Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Pojok Tubir

Melihat Perdebatan Giring vs Pasha Melalui Literatur Sejarah

Christianto Dedy Setyawan oleh Christianto Dedy Setyawan
25 Februari 2021
A A
Perdebatan Giring Pasha dari Literatur Sejarah

Konfrontasi Giring vs Pasha Sudah Ada Jauh Sebelum Mereka Gabung Partai Politik terminal mojok.co

Share on FacebookShare on Twitter

Banjir yang melanda Jakarta ternyata tidak hanya memicu munculnya perdebatan antarpolitisi yang kadang namanya masih asing di telinga kita. Banjir juga menyeret nama Giring dan Pasha untuk bersilang pendapat. Duo vokalis yang kini menjadi Plt Ketua Umum PSI dan politisi PAN ini beradu argumen soal kinerja Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, dalam menangani banjir. Sontak saja perhatian netizen langsung terfokus ke situ.

Awalnya, Giring mengkritik Anies yang disebutnya tidak serius menangani banjir dan tidak punya kapabilitas menangani Jakarta. Ia mengatakan kalau naturalisasi sungai hanya konsep di atas kertas. Sang penyanyi “Laskar Pelangi” juga memprotes anggaran Jakarta yang boros untuk urusan kosmetik seperti pembayaran uang muka Formula E, mempercantik JPO, dan mengecat genteng rumah warga. Curahan pikiran Giring ini ditanggapi Pasha yang berujar bahwa mengelola Jakarta tidak semudah mengkritik di media sosial. Pasha menyarankan DPRD Jakarta membuka data perencanaan kota sejak zaman penjajahan Belanda karena diyakini solusi banjir ada di sana. Sebagai gongnya, sang penyanyi “Demi Waktu” balik mempertanyakan kapabilitas Giring dalam berkomentar mengingat Giring belum pernah punya pengalaman mengelola daerah.

Jangan heran jika dunia maya sontak ramai mengobrolkan perdebatan tadi. Membaca komentar netizen satu per satu mungkin akan memunculkan sensasi emosi jiwa yang bervariasi antara semangat, sebal, atau ngguyu ngakak. Di sisi lain, sebagai warga yang mencoba obyektif tentu kita perlu menimbang kebenaran ucapan Giring dan Pasha. Dikarenakan data zaman penjajahan ikut disebut dalam perdebatan, mari kita mengulik kebenarannya melalui literatur sejarah.

Banjir besar tercatat sekian kali terjadi dalam historiografi Belanda, utamanya yang ditulis sejak era VOC. Pada tahun 1621, hujan deras berdampak pada membludaknya air dari beberapa sungai seperti Kali Ciliwung dan menggenangi wilayah Batavia. Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen kalang kabut menyikapi banjir. Dalam waktu singkat, area hunian warga Batavia berubah menjadi danau dadakan. Mobilitas penduduk menjadi terganggu mengingat roda pedati mustahil mudah melintasi jalan tanah yang berair. Saat itu tidak banyak warga memiliki perahu sehingga akses pergerakan warga kian terhambat.

Pada tahun 1619, VOC berupaya membangun sistem kanal di Batavia. Praktiknya, kalkulasi mitigasi bencananya VOC ini meleset sebab kanal menjadi nirfungsi saat debit air yang besar melanda Batavia. Banjir menyebabkan dataran penuh dengan lumpur dan sampah. Hal ini diperburuk dengan mewabahnya kolera dan diare. Batavia yang saat itu dipenuhi dengan taman kota berarsitektur Belanda berubah menjadi lahan luas yang digenangi air berwarna kecokelatan.

Apakah para Kompeni belajar dari kesalahannya? Dalam hal ini sih tidak. Buktinya pada tahun 1654 di era Joan Maetsuycker, banjir hadir lagi dengan gejala mirip dengan era Coen. Bedanya, banjir kali ini dibumbui dengan datangnya air dari wilayah hulu sungai yang berada di Buitenzorg alias Bogor. Zaenuddin H.M. dalam buku Banjir Jakarta menggambarkan banyaknya rumah penduduk dan kantor pemerintahan yang terendam air.

Sebenarnya rezim Maetsyucker juga berupaya menanggulangi banjir, tapi sayangnya kurang berdampak positif. Kendalanya adalah air pasang membawa pasir yang menghambat aliran air sungai. Hal ini diperparah dengan lumpur yang terbawa ke hilir semakin banyak akibat pembukaan lahan di hulu untuk pertanian. Kanal-kanal baru yang dibangun Maetsyucker pun tersumbat sampah, lumpur, dan tanah. Bau busuk akibat material yang mengaliri kanal dan pemukiman warga menambah citra tidak menyenangkannya suasana Batavia kala itu. Indikator parahnya banjir era Maetsyucker dapat dilihat dari fenomena mengungsinya warga ke Kota Tua yang dikenal sebagai daerah terendah di ‘kota bawah’. Banjir yang menyerang selama tiga pekan ini menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit jumlahnya.

Pascabanjir reda, Kompeni berinisiatif membangun kanal batu karang yang mengarah ke laut. Harapannya sih kanal baru ini mampu mencegah tertutupnya jalur masuk ke sungai akibat endapan pasir. Ironisnya langkah ini digugurkan oleh faktor internal. Tidak sedikit warga Batavia yang berkebiasaan membuang sampah ke sungai. Pola hidup ini kembali menyebabkan kanal tersumbat. Pemerintah Belanda lalu menggelar operasi pengerukan kanal dengan mengerahkan tenaga para narapidana namun juga kurang sukses.

Apa yang terjadi selanjutnya ibarat pengulangan episode lama. Batavia kembali dilanda banjir besar di era James Louden (1872), Carel H.A. van der Wijk (1893), A.W.F. Idenburg (1909), J.P. Graaf van Limburg Stirum (1918), hingga B.C. de Jonge (1932). Masing-masing dari mereka berusaha mengatasi banjir dan yaaa gagal maning, Sooon. Di era James Louden, pembersihan kanal digiatkan. Trik lawas ini utamanya dilakukan pasca tergenangnya kawasan elite Harmoni. Era van der Wijk diwarnai dengan pembangunan kanal baru dan penerjunan tenaga medis ke masyarakat untuk penanganan pasca bencana. Era Idenburg yang ditandai dengan banjir parah yang melanda Waterlooplein (kini Lapangan Banteng) dilakukan pembangunan Bendung Katulampa guna mengukur debit air Kali Ciliwung yang akan mengalir ke Batavia. Bendungan ini diposisikan sebagai sistem peringatan dini agar kemungkinan datangnya banjir dapat diantisipasi. Tapi ya tetap saja gagal, Bro.

Kehidupan sosial masyarakat Batavia dapat disimak dalam literatur Jakarta Sejarah 400 Tahun karya Susan Blackburn yang memaparkan dengan apik. Tambahkan pula beberapa literatur lainnya seperti Sejarah Indonesia Modern karya M.C. Ricklefs, Nusantara (Bernard Vlekke), Pengantar Sejarah Kota (Purnawan Basundoro), Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang (Ong Hok Ham), Ketoprak Betawi (Redaksi Intisari),  Batavia: Kisah Kapten Woodes Rogers dan Dr. Strehler (Frieda Amran), Wong Blandong (Aulia Rahmat Suat Maji), dan Historia edisi nomor 2 tahun 2015 sebagai referensi. Daftar literatur sejarah akan semakin panjang kalau riwayat banjir Jakarta dikejar hingga zaman kerajaan Tarumanegara. Tapi karena yang diperdebatkan di era Belanda, ya tidak perlu dilanjut sampai riwayat Prasasti Tugu era Raja Purnawarman.

Berpijak pada literatur tadi, solusi era Belanda manakah yang dimaksud Pasha? Kalau beneran ada solusi jitu yang pernah diimplementasikan kolonial Belanda, sejujurnya saya ingin tahu soal data dan sumber literatur sejarahnya. Jangan karena Belanda adalah negara maju lantas solusi banjir diklaim sudah ada dan berhasil sejak tempo doeloe. Sebaliknya, mengenai pendapat Giring yang bilang kalau Pemprov DKI Jakarta kurang serius menangani banjir sepertinya perlu sedikit direvisi. Saya yakin setiap pemimpin pasti mengupayakan yang terbaik bagi warganya. Apalagi di masa kini pemimpin kerap dikaitkan dengan janji kampanyenya. Wajarnya ya mereka berusaha melaksanakan janji kampanyenya agar tidak ditagih melulu oleh warganya. Nah, kalau soal usaha sih mestinya ada, tapi perkara apakah usahanya telah maksimal dan hasilnya sudah manjur ya itu lain perkara, MyLov.

Giring dan Pasha boleh-boleh saja berdebat. Namanya juga politik pasti ada bumbu aroma beda pendapatnya. Meski demikian, sejauh ini sih perang komentar keduanya masih terpantau aman. Mungkin Giring dan Pasha masih kelingan zaman semono saat masih jadi vokalis. Bayangkan saja, Giring berpesan pada Pasha untuk “Jangan Lupakan” pada “Arti Sahabat” karena “Kau dan Aku” untuk selamanya. Begitu pula Pasha yang menganggap pertemanannya dengan Giring tetap “Seperti Yang Dulu” dan tidak menjadi “Bayang Semu” agar tercapai “Saat Bahagia”-ku duduk berdua denganmu.

Sumber Gambar: Youtube WikiMini

BACA JUGA Pengalaman Pertama Saya Jadi Korban Banjir di Kota Metropolitan Jakarta dan tulisan Christianto Dedy Setyawan lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Terakhir diperbarui pada 6 Januari 2022 oleh

Tags: banjir jakartaGiringliteratur sejarahPasha
Christianto Dedy Setyawan

Christianto Dedy Setyawan

Pencinta literatur yang hobi blusukan sejarah

ArtikelTerkait

Jangan Naik Transjakarta Saat Hujan Lebat kalau Nggak Mau Terjebak Selamanya

Jangan Naik Transjakarta Saat Hujan Lebat kalau Nggak Mau Terjebak Selamanya

12 April 2024
Seandainya Pohon dan Hewan Bisa Komentar Soal Banjir Jakarta dan Virus Corona

Seandainya Pohon dan Hewan Bisa Komentar Soal Banjir Jakarta dan Virus Corona

30 Januari 2020
Kasus Novel Baswedan Hanyut Terbawa Banjir Jakarta

Kasus Novel Baswedan Hanyut Terbawa Banjir Jakarta

30 Januari 2020
Yang Heboh dan Menyedihkan dari Banjir Jakarta: Jokowi, Coki, Yuni Shara, dan Foto Ketimpangan

Yang Heboh dan Menyedihkan dari Banjir Jakarta: Jokowi, Coki, Yuni Shara, dan Foto Ketimpangan

3 Januari 2020
Ampun Dah, Memahami Dark Joke Coki Pardede Emang Susah

Ampun Dah, Memahami Dark Joke Coki Pardede Emang Susah

2 Januari 2020
Nissan Grand Livina MOJOK.CO

Mengenang Kerja Keras Membangkitkan Kembali Grand Livina yang Mati karena Kebanjiran

13 Juli 2020
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

UNS, Kampus Terbaik di Solo yang Bikin Salah Paham (Unsplash) kampus di Solo

7 Keanehan Kampus di Solo: dari Logo yang Unik hingga Letak Kampus yang Nggak Sesuai Ekspektasi

9 Juli 2025
Jurusan Peternakan, Jurusan yang Saya Jadikan Pelarian, Ternyata Penuh Potensi Cuan yang Super Besar

Jurusan Peternakan, Jurusan yang Saya Jadikan Pelarian, Ternyata Penuh Potensi Cuan yang Super Besar

9 Juli 2025
Kecamatan Kradenan Blora dan Kecamatan Kradenan Grobogan: Saudara Kembar Beda Kabupaten yang Bernasib Sama

Kecamatan Kradenan Blora dan Kecamatan Kradenan Grobogan: Saudara Kembar Beda Kabupaten yang Bernasib Sama

7 Juli 2025
Wonosobo Ternyata Lebih Ramah bagi Wisatawan ketimbang Jogja

Wonosobo Ternyata Lebih Ramah bagi Wisatawan ketimbang Jogja

6 Juli 2025
Perempatan Sukorejo Memang Pantas Mendapat Julukan Perempatan Maut di Situbondo

Perempatan Sukorejo Memang Pantas Mendapat Julukan “Perempatan Maut” di Situbondo

9 Juli 2025
IPK Realistis atau Bare Minimum bagi Kalian Mahasiswa Baru di Semester Pertama, Biar Bisa Jadi Pondasi untuk Semester Selanjutnya

IPK Realistis atau Bare Minimum bagi Kalian Mahasiswa Baru di Semester Pertama, Biar Bisa Jadi Pondasi untuk Semester Selanjutnya

6 Juli 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=ek8g_0FrLQM

DARI MOJOK

  • Begini Penderitaan Saya Tertipu Polisi Gadungan Jelang KKN: Baru Mau Berangkat Dijadikan Tersangka Pencucian Uang dan Ikut “Sidang PPATK” via Aplikasi Zoom
  • Dosa Besar Pedagang Soto Adalah Merusak Kesegaran Kuah Demi Mempertebal Margin Keuntungan 
  • Iseng Jadi Pengamen Liar di Jogja: Sehari Dapat Cuan Menggiurkan, Tolong Saya saat Luntang-lantung karena Puluhan Kali Gagal Kerja
  • Warga Desa Sebenarnya Kasihan dengan Mahasiswa KKN: Duit Tipis, Hidup Susah, tapi Dituntut untuk “Mengentaskan Kemiskinan”
  • Tiga Tahun Jadi “Calo” Tiket Konser demi Bayar UKT di UNY, Modal Orang Dalam dan Sasar Penonton Kepepet
  • Repotnya KKN sama Mahasiswa Kupu-kupu Tak Paham Organisasi: Bingung Mau Ngapain, Jadi Nggak Guna hingga “Diusir” Warga

AmsiNews

  • Tentang
  • Ketentuan Artikel Terminal
  • F.A.Q.
  • Kirim Tulisan
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.