Ketika Legi sebelum pandemi, saya iseng pergi ke Pasar Kotagede. Tujuan saya hanya dua, yakni melihat kondisi ramai yang menyenangkan dan membeli ayam warna-warni untuk kado saudara saya yang sudah kelas 6 SD. Menurut saya, anak ayam warna-warni itu lucu sekali. Lha dalam bentuk anak ayam saja sudah lucu, apalagi ini ada yang ijo, ungu, bahkan merah. Ini anak ayam apa supporter bola?
Biasanya, penjual anak ayam warna-warni berjejeran dengan penjual koran dan majalah. Berada di sisi terluar pasar, di depan kantor pos Kotagede yang berada di Timur Laut pasar bersama dengan penjual koran, donat kentang, dan burung dara. Wes to pokoknya di bagian situ itu pepak banget. Apa saja ada. Yang nggak ada hanya upah minimum berperikemanusiaan.
Saya jongkok dan melihat anak ayam yang berlari-lari. Seperti biasa, yang merah begitu ndlogok lari-lari tanpa tujuan, nabrak sana-sini sesuka hati. Yang ijo hanya diam mengawasi tindak-tanduk kawannya. Diam, diam, tiba-tiba berak. Yang kuning lucu sekali, ia menatap saya, seakan hendak mengatakan sesuatu.
Saya lihat lekat-lekat si kuning. Cucuknya mangap-mangap, sayapnya seperti ayam yang kedinginan menerjang dinginnya pagi Bantul Selatan. Tiba-tiba saya berkontemplasi di tengah keramaian. Saya mbayangin diri saya jadi seekor kuthuk, kecil mungil begitu innocent, kemudian dicemplungin ke lautan cat, bermandikan cat lantas menempel di bulu-bulunya yang masih dalam tahap perkembangan.
Saya pun merasakan kesulitan anak ayam itu. Tiba-tiba di depan penjualnya, saya menangis. Bukannya ngasih tisu, sang penjual malah bilang, “Sido tuku ora, Mas?” yang artinya jadi beli apa nggak. Saya pun beli yang kuning, merah, ungu, biru, masing-masing satu.
Dalam tangis perjalanan pulang, saya menyimpulkan banyak hal. Pertama, ayam warna-warni dicap sebagai cikal bakal ayam gondes. Keadilan untuk seluruh rambut berwarna perlu kita tuntut. Kawan saya pernah mengecat rambut warna biru dari bahan yang ia beli di Indomaret saja dipandang sebelah mata lantaran dikira gondes, apalagi anak ayam yang masih piyik seperti ini.
Ealah coba bayangkan, masih kecil sudah dikira gondes atau “gondrong ndesa”. Istilah yang mulai melebar mencakup mas-mas gentho, kalau naik motor mbleyer, hingga yang rambutnya berwarna. Mungkin kalau di Jakarta sebutannya jadi jamet. Sungguh kalau ini terjadi, masa muda si anak ayam ini dalam ancaman. Seto Mulyadi kudu ambil peran maksimal.
Kedua, anak ayam warna-warni dibilang nggak ada bedanya sama love bird. Ini patut menjadi pertimbangan sisi mental dan kepribadian si anak ayam. Konon, tiap hewan itu nggak mau disama-samain. Selain gengsi, ada faktor bahwa rasa percaya diri tiap hewan itu berbeda. Pun dengan anak ayam warna-warni, mosok tiba-tiba ada yang bilang love bird versi murah. Wah, pastinya nyelekit sekali stigma ini.
Entah stigma ini berkembang sejak kapan, tapi “love bird versi murah” ini merusak harga diri ayam sejak dalam kandung badan. Yang paling murah, kalau saya nggak salah menakar, adalah jenis dakocan hijau dengan kisaran Rp400 ribuan. Sedangkan anak ayam warna-warni ada di harga 10 sampai 20 ribu.
Ketiga, mereka termarjinalkan dalam lingkungan. Setelah poin nomor dua menghadirkan ironi, yang terjadi berikutnya adalah tragedi. Coba bayangkan saja dalam pergaulan, si anak ayam warna-warni ini ketika masuk TK atau SD, bahan olok-olokan kawan sebaya adalah hal yang nggak bisa dihindarkan.
Mulai dari “dasar anak ayam! (lah ya emang anak ayam)” sampai “dasar tiruan love bird!” menjadi olok-olok tiap hari. Setelah itu muncul tradisi bully dalam lingkungan ayam. Kultur kekerasan tercipta sejak dini. Tawuran antarsekolah, misalkan SDN Ayam 01 melawan SD Ayam Petang 02, bukan lagi mengenai keren-kerenan belaka, tapi perkara warna bulu. Ini sungguh menyeramkan.
Lantas muncul gejala dalam masyarakat ayam seperti apa yang terjadi pada pascafeodal. Muncul kelas-kelas tertentu dalam proses produksi. Ayam yang pernah dicat warna-warni, diberikan dalam kelas paling rendah, ketika bekerja kelak akan diberi upah yang rendah. Semua berasal dari stigma, hingga muncul percaturan posisi di masyarakat ayam.
Keempat, manusia memperparah perasaan anak ayam. Manusia akan memberikan struktur kekuasaan secara halus dalam sistem masyarakat ayam secara nggak disadari. Yang jago diberi tempat terbaik, ayam lehor di bagian tengah, sedangkan ayam bekas cat warna-warni akan diberikan di tempat khusus karena rawan cacat.
Makanya, dari hasil olahan ayam cat warna-warni yang tumbuh dewasa, catnya yang telah mbladus, kinerjanya bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk para majikan, yakni manusia. Tinggal tunggu saja akan ada demo besar-besaran anak ayam warna-warni yang meminta kesetaraan. Kandang bukan lagi alat produksi individu, namun milik bersama.
Anak ayam warna-warni di seluruh pasar induk, bersatulah!
BACA JUGA Pleidoi Luna sebagai Pelakor Hubungan Farel dan Rachel dalam ‘Heart Series’ dan tulisan Gusti Aditya lainnya.