Seminggu berlalu dan Kang Salim tak kunjung memberi jawaban juga soal gimana bisa mati itu jadi sesuatu yang nggak patut ditakuti. Bagi Kang Salim, seperti yang dia paparin seminggu yang lalu, jika merujuk pendapat para sufi dari Rumi, al-Ghazali, dan Umar bin Abdul Aziz, kematian justru adalah perkara yang harusnya diidam-idamkan. Sebab kematian adalah jalan menuju sumber kebahagian sejati; Tuhan.
Mati adalah kemerdekaan yang semestinya dirayakan dan disambut dengan suka cita. Tanpa rasa takut sedikit pun. Karena dengan mati, seorang manusia akan merdeka dari belenggu-belenggu kesengsaraan dunia, terbebas dari alam yang isinya hanya kerusakan, fitnah, dan pertumpahan darah.
“Kang, sampeyan masih punya utang penjelasan loh sama saya,” tuntut Misbah saat keduanya justru masih di ladang, memetik cabai yang belakangan harganya cukup bersahabat.
“Duh lupa saya, Mis. Yang soal konsep mati ala Syekh Siti Jenar itu, tho?”
“Nah, itu dia. Itung-itung biar saya makin legawa atas kematian emak dan biar saya nggak terlalu takut menyongsong kematian saya sendiri. Sebab gimana-gimana, mati itu kan udah mutlak, Kang. Pasti kejadian. Saya pengin lebih siap aja.”
“Sederhana, Mis, rajin-rajin ibadah aja, hehehe.”
“Yah kalau itu mah saya tahu, Kang. Cuma yang sampeyan bilang seminggu lalu kan bukan gitu.”
Kang Salim mengelap keringat yang berleleran dari dahinya. Saat dia mengarahkan pandang ke Misbah, tampak sekali Misbah sangat antusias buat dengerin tiap ocehan dari Kang Salim. Sebagaimana yang sudah-sudah. Okelah, sambil terus memetik cabai dari satu tangkai ke tangkai lain, Kang Salim pun mulai melempar tanya ke Misbah.
“Masih inget nggak, Mis, tiga hal menurut al-Ghazali yang bikin orang jadi fobia sama kematian?”
“Hmmm bentar, Kang.” Misbah mencoba mengingat-ingat. “Pokoknya dari tiga hal tersebut kalau disimpulkan, orang takut mati itu karena ngerasa bahwa dunia adalah pusat kesenangan. Sementara akhirat adalah pusat siksaan dan penghakiman. Saya sendiri takut mati karena takut disiksa, Kang, takut masuk neraka. Dan untuk model orang kayak saya gini, udah kelihatan banget masuk nerakanya.”
“Kok bisa yakin betul kamu bakal masuk neraka. Wah suuzon sama Gusti Allah kamu, Mis.”
“Eh nggak gitu, Kang. Maksudnya ya saya realistis gitu. Saya nggak berani bayangin masuk surga. Hla wong salat lima waktu aja masih bolong-bolong, ibadah juga masih ada pamrihnya.”
“Sombong kamu, Mis.”
“Loh, piye tho, Kang?” Misbah kaget dengan pernyataan Kang Salim. “Saya kan mengakui kalau amal saya nggak cukup buat nunjang masuk surga. Kok malah dibilang sombong.”
“Mis, kalau kata Gus Baha, orang yang putus asa sama welas asih Tuhan, yang takut kelak masuk neraka, itu namanya sombong karena udah berani-beraninya suuzon sama Gusti Allah. Jelas-jelas Gusti Allah itu rahman-rahim kok ya masih ragu. Wis tho, kamu kudu yakin dan optimis kalau kelak Gusti Allah bakal nolongin kita.”
“Wah kalau guyonannya Cak Nun itu kayak nodong Gusti Allah, Kang. Jadi kita ‘nodong’ dengan keyakinan bahwa Dia itu Maha Baik dan Pemurah. Dia nggak bakal nyiksa kita. Dengan gitu Gusti Allah jadi ngerasa nggak tega karena udah terlanjur kita husnuzoni hehehehe. Walhasil, misalnya kita mau dimasukin neraka, eh malah nggak jadi. Gitu, Kang.”
Tapi Misbah tak puas dengan ucapannya sendiri. Dia malah mengajukan pertanyaan balik, “Eh tapi, Kang, di Al-Quran dan Hadis kan udah disebutin, gimana-gimana orang yang amal baiknya kurang tetep bakal masuk neraka juga. Yang bisa auto surga cuma orang pilihan, para kekasih Allah. Terus gimana tuh?”
“Mis, siapa di dunia ini yang bukan kekasih Allah?”
“Ya kita-kita ini, yang masih di tahap selemah-lemahnya iman.”
“Ngawur kamu, Mis! Semua di semesta ini itu ya kekasih Allah, lah. Logikanya gini, Gusti Allah itu Maha Pengasih, apa pun atau siapa pun di dunia ini nggak ada yang luput dari kasih sayang-Nya. Nah, yang ketiban kasih sayang-Nya, termasuk kita-kita ini, berarti kan disebut kekasih Allah. Iya, tho? Jadi, kalau yang bisa gampang masuk surga adalah kekasih Allah, kita kayaknya juga punya peluang.”
“Lagian, Kanjeng Nabi kan udah bilang, kunci masuk surga itu gampang, pokoknya yang bersaksi tiada Tuhan selain Dia, udah jelas masuk surga. Gitu aja kuncinya, nggak ada syarat lain misalnya harus bersih dari dosa ini dosa itu. Meskipun harus masuk neraka dulu, di neraka itu cuma bentar, di surganya abadi.”
“Nah kan, tetep ada kemungkinan masuk neraka dulu. Walaupun bentar tapi kan ya tetep ngeri gitu Kang bayangin disiksa di neraka.”
“Mis, Allah itu Maha Baik, dan apa pun yang dilakukan-Nya itu pasti baik. Allah itu Pengasih, maka apa pun yang dilakukan-Nya pun juga pasti berlandaskan kasih sayang. Nah, kata Gus Baha lagi, surga-neraka itu nggak diskriminatif, kok. Keduanya sama-sama manifestasi dari kasih sayang-Nya. Orang masuk neraka itu juga karena welas asih Allah, Mis. Karena orang dimasukin neraka itu kan dibersihin dulu ‘noda’ hidupnya. Ibarat seorang anak yang harus mandi atau cuci kaki dulu sebelum diizinin orang tuanya masuk rumah. Begitu juga kita, sebelum masuk rumah kita yang asli, yaitu surga, sama Allah kita ‘dimandiin’ dulu di neraka.”
Matahari tepat di atas kepala, kumandang duhur juga sudah menggema dari corong-corong langgar desa. Sementara pekerjaan Kang Salim dan Misbah masih menyisakan beberapa tangkai terakhir.
“Mis, jika mati berarti bertemu Allah, maka surga-neraka udah nggak penting lagi. Sebab, mau di surga mau di neraka, yang kita temui pada akhirnya Allah juga. Dan itu lebih dari cukup.”
“Oh heem-heem, Kang. Mangkanya Rabiah al-Adawiyah kalau doa gini, ‘Ya Allah kalau aku ibadah karena takut neraka, maka masukkan aku di dalamnya. Kalau hanya karena ingin masuk surga maka jauhkan aku darinya. Tapi jika aku ibadah semata hanya karena Engkau, maka ampuni aku.’ Sebagai bentuk ungkapan bahwa surga-neraka itu nggak penting sama sekali. Satu-satunya yang penting hanya Allah sendiri.”
“Nah, udah bisa nyimpulin, tho? Jadi nggak perlu lagi takut mati. Kalau menurut Syekh Siti Jenar nih, Mis, konsepnya dibalik semua. Neraka itu ya dunia yang kita tinggali sekarang ini karena terlalu banyak kesengsaran dan banyak ketidakadilan. Sementara kematian, kembali pada Allah, itulah surga. Karena Dia lah sumber segala kebahagiaan dan seadil-adilnya pengadilan. Maka nggak ada alasan buat takut sama kematian.”
“Sebenernya ada penjelasan lebih dalem lagi soal konsep kematian Syekh Siti Jenar. Tapi berhubung siang ini panas banget, kita skip, pulang dulu istirahat. Kita lanjutin nanti atau besok.”
Tanpa menunggu persetujuan dari Misbah, Kang Saling langsung memangkul karung berisi petikan cabai selama separuh hari itu. Kemudian bergegas menyusuri jalan setapak, meninggalkan ladang.
“Nanti-nanti ujungnya juga baru dijelasin seminggu lagi. Hmmm,” gerutu Misbah dari belakang Kang Salim.
*Diolah dari ceramah Gus Baha dan Sinau Bareng Cak Nun
BACA JUGA Saya yang Ulang Tahun, Kenapa Saya yang Harus Nraktir? dan tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.