengganggu ketertiban umum. Tapa pepe? Iki meneh, nggak lihat Alun-alun dipagari?
Jadi rasa-rasanya kita tidak perlu mempermasalahkan, bikin heboh, atau memikirkan predikat Jogja provinsi termiskin di Jawa. Buat apa memangnya? Masalah hidup kita sudah berat, mending satset cari side hustle biar merasakan perjuangan, biar bisa diromantisasi. Kalau capek, nongkrong di trotoar estetik, atau nongski di kafe estetik biar hidup kalian jadi lebih mendingan setelah nyruput kopi overpriced yang rasanya cuman manis doang itu.
Lagian kenapa juga sih kalau masyarakat Jogja beneran kere? Bebas lah, istimewa og!
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Bahaya Laten Harga Telur Naik untuk Mahasiswa Jogja