Tuhan menganugerahi kampung saya dengan tanah yang begitu subur. Tidak heran, masyarakat kampung terbilang sukses hanya karena bertani sebab jadi sarjana hanya beban keluarga. Belasan hinga puluhan juta masuk ke kantung mereka yang tidak gengsi dan mau bertani—setiap kali panen.
Saya sangat menyaksikan para sarjana di kampung saya, entah karena beban gelar yang tersemat di belakang nama dan terlihat gagah itu (cuih), sehingga menjadi rintangan mereka untuk ikut bertani. Yang parahnya lagi, meski jurusan sewaktu kuliah mengambil jurusan pertanian, tetapi ketika lulus, tidak sudi menodai diri untuk berkotor-kotor di ladang. Persislah dengan sikap alumni ababil UI yang menolak gaji 8 juta rupiah. Mereka sealiran, sama-sama tidak tahu diri.
Padahal, mulai dari uang kuliah sampai biaya bulanan mereka, kan semua dari hasil bertani. Sudah tes PNS tapi tidak lolos, mencari kerja lain yang sekasta dengan gelar pendidikan juga tidak dapat, terus jika bertani tidak mau. Ado kasian, ujung-ujungnya mengangurmi.
Komoditas unggulan petani di kampung saya, yakni jagung kuning. Karenanya, ekonomi petani bisa dianggap mapan ketimbang dulu, sewaktu masyarakat belum mengenal jagung kuning dan masih berkutat pada pola pertanian klasik, menumpang sarikan antara jagung putih dan kacang tanah. Terbukti, banyak petani yang mampu mensarjanakan anak-anaknya meskipun berujung dengan sebuah kekecewaan. Ya, begitulah nasib sarjana masa kini. Setelah wisuda tidak bisa membanggakan keluarga.
Mari kita tinggalkan perkara sarjana. Nasib mereka terlalu miris kalau semakin dikupas. Sedih bercampur kasihan. Lagian, saya juga kan tidak sekaliber Feni Rose yang lihai membuat segala-galanya layak diperbincangkan dengan tuntas. Mari, kembali ke laptop. Kembali ke duduk perkara judul tulisan ini.
Karena hasil bertani, masyarakat kampung saya tidak susah memenuhi kebutuhan hidupnya. Dulu yang tidak punya TV, sekarang mau beli 2 unit pun sanggup. Dulu kalau ke ladang, hanya menumpang di atas sepasang sendal atau sepatu boots, sekarang, ya jelas sudah berganti motorlah. Yang mengagetkannya lagi, motornya bukan sembarang motor. Sejauh ini sesuai pemantauan saya, saya mendapati 2 orang petani yang selera motornya pantas disebut sangat borju. Selera yang sungguh tidak matching bagi seorang petani. Habisnya, masa satu memakai ninja Rr dan satu lagi mengudai Yamaha R25. Saya jadi berpikir, “diorang ini ke ladang, mo garap lahan, ato mo syuting Anak Jalanan Reborn?”
Ada teori yang menyebutkan, “setiap tontonan di televisi akan mempengaruhi kehidupan seseorang”. Bocah-bocah di kampung saya, sangat jago berdialek melayu berkat setiap hari menonton Upin dan Ipin. Mungkin, kedua petani tadi pengagum berat sinetron Anak Jalanan. Dugaan saya diperkuat karena sewaktu masih tayang, sinetron itu menjadi langganan tontonan mayoritas masyarakat kampung saya—lintas generasi, mulai dari balita hingga kakek-neneknya.
Makanya, pertualangan Boy dan Reva dalam Anak Jalanan memiliki tempat khusus di hati masyarakat kampung saya. Bahkan, ketika peran Boy diharuskan meninggal dunia, ada salah satu ibu-ibu tetangga saya, yang langsung seketika tidak nafsu makan karena merenungkan kepergian Boy. Kabar ini cukup menghebohkan dan jadi perbincangan dalam kampung. “Ado kasian, kan meninggalnya cuma dalam sinetron, kenapa sampe tidak enak makan begitu. Lucunyami,” ucap salah seorang warga kampung.
Belum lagi saya terkaget-kaget ketika mendengar seorang balita berusia tiga tahun (masih tetangga saya) menyanyikan sebuah lagu milik Dewa 19. Saya menyanjung ngeri anak itu, sebab selera musiknya sangat berkualitas, menurut saya. Cek per cek, ternyata lagu tersebut adalah lagu opening sinetron Anak Jalanan. “Wadoh, pantas pale,” respon saya setelah tahu asal muasal hafalan lagu Dewa 19 oleh balita yang sempat mebuat saya terkaget-kaget tadi.
Saya bukan penggemar anak jalanan. Meski sudah lama tamat, tapi harus saya akui sinetron ini sangat membekas bagi masyarakat kampung saya. Lebih-lebih sosok Boy. Bagi bocah-bocah cilik, sosok Boy senantisa terabadikan. Entah dalam bentuk pakaian atau dalam bentuk pernak-pernik lainya. Bahkan, dalam dunia permainan geng-gengan ala anak jalanan, semua anak akan berebut siapa yang berperan jadi Boy.
Yang lebih menggelitik. Ketika seorang petani yang hendak ke ladang dengan mengendarai Ninja Rr atau Yamaha R25, setiap yang melihatnya pasti akan berucap, “Da mo pergimi lagi di ladang La Boy sana.” Padahal nama petani tersebut sesungguhnya bukanlah Boy. Cuman karena motor yang mirip-mirip motor Boy si Anak Jalanan, sehingga ia dipanggil Boy.
Ternyata setiap orang bisa menjadi Boy dikampung saya.Syaratnya, yang penting punya motor dan motornya masuk kriteria. Kalau sudah begini, kasian si Reva, ia pasti bingung memilih.