Berawal dari survey yang metode dan tingkat kevalidan hasilnya masih bisa diperdebatkan, pertama kali dengar lelucon tentang sepeda motor Beat dan HP Xiaomi memang menggelitik. Terutama bagi saya, pengguna kedua produk tersebut.
Namanya juga lelucon, sudah pasti ada objek yang dihakimi dan ditertawakan. Begitu pun tentang lelucon sepeda motor Beat dan HP Xiaomi yang menjadikan masyarakat golongan menengah dan golongan ke bawah sebagai objeknya. Lagian ada-ada saja, menyinggung strata sosial masyarakat kan memang sensitif. Apalagi dibungkus dengan label guyonan. Tentu ada pro dan kontra di dalamnya.
Semoga saja oknum yang masih menggunakan lelucon tersebut segera sadar jika kita sekarang sudah jauh meninggalkan zaman pra modern. Zaman konvensional yang masih menggunakan stereotipe membedakan golongan secara hierarki.
Apalagi negera kita sudah belasan tahun belajar sebagai negara demokrasi. Tidak ada tuan, begitu juga budak. Semua orang bebas berekspresi untuk menentukan sikap. Bebas memilih apa pun yang diinginkan. Tidak menutup kemungkinan dalam urusan brand sepeda motor dan gawai yang sudah menjadi kebutuhan masyarakat saat beraktivitas harian.
Membuat lelucon memang tidak ada yang melarang. Tapi ya sewajarnya saja, jangan terlalu mengglorifikasikan secara berlebihan. Apalagi lelucon yang menyinggung sebagian golongan dengan hanya menempatkan diri pada satu sudut pandang.
Sebetulnya, lelucon semacam itu mudah saja dipatahkan. FYI saja sih, tidak semua pengguna sepeda motor Beat selalu antre di lajur khusus premium saat hendak mengisi Bahan Bakar Minyak (BBM). Dan tidak semua pengguna Xiaomi memanfaatkan fitur telepon yang disediakan WhatsApp.
Kalau tidak mau terbawa arus mengikuti pasar Indonesia yang lebih suka membeli barang murah, itu hak kalian sepenuhnya. Tapi ya jangan memanfaatkan momen buat mencari panggung supaya terlihat berbeda dengan mengatasnamakan selera. Karena di zaman sekarang, tidak semua yang berbeda itu pantas mendapat perhatian. Terkadang juga ada yang sengaja “berakting” hanya untuk memenuhi nafsu eksistensi unggahan di media sosial.
Alasan mendasar masyarakat kita lebih suka menggunakan produk-produk berharga murah karena menyesuaikan kemampuan. Dana terbatas yang diiringi tekanan kebutuhan akan pentingnya kendaraan dan gawai sebagai penunjang aktivitas menjadi faktor utama. Lantas salahkah jika mereka lebih memilih beli produk yang harganya lebih masuk akal?
Dari lelucon yang menurut saya kelewat konyol ini, saya jadi berpikir jika para oknum tersebut kurang tabayun, ditambah massa latah khas warganet Indonesia yang ikut-ikutan meski belum sepenuhnya paham. Hasilnya ya seperti ini, anggapan rendah ketika melihat pengguna sepeda motor Beat dan HP Xiaomi.
Oknum yang masih menggunakan lelucon sepeda motor Beat dan HP Xiaomi ini terbagi menjadi dua tipe. Pertama, adalah mereka yang belum pernah menggunakan, tapi ikut mengucapkan lelucon karena kebetulan mereka menggunakan produk yang harganya lebih mahal. Jenis oknum seperti ini biasanya keras kepala, tapi cenderung visioner. Karena belum pernah memakai pun sudah bisa berkomentar.
Tipe kedua, adalah oknum yang dulu pernah menggunakan produk tersebut, tapi sekarang hijrah ke produk yang mempunyai nilai lebih berharga. Tipe ini memiliki hobi membagikan momen ke semua circle (baca: pamer) dan sifatnya yang paling dominan terlihat adalah kepercayaan diri tinggi. Di mata kedua tipe oknum ini, semua orang yang memakai produk Beat dan Xiaomi adalah golongan orang miskin. Melarat. Tidak ada pengecualian. Dipukul rata.
Kalau pengguna sepeda motor Beat dan HP Xiaomi dicap penuh tuduhan sebagai orang miskin, lalu patokan orang kaya yang mereka maksud itu seperti apa? Semoga saja bukan makhluk yang mempunyai pengikut ratusan ribu di Instagram, pengemudi mobil keluaran terbaru ber-STNK nama orang tua, atau pengguna HP kelas sultan yang nongkrong di Coffee Shop ternama.
Sampai kapan sih kita masih membandingkan strata sosial hanya dari merek barang yang dipakai?
Lelucon sepeda motor Beat dan HP Xiaomi memang tidak boleh dibiarkan begitu saja. Selain membunuh semangat dan melemahkan kepercayaan diri penggunanya, lelucon itu juga berbahaya bagi generasi selanjutnya.
Saya tidak bisa membayangkan jika lelucon tersebut bertransformasi menjadi sebuah stereotip yang kelak akan tumbuh di masyarakat. Menjadikan Beat dan Xiaomi sebagai titik acuan untuk memisahkan antara kemiskinan dan kekayaan. Sekaligus mengancam punahnya kata penuh makna dari salah satu syair Eyang Sapardi yang tersohor: sederhana.
Ya, oknum ini masih sulit membedakan antara kemiskinan dan hidup sederhana. Oknum ini juga mungkin kurang tahu tentang arti pengorbanan, menahan nafsu hidup komsutif untuk mendahulukan kebutuhan pokok. Mereka tidak ambil pusing bagaimana sulitnya menyeimbangkan pendapatan dan pengeluaran tanpa harus membuat susah orang terdekat.
Intinya, mayoritas pengguna Beat dan Xiaomi adalah pribadi yang mandiri, peduli sekitar, dan matang dalam berpikir. Pola pikirnya juga sederhana, kenapa juga harus membeli barang mahal kalau tidak bisa bikin bahagia? Sebahagia pengguna Beat saat meliuk-liuk di jalanan, atau ketika membawa 2 air galon sekaligus dalam sekali tarikan gas, dan bahkan bisa mengaitkan barang belanjaan dalam jumlah besar di bawah setir bulat.
Pun dengan pengguna Xiaomi, para oknum berselera humor rendah ini juga mungkin belum paham betapa bahagianya pengguna Xiaomi saat asik rebahan menonton TV kemudian lupa menaruh remot. Mi Remote hadir secara default hampir pada semua perangkat Xiaomi (yang sudah didukung sinyal infrared). Mereka mungkin juga belum merasakan betapa gesitnya bertukar data menggunakan Mi Drop serta keleluasaan menyimpan data menggunakan Mi Cloud.
Berbanderol harga relatif murah dengan dukungan beragam fitur teranyar yang cukup mumpuni, Beat dan Xiaomi tahu betul selera pasar Indonesia. Tidak heran jika penyebaran kedua brand ini mendominasi.
Menggunakan sepeda motor Beat dan HP Xiaomi adalah salah satu cermin hidup sederhana. Hidup tidak neko-neko tapi membahagiakan. Bebas dari tuntutan gaya hidup. Dan yang pasti tidak perlu menghina status sosial demi memercik tawa. Jika Bude Sumiyati pernah patah hati tapi tetap bidadari. Pengguna Beat dan Xiaomi pernah di-bully tapi tetap santuy.
BACA JUGA Terima Kasih Tukang Review dan Unboxing HP atau tulisan Ardi Setianto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.