Rumahku adalah istanaku, begitulah bunyi pepatah. Namun apakah pepatah itu berlaku jika rumah terletak di sebuah perumahan yang sepi dan berada tepat di samping rumah kosong? Hal itulah yang dialami oleh kakak saya sekeluarga.
Baru di tahun 2019 ia pindah dari Bali karena suaminya harus pindah dinas di kota Jakarta. Kenaikan semester membuat anak-anak kakak saya memasuki jenjang sekolah baru. Anak pertama mulai masuk jenjang SMP, sedangkan anak kembarnya mulai masuk jenjang SD.
Atas dasar pertimbangan itulah yang membuat kakak saya memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Sidoarjo dan menetap di rumahnya sendiri supaya anak-anak tidak perlu lagi berpindah-pindah sekolah. Lokasi rumah yang masih berada dalam satu kecamatan oleh desa rumah Ibu membuatnya mematenkan keputusannya untuk kembali tinggal di Sidoarjo.
Rumah kakak saya berada di sebuah perumahan yang sepi. Untuk sampai di perumahan itu, perjalanan yang harus ditempuh adalah daerah pergudangan dan perindustrian yang jika malam tiba keadaan sekitar menjadi sangat sepi dan hanya menyisakan truk-truk besar. Selain itu, rumah kakak saya berada tepat di sebelah rumah kosong yang sudah lama tidak dihuni oleh pemiliknya. Namun meski begitu, kakak saya tidak pernah berfirasat aneh selama tinggal di sana.
Rumah kakak saya terbilang cukup luas. Rumahnya terdiri dari dua lantai dengan jumlah dua kamar di lantai satu dan tiga kamar di lantai dua. Lantai dua disediakan sebagai area kamar ketiga anaknya. Hanya saja karena mereka masih kecil dan belum berani tidur di kamar sendiri, akhirnya setiap hari mereka tidur bersama di kamar utama bersama kakak saya. Lantai dua pun akhirnya jarang terjamah oleh mereka.
Pada suatu hari tepatnya ba’da maghrib, sebuah kejanggalan mulai dirasakan oleh mereka. Saat itu mereka sedang berkumpul di ruang keluarga dan melakukan kesibukan masing-masing. Si sulung menyiapkan buku pelajaran, si kembar mengerjakan PR bersama, sedangkan kakak saya tengah menyiapkan makan malam. Karena salah satu dari si kembar merasa bosan, ia pun meninggalkan saudara kembarnya yang masih serius mengerjakan PR.
Jedug! Jedug! Jedug! Suara hentakan kaki di lantai dua terdengar oleh si bungsu.
Jedug jedug jedug jedug! Suara hentakan kaki kembali terdengar, bahkan kali ini terdengar lebih kencang dan seperti suara hentakan kaki yang sedang berlarian di lantai dua. Karena mulai merasa terganggu, si sulung pun menggerutu.
Jedug jedug jedug jedug jedug! Suara hentakan kaki itu terdengar makin jelas seperti sedang berlarian di lantai dua. Karena merasa tidak tahan, akhirnya si sulung berteriak “Dek, jangan lari-larian terus! Di bawah berisik banget!”.
Ibunya (kakak saya) yang sedari tadi serius mengurus masakan di dapur menoleh dan melihat anak sulungnya sedang mengomel dengan raut tidak suka. “Lho bukannya adekmu ngerjain PR? Galang mana Gil?” tanya kakak saya kepada salah satu anak kembarnya yang masih berkutat dengan PR. “Nggak tahu Ma”.
“Sek tak lihate ke atas Ma” si sulung pun berinisiatif untuk menilik apa yang dilakukan adiknya di lantai dua.
Selang beberapa detik (bahkan belum ada hitungan menit) si sulung buru-buru kembali turun ke lantai 1 dengan wajah raut bergidik ngeri.
“Apa kak? Adekmu ngapain di atas? Suruh turun, PR nya belum selesai.” Ujar ibunya sambil mengaduk susu dalam gelas milik si kembar.
Sebelum mengatakan yang sebenarnya, Galang (salah satu anak kembar kakak saya) muncul dari dalam kamar utama sambil asik memainkan gadget di tangannya. Mengetahui hal itu, ibunya mulai merasakan sesuatu yang janggal. “Loh kamu tadi nggak dari lantai atas Gal?” tanya ibunya. “Enggak Ma, aku di kamar. Mainan balap-balapan di tab.” Namun karena tidak ingin berpikir macam-macam, kakak saya berusaha bersikap acuh.
Gangguan di lantai dua ternyata tidak berhenti pada malam itu. Pada waktu yang sama yaitu ba’da maghrib, gangguan suara langkah kaki di lantai dua kembali terdengar. Seperti kemarin, si sulung lah yang lebih dulu diperdengarkan.
Jedug jedug jedug jedug! Suara itu terdengar sama jelasnya seperti kemarin. Hanya saja kali ini Ibu dan kedua adiknya berada di dalam kamar. Ia duduk di kursi ruang tamu yang bersebelahan dengan tangga. Di antara tangga dan kursi yang ia duduki hanya tersekat oleh tembok pembatas.
Karena tidak ingin terlalu takut, ia berusaha mengabaikan bunyi suara itu dan segera menghabiskan makanannya.
Jedug jedug jedug! Ia tersentak. Bunyi langkah kaki itu seperti berada di anak tangga. Suara itu semakin jelas dan terdengar seperti seseorang sedang menuruni anak tangga. Suara itu sontak membuatnya menoleh dan mengintip di celah berbentuk kotak yang berada di dinding penyekat. Tampak sosok hitam dengan mata merah menyala memandang ke arahnya. Matanya yang bulat tampak membesar. Sosok hitam itu semakin mendekat ke arahnya.
Tidak ingin terlalu lama memandangi makhluk menyeramkan itu, akhirnya si sulung beralri menuju kamar utama dan menghampiri ibunya.
“Ma, ada Genderuwo di sini!” seketika kejadian itu menjadi teror bagi ia, ibunya, dan adik-adiknya yang menghabiskan malam di kamar dengan suara langkah kaki yang masih terdengar pelan.
BACA JUGA Rumah Pocong Sumi: Pengalaman Masuk Rumah Horor yang Sering Dipakai Uji Nyali atau tulisan Ade Vika Nanda Yuniwan lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.