Sejarah mencatat bahwa bangsa Indonesia pernah memiliki masa kelam yang berkaitan dengan penjajahan. Dan tentunya penjajahan yang paling terukir di semua benak masyarakat Indonesia adalah masa penjajahan Belanda dan Jepang. Tentu bicara penjajahan yang dilakukan oleh Belanda dan Jepang ada dua program dari kedua negara tersebut yang juga sangatlah populer di benak kita semua. Rodi dan romusha. Dua-duanya adalah simbol keterpaksaan terstruktur yang mengarah ke satu hal: perbudakan tak berperikemanusiaan.
Bicara rodi dan romusha, dua hal tersebut adalah simbol kekejaman yang memilukan bagi bangsa Indonesia. Tiga ratus lima puluh tahun dicengkram Belanda dengan sistem rodi-nya ternyata harus masuk ke lubang yang sama setelahnya oleh bangsa yang berbeda, Jepang selama 3,5 tahun dengan romusha-nya.
Rodi dan romusha ternyata memiliki kaitan terhadap dunia mahasiswa. Apa kaitannya? Sebelum itu akan saya jelaskan dengan singkat apa itu rodi dan romusha agar Mas dan Mbak sekalian paham dan yang sudah paham semakin paham.
Rodi sebenarnya bukan nama asli dari program kerja paksa yang dilakukan Belanda saat menjajah Indonesia. Nama program yang sebenarnya adalah “Heerendiensten” yang artinya kerja wajib negara. Tidak ada bahasa yang mengandung kekerasan di dalamnya, hanya saja ada maksud terselubung dari nama program tersebut. Istilah rodi sendiri adalah nama kasar dari program kerja wajib yang berujung paksaan dan siksaan. Jadi jangan pernah tertipu dengan embel-embel wajib. Selalu waspada, Saudara-saudariku
Romusha pun hampir sama dengan rodi. Hanya yang memberlakukan program ini bukan lagi Belanda tetapi Jepang. Romusha sendiri berarti buruh, sebutan untuk para petani Indonesia yang dipaksa bekerja untuk kepentingan Jepang. Yang sekali lagi akhirnya juga sama, kerja paksa yang berujung kekerasan dan tekanan bahkan kekerasan.
Sudah bisa dibayangkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang dulunya pernah terjajah. Baik dari tanah, fisik, hingga mental.
Lantas apakah mental rodi dan romusha yang pernah dilakukan penjajah tersebut telah musnah di Indonesia saat ini? Jawabannya adalah tidak.
Ternyata, sistem kerja paksa serta perbudakan rodi dan romusha telah berubah bentuk dan menjadi urat nadi kehidupan mahasiswa. Lho, kok, bisa? Ya benar, sistem perbudakan tersebut ternyata telah menjalar ke dunia mahasiswa Indonesia saat ini.
Saya merasakan bahwa menjadi mahasiswa ternyata tidak sesederhana yang saya pikirkan ketika SMA. Ada tuntutan yang menuntut untuk kita berkembang dan berubah menjadi lebih baik saat menjadi seorang mahasiswa. Tuntutan tersebut bisa didapat dari diri kita, teman, keluarga, artikel online yang kita baca bahkan dosen kita. Jawaban dari tuntutan itu sering menjadi kabur ketika kita panik ingin cepat berkembang, tapi bingung dengan cara apa. Hal umum yang dilakukan para mahasiswa untuk menjawab tuntutan tersebut adalah dengan mengikuti organisasi kemahasiswaan.
Saya pernah menjadi anggota salah satu himpunan mahasiswa di kampus saya. Tujuan awal ikut organisasi tentu saja ingin berkembang, memiliki teman yang lebih luas, dan yang pasti pengin menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Masa awal saya menjadi anggota himpunan mahasiswa, saya tidak menemukan kesulitan. Hingga yang namanya program kerja dibuat dan harus dieksekusi.
Program kerja menjadi semacam pedoman bagi setiap organisasi mahasiswa untuk menjalankan roda kegiatan yang akan dilakukan selama satu tahun ke depan.
Proker bulan pertama berjalan, tentu ada kepanitiaan di dalamnya. Begitu juga proker-proker berikutnya. Dengan adanya kepanitiaan tersebut, akhirnya menjadi penguat seiring waktu bahwa menjadi mahasiswa yang berkecimpung di organisasi dan kepanitiaan adalah orang-orang yang dengan lapang dada menerima perbudakan yang mendidik. Saya sangat merasa dikuras energi, waktu, dan pikiran hanya untuk menyukseskan sebuah acara yang akan dilupakan dalam waktu satu minggu. Saya begadang di lokasi acara, duit terkuras hanya untuk menambal biaya peserta yang tidak sesuai target. Bahkan saya harus menyaksikan antara individu satu dengan yang lain saling hujat hanya karena merasa lelah dengan yang namanya acara dan kepanitiaan.
Mahasiswa yang terjun dalam dunia organisasi pasti paham bahwa menjadi anak organisasi harus siap ditampar dengan sebutan budak proker. Istilah budak proker menjadi padanan yang tepat betapa tenaga, pikiran, dan uang kita hanya dibayar dengan pujian jika sukses dan kata terus semangat jika gagal. Untung-untung jika dikasih makan tiga kali sehari selama persiapan acara.
Kerja terpaksa yang dilakukan hanya untuk menyukseskan acara ternyata sangatlah mirip dengan kerja paksa yang dilakukan untuk menjajah suatu bangsa. Menjadi panitia acara adalah sebuah pengalaman yang tentu memberikan banyak pengalaman. Dan tentu juga memberikan banyak penderitaan yang dikompensasi dengan sertifikat.
Berkecimpung dalam kepanitiaan dan menjadi budak proker ternyata tidak lebih baik dari perbudakan rodi dan romusha. Jika rodi dan romusha adalah sebuah proses bangsa ini untuk lepas dari yang namanya penjajahan dan menghapus sistem perbudakan. Proker dan segala job list-nya bagi mahasiswa yang menjadi panitia adalah proses berdarah-darah guna lepas dari rasa takut tidak berkembang saat menjadi mahasiswa. Padahal kepanitiaan dan proker yang kita pikirkan siang dan malam tersebut hanya menjadi bagian kecil dari kehidupan mahasiswa yang ujungnya sudah pasti: lulus dan ingin mendapatkan pekerjaan. Memperbudak diri saat menjadi panitia acara nyatanya sangat menyakitkan jika setelahnya tidak mendapatkan apa-apa.
Bagi saya, pengalaman saya selama satu tahun di himpunan mahasiswa sudah menjadi paket lengkap. Pasalnya dengan begitu, saya bisa lebih memahami bagaimana berorganisasi, berkomunikasi, dan bekerjasama yang baik dan benar. Bahwa kerugian-kerugian pun faktanya tidak akan pernah lepas dari keuntungan yang saya dapatkan selama menjadi anggota himpunan mahasiswa dan panitia selama satu tahun.
Jangan lupa, semua yang telah kita lakukan dalam hidup akan menjadi kenangan yang bisa kita tertawakan dan banggakan di masa depan kelak. Rodi, romusha, dan kepanitiaan mahasiswa adalah sebuah benang merah sistem perbudakan yang punya sejarah berbeda dan tentu dengan kepentingan yang berbeda pula. Persamaannya hanya satu, untuk menyukseskan setiap “acara”.
Jika Belanda punya rodi, Jepang punya romusha, dan Indonesia tentu punya kepanitiaan mahasiswa.
HIDUP MAHASISWA!
BACA JUGA Panitia Kegiatan yang Paling Capek itu Divisi Perlengkapan dan artikel M. Farid Hermawan lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.