Menurut data yang dirilis oleh pusat kajian radikalisme dan deradikalisasi (PAKAR), ada 1096 terduga teroris di Indonesia yang ditangkap sejak bom Bali 2002 hingga akhir November 2015. Dari jumlah 1096 itu, semuanya laki-laki. Penangkapan terduga teroris perempuan baru muncul dalam data pada 2016—dan menariknya, jumlah mereka terus meningkat setiap tahunnya.
Teroris berbatang jelas bukan hal yang mengejutkan mengingat men are trash senjata dan perang-perangan memang identik dengan “mainan” laki-laki. Kemunculan perempuan jadi teroris dan bertindak sebagai pelaku kekerasan, itu baru mengejutkan!!1!
Betul, di sini kita sedang membicarakan perempuan yang secara kodrat diciptakan sebagai manusia yang melahirkan kehidupan, yang sifatnya secara alamiah penuh kasih sayang. Kayak mustahil, ya mereka bisa jadi pelaku kekerasan?
Ini memang sulit dipercaya, tapi perempuan aslinya sangat punya kemampuan melakukan kekerasan—bahkan ketika mereka sedang membawa kehidupan lain dalam diri mereka. Hal ini bisa kita lihat dari pelaku bom bunuh diri di Makassar, dan the one and only, bomber perempuan pertama di Indonesia, Dian Yulia Novi yang juga sedang mengandung bayi ketika hendak melakukan aksi.
Sifat baik-baik yang sudah saya sebutkan di atas bikin keterlibatan perempuan dalam kelompok kekerasan selalu dianggap jadi anomali. Maklum, selama ini kita juga nyaris nggak pernah mendengar cerita tentang perempuan yang jadi villain alias orang jahat dalam sejarah. Coba deh kamu pikir, dalam sejarah yang kita pelajari, siapa perempuan yang digambarkan tega menghilangkan nyawa dan bertindak bengis terhadap lawan mereka? Paling cuma Gerwani, selain itu nggak ada lagi, kan? Mak Lampir nggak masuk hitungan, ya.
Hilangnya narasi mengenai perempuan jahat membentuk pemikiran bahwa perempuan itu selalu baik dan tidak bisa melakukan kekerasan. Padahal, kalau kita memperhatikan secara dekat, perempuan jahat itu ada dalam kehidupan kita sehari-hari. Lihat aja di berita, selain jadi teroris, mereka juga bisa jadi pembunuh, bandar narkoba, sampai tukang jual beli organ manusia.
Emang sih secara objektif jumlah kejahatan yang dilakukan perempuan lebih sedikit dibanding dengan laki-laki, tetapi hal ini sama sekali tidak menghilangkan fakta bahwa perempuan juga bisa jadi pelaku kejahatan
Kegagalan kita melihat perempuan sebagai potensial pelaku kekerasan saya pikir berhubungan dengan stereotip gender yang selalu menempel pada perempuan—bahwa mereka lebih damai. Kekerasan juga nggak cocok dengan perempuan yang selalu digambarkan sebagai sosok yang keibuan.
Padahal, ya, nggak.
Kekerasan aslinya nggak mengenal gender. Semua orang ya bisa-bisa saja merasa marah dan ingin memukul atau melukai orang lain. Yang membedakan, budaya kita membuat perlilaku kekerasan itu menjadi normal jika dilakukan laki-laki.
Ya nggak normal gimana to, dari kecil laki-laki diperbolehkan—bahkan diajari untuk berantem, tonjok-tonjokan, juga berkata kasar (kekerasan verbal) ketika mereka marah atau mendapatkan sesuatu yang tidak mereka inginkan. Beda dengan perempuan yang sejak kecil cuma disuruh nurutan, ngalahan, dan nerimaan.
Kalaupun ada anak perempuan yang menunjukkan rasa marah atau kecewanya dengan kekerasan, dia pasti nggak disebut lagi perempuan, tapi disebut “tomboy”, “jalu”, atau sebutan lain yang menghilangkan identitas keperempuanannya—karena “mana ada perempuan suka berantem dan tonjok-tonjokan?” Ini yang kemudian bikin perempuan “terlihat” lebih damai dan antikekerasan. Padahal ya sifat kekerasan itu nggak hilang, terkubur aja. Kalau dipantik, ya bisa meledak juga, Buos.
Dalam kaitannya dengan terorisme, perempuan yang jadi bomber atau pelaku kekerasan udah ada dari lama. Banyak peneliti menunjukkan bagaimana perempuan punya militansi tinggi di berbagai kelompok teror di seluruh dunia. Sebut saja Black Widow di Chechnya, IRA di Irlandia, FARC di Colombia, dan Brigade Martir Al-Aqsa di Palestina. Di Indonesia, fenomena perempuan yang jadi kombatan juga ada, salah satunya pasukan Inong Balee—sayap perempuan GAM di Aceh.
Laura Sjoberg dan Caron E. Gentry dalam bukunya Mothers, Monsters, Whores: Women’s Violence in Global Politics (2007) menjelaskan dengan detail bagaimana stereotip gender yang melekat pada perempuan membuat kita gagal melihat bahwa perempuan punya agensi untuk jadi pelaku kekerasan.
Kata Sjoberg dan Gentry, ada tiga narasi yang sering digunakan untuk menggambarkan perempuan yang jadi pelaku kekerasan. Narasi pertama adalah mother, narasi ini bilang kalau ada perempuan yang melakukan kekerasan, itu pasti karena dia pengin balas dendam atas kematian suami atau anaknya. Narasi ini melihat kekerasan yang dilakukan perempuan sebagai “insting” seorang ibu yang tersakiti.
Narasi kedua adalah monster, perempuan kan damai dan anti kekerasan, maka perempuan yang terlibat dalam aksi terorisme seperti laki-laki bukan lagi dilihat sebagai seorang perempuan, tetapi “monster”. Dalam narasi ini, perempuan pelaku kekerasan dilihat sebagai orang yang secara psikologis terganggu, gila, irrasional, atau singkatnya, psikopat.
Terakhir, narasi whore yang bilang kalau perempuan pelaku kekerasan adalah mereka yang antara gila seks atau tidak bisa memuaskan pasangan laki-lakinya. Narasi ini nyalahin penyimpangan seksualitas perempuan sebagai alasan mereka melakukan kekerasan.
Ketiga narasi ini melihat perempuan nggak punya agensi. Kekerasan yang dilakukan mereka ya dianggap karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau biologisnya saja. Padahal yaaa perempuan yang jadi teroris banyak lho yang ingin melakukan kekerasan atas kesadaran dan pemikiran mereka sendiri. Kalau kita terjebak dengan tiga narasi ini, sampai kapan pun kita nggak bisa melihat perempuan sebagai subjek pelaku kekerasan. Dan selama kita masih berpikir demikian, sampai kapan pun kita pasti bakal kecolongan kalau ada aksi teroris yang dilakukan oleh perempuan.
Dengan kata lain, sudah saatnya kita menggeser paradigma ketika melihat terorisme—bahwa dia bukan lagi dilakukan oleh laki-laki, tetapi juga oleh perempuan yang punya pemikiran dan kesadaran sendiri. Hal yang mungkin terdengar sederhana, tapi sulit dilakukan karena sudah kadung menempel dalam alam bawah sadar kita bahwa perempuan itu baik—jadinya apa nggak problematis kalau perempuan selalu dicurigai sebagai penjahat?
Tapi ya mau gimana lagi. Tren keterlibatan perempuan dalam kelompok teroris di Indonesia nyatanya semakin tinggi. Kejadian di Mabes Polri bisa jadi cuma gunung es karena aksi teror sering kali menular karena merasa terinspirasi. Apalagi kita tahu sendiri JAD memang punya fatwa untuk anggota-anggotanya agar segera melakukan amaliyah sesuai dengan kemampuan mereka.
Kalau kita sudah bisa melihat bahwa perempuan juga berpotensi melakukan kekerasan, saya yakin aparat nggak akan kegocek lagi karena bisa langsung mengidentifikasi dan melakukan pencegahan biar aksinya segera dihentikan. Kalau misal polisi atau densus kesulitan mengidentifikasi perempuan sebagai pelaku kekerasan, saya pikir sudah saatnya mereka belajar ke penulis naskah sinetron yang selalu kepikiran peran-peran jahat menakjubkan buat perempuan.
BACA JUGA Bom Bunuh Diri: Sejak Kapan Non-Muslim Identik dengan Label Kafir yang Dihalalkan Darahnya? atau tulisan Nia Lavinia lainnya.