Apakah Anda puas melihat pelaku kejahatan dihukum? Apakah Anda lega saat tau begal dikeroyok massa? Aoakah Anda senang saat tahu geng motor dipukuli polisi? Atau Anda mendukung pelaku pelecehan seksual ditelanjangi dan disuruh minum kencing?
Jika iya, maka Anda sedang melanggengkan kejahatan dan masalah sosial. Dan maaf, itu goblok!
Mungkin Anda akan mengira saya sedang membela pelaku pelecehan seksual. Atau malah mengira saya teman dari pelaku. Bukan, saya tidak kenal dan tidak mau kenal dengan mereka. Saya juga tidak sepakat dengan pelecehan seksual dan kekerasan dalam bentuk apa pun. Saya hanya ingin membuka mata Anda tentang penanganan kejahatan yang pekok.
Kenapa saya bilang pekok? Karena penanganan berlandaskan balas dendam tidak pernah menyelesaikan masalah. Jika mau menyelesaikan kejahatan, seksual atau yang lain, yang perlu diselesaikan adalah akarnya. Memperbaiki situasi yang menyebabkan kejahatan terjadi. Dan memberi kesempatan bagi korban untuk pulih. Bukan sekadar puas dengan balas dendam!
Pelecehan seksual terjadi karena pelaku merasa berhak menguasai tubuh korban. Entah dengan ancaman, kekerasan langsung, atau manipulasi. Nah, solusi yang tepat adalah mengatasi pemikiran itu. Pelaku pelecehan seksual harus direhabilitasi agar tidak kembali ke masyarakat sebagai bajingan.
Alih-alih menyelesaikan masalah, melecehkan pelaku pelecehan seksual sama dengan pelanggengan masalah. Para “hakim” menjadi pelaku pelecehan dalam bentuk lain. Pusaran setan ini akan menyuburkan perampasan hak asasi sebagai jawaban dari masalah sosial.
“Tapi korban akan trauma seumur hidup! Ini keadilan bagi korban!”
Kalau korban mengalami trauma, ya berikan pendampingan psikologis! Apakah memberi balas dendam akan menyembuhkan korban? Jelas tidak. Mereka butuh terapi profesional agar sembuh dari trauma. Saya sepakat jika biaya pendampingan dan terapi ini dibebankan pada pelaku. Tapi bukan balas dendam yang melecehkan. Justru balas dendam bisa membawa ketakutan baru pada korban. Entah balas dendam dari pelaku, atau rasa bersalah.
“Tapi nanti tidak ada efek jera. Nanti akan ada pelaku lain karena tidak takut hukumannya!”
Nah ini juga pemikiran pekok. Kalau mau bebas dari kasus pelecehan seksual, ya perbaiki mental manusianya. Cegah lahirnya bibit pelaku dari akar. Jika hukuman balas dendam yang dipakai, itu tidak memberi efek jera apapun. Yang ada malah lahirnya cara kreatif untuk mencegah ketahuan. Mencari celah agar tidak kena hukuman. Entah sembunyi-sembunyi, atau memanfaatkan relasi kuasa.
Perbaiki otak manusianya. Perbaiki mental dan cara pandangnya. Semua bisa jadi korban, dan semua bisa jadi pelaku. Kalau semua pake cara an eye for an eye, ya nggak bakal kelar.
Ini juga berlaku untuk kejahatan lain. Misal klitih atau aksi kekerasan jalanan lain. Apakah menggebuki pelaku bisa memberi efek jera jangka panjang? Kalau iya, pasti Jogja sudah bebas dari klitih. Pasti geng di Surabaya sudah bubar. Kenyataannya? Tidak kan? Meskipun pelaku dihajar dan dipermalukan, tetap saja ada pelaku lain. Klitih tidak hilang, dan geng Surabaya makin menggila. Kenapa?
Karena sumber masalahnya tidak pernah diatasi! Semudah ini lho logikanya, mosok nggak nyampai. Kalau mau tidak ada klitih, ya selesaikan sumber klitih. Gali lebih dalam alasan seseorang melakukan klitih. Dari masalah sosial di lingkungan, sampai doktrinasi maskulinitas toksik. Kalau itu yang diselesaikan, saya yakin tidak akan ada klitih dan sejenisnya. Karena “bibit” kejahatan tidak tumbuh karena kehilangan alasan.
Pencurian dan perampokan? Ya gali lagi dari sisi ekonomi. Misal pelaku berekonomi cukup, gali lagi masalahnya. Mungkin karena situasi sosial yang membuat ia butuh uang cepat. Atau kultur maling yang dipelihara di komunalnya. Hal-hal seperti ini lebih efektif daripada seribu penjara.
Kembali ke pelecehan seksual. Saya paham jika Anda, para peleceh pelaku pelecehan, pasti muak dan marah. Nah pertanyaan saya adalah: Anda hanya mau pelampiasan, atau mengatasi kasus pelecehan seksual? Apakah Anda benci pelecehan seksual, atau butuh cara melampiaskan amarah saja? Apakah Anda ingin korban sembuh dari lukanya, atau sekadar menjadikan pelaku pemuas nafsu keji semata?
Saya berani taruhan potong leher, setelah kasus pelecehan pelaku di Gunadarma, akan ada pelecehan seksual di tempat lain. Kekejaman tanpa solusi ini tidak akan jadi efek jera ataupun alat pencegah. Karena pelaku pelecehan seksual adalah manusia yang rusak nalarnya. Keliru cara pandangnya atas tubuh orang lain. Dan tidak akan melihat kejadian Gunadarma sebagai teror yang menakutkan.
Masak gini aja kalian nggak paham? Atau memang Anda semua hanya butuh pelampiasan? Tanpa peduli dengan korban ataupun pencegahan kasus pelecehan seksual di masa mendatang?
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya