Selain ramai tentang Ardhito Pramono, jagat Twitter juga sedang ramai karena cuitan Jefri Nichol. Sebelum saya melanjutkan artikel ini, saya ingin menjelaskan bahwa saya bukan fans apalagi fans fanatik Jefri Nichol. Saya kurang update tentangnya. Bahkan ketika dia terjerat kasus narkoba, saya sama sekali tidak membaca beritanya. (Iya, sebodoh amat itu saya).
Tweet Jefri Nichol menjadi trending sampai saat saya menulis artikel ini. Tentu saja jadi trending karena banyak yang berkomentar tentang cuitan tersebut. Izinkan saya mengutip cuitan tersebut biar yang baru tahu nggak salah tafsir:
“Yang ngetweet ‘kalo orang jelek ngelakuin ini pasti blablabla. Kalo orang cakep ngelakuin ini pasti blablabla’ Pasti mukanya emang, mohon maaf… jelek. Sudah jelek, so tau, suka comparing… Kasian kayak gapunya tujuan hidup. Liat deh respond salty ditweet ini. Kalian ngeluh orang selalu lihat fisik tapi di saat yang bersamaan malah kalian yang suka compare fisik orang lain. Hypocrisy at its finest.” Begitulan cuitan Jefri Nichol melalui akunnya @jefrinichol yang terbagi menjadi 3 tweet.
Satu kata dari saya untuk Jefri Nichol “pintar”. Iya, sebab bagi saya Jefri Nichol mampu memperkirakan jawaban netizen sebelum dia mendapatkan komentar. Dia bilang akan banyak orang yang salty lantas nge-compare. Ini sebuah cara untuk mengetahui berapa banyak orang yang masih membandingkan-bandingkan fisik seseorang. Banyak orang yang ke-trigger dengan tweet ini. Saya yakin, sebelum membuat tweet yang cukup panas wabil savage ini, Jefri sudah mempertimbangkan terlebih dahulu apa risikonya. Dan saya juga yakin, Jefri tidak akan merasa bersalah karena yang dituliskannya sudah dipikirkan matang-matang.
Seketika, di laman komentar tweet Jefri Nichol penuh dengan orang-orang yang merasa dirinya jelek, inilah, itulah, menceritakan pengalaman menjadi seorang yang tidak cakep, tidak punya privilege dan kondisi pilu lainnya. Lantas mereka cuma mau ikut ngehujat Jefri Nichol. (Merasa jelek, tapi PD banget pasang ava close up wajah. Jelek apa ngaku jelek? Eh).
Ya nggak salah juga sih netizen marah-marah, ngehujat, mengungkit keburukan Jefri di masa lalu, ya itu hak mereka. Ya tapi agak lucu saja sih melihat komentar netizen yang menghujat tweet Jefri tentang compare fisik, tapi malah menyertakan foto idol mereka lengkap dengan tulisan, “Jangan sok sokan lu ya, yang world handsome aja nggak songong.” Lah, baru aja disindir Jefri, kok kalian malah menampakkan kegobl*kan kalian sendiri? Kalian marah karena tweet compare tapi malah bandingin fisik Jefri dengan idol kalian. (Kalian sehat?)
Yang lebih lucu lagi, banyak netizen yang nulis, “nggak papa jelek, yang penting nggak narkoba.” Hahaha WTF dude? Are you kidding? Kita nggak pernah tahu seberapa sulit orang bisa sembuh dari yang namanya NAPZA, bahkan beberapa di antaranya butuh psikiater, mencoba kembali sembuh jasmani dan rohani. Dan di saat yang bersamaan kalian mengungkit dan menghujat dengan masa lalunya. (Ya kalau situ nggak punya dosa sih, monggo saja mau menghujat orang lain. Sekali lagi, itu hak kalian.)
Mungkin kita bisa lebih berhusnudzon dengan tweet Jefri Nichol. Mungkin Jefri ini ingun ikut-ikutan trend yang saat ini sedang terjadi “dark jokes”. Iya, saya justru menangkap bahwa tweet Jefri adalah bentuk sindiran. Ya namanya juga dark jokes, maka konten yang ditampilkan memang sedikit menyinggung (sensitif) dan mencakup hal yang umumnya dianggap tidak lucu, ya seperti kondisi fisik.
Sebelumnya saya juga telah membaca tweet dari mbak Sakdiyah Ma’ruf, “Bukan persoalan boleh atau tidak, tapi siapa yang bercanda tentang apa.” Iya, dark jokes akan tepat bila dilakukan oleh penyintas. Dalam hal ini, mungkin Jefri tidak berada di posisi jelek, tapi diposisi cakep. Jadi sah saja jika dia melakukan ini kan? Toh kata Mbak Sakdiyah Ma’ruf juga, dark jokes juga memuat pengetahuan, empati, dan niat baik! Saya rasa Jefri sudah punya 3 hal tersebut dalam tweetnya.
Biarkan saya jelaskan satu persatu, pertama pengetahuan. Pengetahuan itu luas ya, tidak hanya dalam bidang pendidikan. Kamu tahu berita yang lagi trending juga bisa disebut pengetahuan. Mungkin, dalam kasus Jefri, dia tahu bahwa zaman ini memang banyak orang-orang yang membandingkan fisik seseorang. Membandingkan artis satu dengan lainnya, membandingkan idol satu dengan idol lainnya dan sejenisnya. Seolah perbandingan fisik adalah satu-satunya masalah di dunia! Padahal masalah di dunia itu cuma satu, duit. Eh
Kedua, empati. Jangan salah ya, justru tweet Jefri Nichol adalah bentuk empati kepada para netizen. Jefri ingin mengukur seberapa besar empati bahkan bertujuan untuk membangun empati manusia di zaman 4.0 ini. Jika ada netizen yang bilang “hidup tidak adil, karena beauty privilege itu nyata.” Ya emang nyata, bahkan kadang kita sendiri yang secara tidak langsung menumbuhkembahkan privilege tersebut. Wis toh, ngaku ae! Saya juga jelek, saya juga pernah merasakan ketidakadilan privilege, bahkan tidak cuma perkara fisik. Perkara tulisan pun saya juga harus bertarung melawan penulis-penulis ber-privilege itu. Jadi ya biasa aja, nggak usah lebay merasa situ satu-satunya orang yang tertindas atas privilege.
Ketiga, niat baik. Semakin saya nulis kok jadi pro sama tweet Jefri ya. Jadi begini teman-teman, Tuhan itu maha adil dalam menciptakan setiap makhluk-Nya. Jikalau kalian merasa fisik kalian kurang cakep yang tidak perlu mengandalkan hidup hanya dari itu, saya yakin kalian punya bakat spesial. Selain itu, mungkin Jefri memiliki niat baik untuk menyadarkan kalian semua. Karena kebanyakan orang tidak bisa mengamati pikiran sendiri. Karena ya, memang pelajaran tersulit adalah mengenal diri sendiri. Tidak perlu menghakimi orang lain yang menghina fisik kita, bodyshaming dan sebagainya, karena toh kalau kita sudah cinta dengan diri sendiri. Maka, omongan orang lain hanya angin lalu.
Mengenal diri adalah kunci, sebab kita tidak bisa mengendalikan orang lain, yang mampu kita kendalikan adalah diri sendiri. Saya mengutip tweet dari dr. Jiemi Ardian, seorang psikiater yang mungkin bisa mengubah sudut pandang kalia,n “Dirimu bukan objek penderita dari kejadian buruk di sekitar. Dirimu adalah subjek yang bisa memilih sejahtera dalam menghadapi kejadian sekitar.”
“The cure for the pain, is in the pain”. Sampai di sini paham ya?
BACA JUGA Cerita Soal Privilege dan Pilihan Hidup atau tulisan Rinawati lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.